Salah satu alasan yang menjadikan pesantren eksis hingga sekarang adalah hadirnya para alumni di tengah-tengah masyarakat. Para alumni itu menjalankan peranan sesuai kapasitasnya masing-masing. Ada yang aktif dalam dunia pendidikan, kemasyarakatan dan juga dalam keorganisasian. Seperti H. Ahmad Muhajir, salah satu alumni senior Pondok Pesantren Assirojiyyah asal Pulau Mandangin. Pada edisi kali ini, koresponden Majalah Assirojiyyah akan menilik kehidupan beliau.
Biografi
Beliau bernama lengkap Haji Ahmad Muhajir, lahir pada 5 januari 1957 M. Lahir dari rahim seorang ibu bernama Hj. Nafisa dan seorang ayah bernama H. Zubari. Merupakan penduduk asli Desa Gilih Timur Kec. Gilih Kab. Sampang. Ayahnya  merupakan seorang santri di desa setempat. Meski tidak mengeyam pendidikan di pesantren, sang ayah memiliki kemampuan baca kitab dan cukup mumpuni. Dari sosok ayahnyalah, Muhajir kecil dapat belajar menulis dan membaca Alquran.
Baca Juga :
https://assirojiyyah.online/pondok-pesantren-assirojiyyah-gelar-salat/
Sebelum berinisiatif mondok, Muhajir kecil telah mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat pada tahun 1963 yang sekarang dikenal dengan SD Mandangin. Beliau mengaku tidak memiliki hobi khusus semasa kecil, namun menyukai semua jenis permainan. Semasa SD, beliau dikenal sebagai murid nakal dan tidak mau belajar. Meski begitu, ia memiliki prestasi yang cukup baik yaitu selalu mendapat peringkat tiga di kelasnya. Dan prestasi ini terus berlanjut sampai ia belajar di pondok. Belum tamat SD, putra H. Zubairi ini berani mengutarakan keiinginannya untuk putus sekolah hanya karena alasan lelah. Walhasil, kakeknya pun mengiyakan permintaannya dengan syarat harus melanjutkan pendidikan di pesantren.
Hitam-Putih Pesantren
Setelah dirasa cukup umur, beliau mendapatkan penekanan dari kakeknya yang merupakan tokoh masyarakat di desanya untuk segera belajar di pondok pesantren. Pada tahun 1969 dipilihlah Assirojiyyah dengan alasan banyak kerabatnya yang juga nyantri di sana. Hanya berbekal kemampuan baca Alquran, akhirnya beliau memantapkan diri untuk mondok.
Menurut beliau, Pondok Pesantren Assirojiyyah saat itu belum memiliki bangunan mentereng seperti sekarang. Pondok ini hanya memiliki beberapa fasilitas bangunan dari anyaman bambu, yaitu bagian utara ada lima kamar dan bagian selatan ada empat kamar, lalu di pinggir sebelah barat hanya ada dua kamar yang dihuni oleh para santri asal Gilih. Di tahun itu, jumlah santri belum mencapai 200 orang begitupun tenaga pengajar hanya ada empat orang; Ag. Idris (pengajar ilmu alat) Ag. Siyam (pengajar tasawwuf) Ag. Tobri dan Ag. Fakhri.
Seperti santri kebanyakan, Muhajir kecil tak luput dari rasa tidak betah di pesantren. Namun, hal itu bukan menjadi alasan baginya untuk terus semangat belajar. Di samping itu, meski sudah berstatus santri aktif Assirojiyyah, kebiasaan nakalnya belum juga hilang. Pernah suatu kejadian, beliau sedang mengantri untuk berwudlu sambil bermain bola, sepintas Almuallim yang melihatnya pun dibuat marah dan menginjak bola tersebut agar pecah. Alih-alih pecah, bola itu malah terpental dan mengenai peci Allmuallim hingga peci mulia itu jatuh.
Beliau terbilang santri yang mudah bergaul, baik dengan kakak kelas maupun adik kelas, hingga masyarakat setempat sangat kenal dengannya. Terkait kemampuannya dalam bidang pelajaran, beliau dikenal pintar dan tangkas. Hal ini berkat prinsipnya yang mengedepankan pemahaman sebelum menghafal. Bakatnya pun mulai terlihat dalam seni khot dan dekorasi semenjak ia diberikan tugas menghias panggung setiap ada acara. Dari tugas inilah kemudian beliau mulai aktif dalam kesenian kaligrafi dan dekorasi. Awal kecintaanya pada ilmu, sebetulnya baru tumbuh saat menduduki kelas enam sanawi. Karena mendengar langsung dawuh Almuallim; bahwa santri yang telah mondok enam atau tujuh tahun pasti mendapat ilmu bermanfaat.
Masa Khidmat
Menjadi sekretaris daerah merupakan salah satu cara beliau untuk mendedikasikan dirinya pada pondok kala itu. Meski jabatan yang diembannya bukanlah sekretaris umum, tapi hampir semua pekerjaan kesekretarisan dikerjakan oleh beliau. Pernah terjadi kisah unik saat beliau melakukan pembebasan tanah di Daerah C; terdapat dua pohon yang dirobohkan hingga menimbulkan kemarahan jin penunggu pohon hingga kemudian merasuki banyak santri. Mengetahui hal itu, Almuallim memerintahkan untuk membuat kendaraan dari bambu guna dipakai para jin untuk berpindah tempat.
Boyong dari Pondok
Pada tanggal 10 April 1981, dengan berat hati beliau harus mengakhiri masa khidmatnya guna melaksanakan sunah rasul. Beliau menuturkan bahwa sebenarnya belum rela berhenti nyantri, tapi karena tuntutan keluarga membuat beliau tidak punya pilihan lain.
Pasca boyong, beliau hanya bekerja serabutan demi meringankan beban keluarga. Hingga kemudian sang kakek (KH. Kholik) menawarkannya untuk mengajar di madrasah. Tawaran itu ternyata ditolaknya, sebab beliau ingin menjadi hartawan yang lebih mengedepankan pekerjaan. Waktu berlalu hingga akhirnya beliau tersadar bahwa betapa baiknya mengamalkan ilmu. Dengan begitu, beliau memantapkan hati untuk aktif di dunia pendidikan yang diasuh pamannya. Estafet kepengasuhan yayasan pun baru diserahkan kapada beliau setelah pengasuh sebelumnya meninggal dunia. Jabatan inilah yang membuatnya terus aktif berkarir di dunia pendidikan, agar ilmu yang didapat terus mengalir serta menjadi modal keselamatan di dunia dan akhirat.
               Bersama istrinya, beliau dikaruniai lima orang putra-putri; Anisurrohman, Alfadilah, Zainul Arifin, Sofwatul Widad dan Dzurrotun Irfaniyah. Menjadi tokoh masyarakat adalah hal yang beliau jalani dengan penuh kesabaran dan niat khidmat. Pesannya, menjadi santri Assirojiyyah harus memiliki keyakinan kuat meski tidak berpendidikan formal, dengan begitu insya Alloh akan dihormati oleh masyarakat. (Syabilur Rosad).