Dalam Islam amaliah terbagi tiga, sebagaiamana yang disampaikan Malaikat Jibril kepada baginda Nabi Shollallohu alaihi wa sallam yang tertera di hadis kedua kitab al-Arbain an-Nawawi. Yaitu:
- Amaliah zahir (raga) yang berkaitan dengan ibadah fisik
- Amaliah batin (hati) yang berkaitan dengan i’tikad (mempercayai), iman (membenarkan) dan ma’rifat (mengenali) Alloh melalui sifat-sifat-Nya dan hal-hal yang tidak bisa dijangkau hanya dengan akal dan panca indra saja seperti malaikat, hari kiamat siksa kubur dan surga neraka.
- Amaliah batin yang berkaitan dengan hal membersihkan hati dari penyakit yang dapat merusaknya seperti iri, sombong dan lainnya.
Masing-masing dari ketiga amaliah tersebut ada yang dalilnya bersifat Qath’iy (hanya mengandung satu pemahaman yang jelas dan pasti) tanpa harus melakukan ijtihad (mengerahkan upaya untuk mencapai pemahan yang benar) dan ada yang dalilnya bersifat Dzanni (mengandung banyak pemahaman dan sudut pandang) yang memerlukan ijtihad para ulama agar tidak salah dalam memahaminya.
Para ulama bersepakat bahwa amaliah yang dalilnya Qath’i masuk kategori amaliah pokok seperti masalah akidah dan syariat yang kewajibannya sudah pasti diketahui bahkan oleh orang awam sekalipun (ma’lum bid dharurri), tidak boleh ada perbedaan di dalamnya, bahkan dihukumi murtad (keluar dari status muslim) bagi siapapun yang berani mengingkarinya (QS. An Nisa. 115).
Berbeda dengan amaliah yang dalilnya Dzanny yakni masalah agama yang tidak pokok (furu’) yang pemahamannya berdasar hasil ijtihad seperti basmalah, apakah termasuk ayat fatihah atau tidak, niat salat, termasuk rukun atau sarat dan lain sebagainya, dalam hal ini, justru perbedaan para ulama merupakan rahmat dari Alloh yang memang dikhususkan untuk umat nabi Muhammad agar tidak terpaku pada satu peraktik yang memberatkan dalam melaksanakan syariat Islam seiring perkembangan zaman.
Perbedaan dalam masalah furu’iyah tersebut bukanlah hal baru tetapi sudah ada sejak zaman para sahabat dan membudaya hingga melahirkan madzhab-madzhab fikih seperti, Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali sebagaimana disebutkan dalam kitab Ikhtilaful Mazahib lil Imam as-Suyuti, dan adanya perbedaan tersebut kontribusinya sangat besar dalam perjalanan Islam, bahkan kesalahan ijtihad saat mencari solusi hukumpun tetap mendapat apresiasi pahala sebagaimana sabda nabi “barang siapa yang berijtihad, lalu dia benar, maka ia mendapat dua pahala, dan barang siapa yang berijtihad lalu keliru, maka dia mendapat satu pahala”. (HR. Bukhori-Muslim) (Syarah al-Waroqot li as-Syeikh Jalaluddin al-Mahally).
Baca Juga:
Dan berkah dari perbedaan tersebut, ajaran Islam tetap eksis sejak 14 abad yang lalu hingga saat ini dan akan tetap relevan sampai kapanpun. Sebab syariat Alloh dibangun atas dasar menjadi solusi dari segala macam permasalahan umat dalam menjalani tatanan kehidupan sebagai seorang hamba dengan berbagai status dan kondisi yang berbeda-beda dari masa kemasa, bukan malah menjadi problem yang memberatkan, sebagaiamana firman Alloh “dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan”. (QS. Al-Hajj 78).
Namun perlu ditegaskan bahwa perbedaan yang menjadi rahmat adalah perbedaan yang membuahkan maslahat yang timbul dari gagasan yang ikhlas serta bersandar pada Alquran dan sunnah Nabi, dan yang pasti, timbul dari para ulama yang memang benar-benar ahli, karena jika tidak demikian, perbedaan hanya akan menjadi masalah yang dapat memecah belah umat, dan menyebabkan syariat dianggap sebagai penghambat sebuah tujuan atau menyebabkan syariat menjadi amaliah yang memberatkan. Wallahu a’lam bish shawab.
Oleh : Saiful Bahar