EKOSISTEM DAN EMPATI KEPEMIMPINAN STRUKTURAL

Spread the love
Ekosistem dan Empati Kepemimpinan Struktural

Oleh: Ra. Hasani Utsman Lc. M.A

Setiap manusia ditakdirkan oleh Alloh SWT sebagai makhluk dengan tanggung jawab kepemimpinan, pengatur di atas muka bumi (khalifah fi al-ardi). Tetapi, dalam kenyataan kehidupan sosial politik, seseorang ada yang menjadi pemimpin kultural, struktural, informal, formal. Manusia memang tidak bisa dilepaskan dari tugas dan tanggung jawab kepemimpinan dari Alloh SWT, paling tidak dengan menjadi pemimpin bagi kedaulatan dirinya sendiri, keluarga dan lingkungan sosiologisnya.

Pemimpin yang baik lahir dari ekosistem yang mendukung. Ekosistem pada awalnya digunakan dalam bidang biologi, tapi kemudian juga dipakai menyangkut soal kepemimpinan. Pemimpin yang lahir dari ekosistem yang demikian akan menjadi sosok yang berpikir kritis (critical thinking) dan pemecah masalah (problem solving). Hari ini, ekosistem kepemimpinan dipakai guna mengukur efektivitas hingga keberhasilan seorang pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi atau kelompok masyarakat.

Secara teoretis, kajian kepemimpinan dewasa ini menyangkut ragam teori, seperti soal sifat (fraif) perilaku (behavioral) dan kontingensi (contingency) atau suatu pernyataan majemuk yang keadaannya bernilai benar dan salah. Sebagai bagian dari umat Islam, model kepemimpinan bagi kita yang paling ideal tentu saja adalah model Nabi Muhammad SAW, sosok pemimpin yang empatik. Secara sederhana, empati bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam memahami dan merasakan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Empati membuat manusia tergerak hatinya untuk bertindak dan melakukan sesuatu. Dalam Al-Qur’an, Nabi Muhammad SAW digambarkan sebagai sosok yang empatik, seperti dalam Surah at-Taubah. Alloh SWT berfirman:

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ

Artinya: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At-Taubah : 128)

Teks formal di atas memberi informasi bagi kita semua tentang Rasulullah sebagai sosok rasul dan pemimpin memiliki sifat-sifat-sifat tertentu, seperti sifat mengalahkan, berat hati, sulit (‘aziiz) letih, kesulitan, penderitaan, empatik (‘anah) sangat menginginkan keimanan dan keselamatan umat manusia (hariisun) lemah lembut dan penuh kasih sayang (ra’uf) dan sifat belas kasihan (rahiim). Sifat yang terakhir lebih umum daripada yang sebelum terakhir.

Dalam konteks kepemimpinan formal dan struktural, seorang pemimpin akan dilihat dari kebijakannya yang harus mengandung kemaslahatan struktural. Seorang atau beberapa pemimpin yang menjadi pelaksana berjalannya roda pemerintahan yang mempunyai wewenang, mengeluarkan kebijakan agar tugas dan tanggung jawab pemerintahan berjalan dengan baik. Kebijakan yang didahului oleh proses politik harus bertujuan menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat hingga penjagaan harkat dan martabat masyarakat sebagai manusia.

Kebijakan struktural bidang ekonomi misalnya, seperti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika membangun pasar pada periode awal di Madinah. Awalnya, pasar di kota Madinah terdapat di Bani Qainuqa yang dikuasai oleh pedagang Yahudi, sering terjadi pelanggaran dan kecurangan di dalamnya. Nabi Muhammad SAW kemudian mengeluarkan kebijakan pembangunan pasar di Bani Saidah yang strategis dalam distribusi komoditas. Pasar di Bani Saidah berkembang menjadi pesaing pasar di Qainuqa. Nabi Muhammad SAW juga berperan sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan menyangkut pasar guna mendukung kemajuan ekonomi masyarakat, seperti dilarangnya membuat lapak khusus dan permanen agar tidak terjadi monopoli area dalam pasar oleh kelompok pedagang tertentu, juga agar tidak ada klaim dari orang lain terhadap lapak tersebut yang kemudian melahirkan konflik. Pasar di Bani Saidah menjadi pasar bersama, pasar rakyat. Kebijakan Nabi di Pasar Bani Saidah juga menyangkut pembebasan retribusi, sehingga para pedagang bisa menikmati laba lebih banyak. Selain itu, kebijakan ekonomi Nabi Muhammad SAW di Pasar Bani Saidah mengandung proteksi terhadap produk lokal, para pedagang harus menjual hasil pertanian kota Madinah dan barang-barang buatan penduduk Madinah. Keberpihakan Nabi Muhammad SAW terhadap produk lokal sangat dirasakan membantu perekonomian masyarakat Madinah.   

Model empati dan kebijakan sturuktural ala Nabi Muhammad SAW di bidang ekonomi dan pertanian membuat masyarakat di kota Madinah menjadi bersemangat dalam bertani dan menganggap bertani merupakan ajaran Nabi Muhammad SAW. Ketika bertemu dengan para petani Nabi Muhammad SAW menerapkan komunikasi empatik dengan bersabda :

إِنْ قَامَتِ السَّاعَةُ وَفِي يَدِ أَحَدِكُمْ فَسِيلَةٌ فَإِنِ اسْتَطَاعَ أَنْ لَا تَقُومَ حَتَّى يَغْرِسَهَا فَلْيَغْرِسْهَا

Artinya: “Jika terjadi hari kiamat sementara di tangan salah seorang dari kalian ada sebuah tunas, maka jika ia mampu sebelum terjadi hari kiamat untuk menanamnya maka tanamlah.”

Dalam pandangan Ibnu Khaldun (1332 M-1384 M), manusia memiliki ragam kebutuhan dasar guna menjaga eksistensinya di muka bumi, baik yang bersifat primer (dharuriyyat) dan lux (kamaliyyat) seperti makanan, pakaian, rumah, senjata untuk menjaga dirinya. Manusia dalam masyarakat memerlukan aktivitas ekonomi dan produksi. Pada keduanya terdapat keniscayaan, seperti pembagian kerja. Bidang pertanian, industri, perdagangan, oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai profesi yang alamiah (thabi’i), sedangkan orang-orang yang bekerja menjadi pegawai negeri dikatagorikan pada profesi yang tidak alamiah (ghairu thabi’i) karena berdasarkan pengangkatan secara formal oleh negara.

Aktivitas ekonomi dan produksi memiliki ragam unsur  yaitu kerja (al-amal)  modal  (ra’su al-mal)  sumber daya alam (mawarid al-tabi’ah). Produksi juga harus dilakukan oleh oleh orang-orang yang memiliki kemampuan fisik dan kreatifitas di bidangnya (al-qudrah). Upaya peningkatan kesejahteraan material hingga spiritual masyarakat memerlukan kerja kolektif, keterlibatan semua pihak. Pemimpin yang empatik adalah mereka yang membuat kebijakan struktural menyangkut pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan sumber daya alam. Karena yang menjadi kelebihan pemimpin formal secara fungsional adalah dalam membuat kebijakan struktural yang pro masyarakat banyak.

Leave a Reply