Sukses memiliki arti tersendiri dalam sudut pandang individu. Bagi pedangang, kesuksesan diukur dari keuntungan yang diperolehnya dengan cara yang baik. Begitupun bagi pencari ilmu, sukses diukur dari pencapaian ilmu yang bermanfaat dan barokah.
Kesuksesan adalah harapan dan terbuka bagi semua orang tanpa melihat status kaya atau miskin. Tidak sedikit orang-orang sukses berawal dari kondisi yang serba kekurangan. Seperti yang dialami oleh seorang alumni Pondok Pesantren Assirojiyyah yang merupakan anak petani.
Sekilas Biografi
Ag. Ahmad Hadiri atau yang akrab disapa Ag. Hadiri lahir setahun pasca Indonesia merdeka, yakni pada Januari 1946 di Buker, Kecamatan Jrengik, Kabupaten Sampang. Merupakan anak sulung dari sepasang kekasih, Bapak Mahmud dan Ibu Khosyi’ah. Kedua orangtuanya adalah warga asli Sampang. Ayahnya berasal dari Desa Tanah Merah, Kec. Torjun sementara ibunya berasal dari Desa Buker, Kec. Jrengik.
Di masa kecil, beliau sudah memulai pendidikannya di Sekolah Rakyat (SR) Buker selama enam tahun. Di samping itu, pada malam harinya beliau juga belajar ngaji pada Kiai Mudhar, seorang tokoh terhormat di desanya. Selain mengaji, beliau juga menimba ilmu pada Kiai Raden Abdul Muqit yang pada akhirnya dijadikan mantu oleh gurunya.
Baca Juga
Pembacaan Daftar Kenaikan Kelas Santri Tahun Ajaran 1444-1445 H
Awal Mondok
Saat usianya beranjak 13 tahun, Hadiri muda mulai menginjakkan kaki di PP. Assirojiyyah, Kajuk, Sampang atas perintah Kiai Muqit tepatnya pada tahun 1959. Hal itu berawal dari surat edaran dari pondok yang sampai ke tangan kiainya.
Menurutnya, pengalaman di pesantren tidak berawal mudah. Raga terpisah dengan jiwa, selama satu semester belum terasa mondok baginya. Yang selalu teringat hanyalah sosok ibunya yang sedang bekerja. Semua itu dirasakan, sebab memang awalnya beliau tidak ingin masuk pesantren. Namun apalah daya, amanah guru tetap menjadi pegangan.
Kehidupannya di pesantren tergolong sangat pelik dan serba kekurangan. Hadiri sudah yatim sejak berumur 10 tahun. Sosok yang berusaha menghidupi keluarganya adalah sang ibu. Seorang petani yang kesehariannya bekerja di sawah. Selain ibu, bibinya juga ikut membantu menyokong biayanya di pesantren.
Demi memenuhi kebutuhannya di pondok, beliau sampai harus rela menjadi penanak nasi milik sebagian temannya. Suatu ketika, saat beliau berjalan dengan membawa dua panci, teman-temannya mengejeknya dengan berkata “al-ummalu ta’ibuu” (pekerja sedang kelelahan).
Selain itu, di tahun kelimanya, keadaan memaksa beliau untuk istirahat dari pesantren selama dua tahun. Dikarenakan bibik yang membiayainya meninggal dunia, hingga akhirnya sang ibu harus pergi merantau ke Surabaya untuk berjualan rujak manis.
Takdir Alloh memang penuh rahasia. Setelah dua tahun, akhirnya beliau kembali ke pesantren atas panggilan Almuallim (KH. Ahmad Bushiri Nawawi). Dikatakan oleh gurunya “Kakeh etanyaaghih reng kampong, koca’eh kimmah Hadiri, kissah sae deddhih Agus.” Alhasil kemudian Almuallim langsung mengangkatnya menjadi agus, meski saat itu banyak yang sentimen padanya.
Selain membantu Almuallim mengajar santri, pada 1967 beliau diangkat menjadi Ketua Kemanan Pondok. Pada masa jabatannya, tak jarang beragam masalah terjadi. Pernah saat itu kondusivitas pesantren terusik akibat maraknya kasus pencurian beras, ikan dan lauk-pauk milik santri. Sebagai petugas, beliau menjalankan strategi dengan tidur di dekat karung beras agar dapat menangkap si maling. Dua kali mencoba tapi gagal, barulah pada ketiga kalinya maling berhasil ditangkap.
Boyong dari Pesantren
Setelah 10 tahun nyantri, 1969 merupakan tahun terakhir bagi Hadiri di pesantren karena sang ibu telah mengatur perjodohan untuknya. Perempuan itu bernama Mutmainnah, putri gurunya sendiri, Kiai Muqit.
Bersama istrinya, beliau dikaruniai 8 putra; tiga diantaranya sudah meninggal saat masih kecil, lima putra yang masih hidup hingga saat ini yaitu: Nurul Iman, Mustadi, Moh. Makbul, Moh. As’ad, dan Moh. Rodi.
Satu hal yang paling melekat dalam dirinya, yaitu pesan yang disampaikan Almuallim, “Oreng kaluar derih ponduk riyah tak osa nyambih ketab benyak, tak osa nyambih ilmu benyak. Cokop nyanguh ridhonah guruh, mun olle ridhonah ghuruh insya Alloh karadduh ka masyarakat. Mun tak karadduh dek masyarakat insya Alloh khusnul khotimah.”
Hal inilah yang menjadikannya sebagai salah satu tokoh masyarakat di Buker. Walupun sudah berumur 76 tahun, beliau tetap meneruskan perjuangan Almuallim dengan mengajar di madrasah yang diasuhnya (Madrasah Ulumuddin) hingga saat ini. (Oleh: A. Bukhori Muslim)