EKSISTENSI KYAI DI ERA SERBA AI

Spread the love

Sumber foto: Pinterst

Oleh: Ahmad Suhaimi M.A.

Teknologi telah mengantar kita ke sebuah era di mana akses terhadap informasi menjadi tak berjarak dan tak berbatas. Paul Virilio menyebutnya sebagai dromologi, satu fenomena percepatan dalam kehidupan sosial akibat perkembangan teknologi yang menciptakan ruang global lintas batas dengan prinsip zero space real time.

Di tengah arus percepatan ini, kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai simbol kemajuan teknologi dengan kemampuan untuk menjawab berbagai persoalan, termasuk dalam ranah agama. Kemudian pertanyaan yang muncul adalah, Dapatkah AI mengambil alih peran kyai sebagai pembimbing umat dalam institusi pendidikan Islam seperti pesantren?

Pertanyaan ini sejatinya bukan semata perkara teknis, melainkan menyentuh inti eksistensi agama itu sendiri. Jika agama dipandang hanya sebagai kumpulan teks yang harus dihafal dan dijelaskan, AI tentu unggul dalam hal kecepatan dan akurasi. Tetapi, agama adalah sesuatu yang melampaui teks. Yang menggambarkan laku hidup dengan melibatkan dimensi spiritual, etis, dan emosional. Di posisi inilah, kyai menjadi aktor sentral yang kehadirannya tidak dapat tergantikan oleh kecanggihan mesin.

Sebagai makhluk berbasis logika dan data, AI dapat memberi jawaban, tetapi hanya kyai yang mampu memahami. Kyai adalah sosok pembimbing yang tidak hanya menguasai dimensi tekstual agama, tetapi juga memahami konteks sosial, budaya, dan emosi umatnya.

Dalam tradisi Islam, pemahaman agama selalu menuntut kombinasi antara teks dan konteks, ilmu dan hikmah. Wilayah ini berada di luar daya jangkau teknologi, karena hikmah membutuhkan kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman hidup dan ketajaman nurani.

Lebih dari sekadar pengajar, kyai adalah penjaga tradisi, teladan moral, dan pemimpin spiritual. Nilai-nilai seperti kesabaran, keikhlasan, dan kebijaksanaan bukan sekadar diajarkan oleh seorang kyai, tetapi diperlihatkan melalui keteladanan hidup. Hal-hal semacam ini, yang menyentuh jiwa dan membentuk karakter, mustahil diproduksi oleh mesin yang kaku dan tanpa rasa.

Di sisi lain, pesantren sebagai institusi juga memiliki kekhasan yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar tempat transfer ilmu. Pesantren adalah ruang di mana ajaran Islam tidak hanya dipahami, tetapi juga dihayati dan diamalkan. Interaksi yang terjalin antara kyai dan santri menciptakan proses pendidikan yang melibatkan pengalaman batin dan dialog personal. Ada dimensi kehangatan dan keintiman spiritual yang mustahil digantikan oleh logaritma dingin teknologi.

Pesantren pun bukan sekadar institusi pendidikan, tetapi menjadi bagian dari denyut nadi masyarakat lokal. Kyai, dalam kapasitasnya sebagai pemimpin masyarakat, memahami dinamika sosial, budaya, dan tradisi yang menjadi fondasi kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya, AI bekerja dengan data global yang sering kali tidak relevan dengan konteks lokal. Keunggulan pesantren dan kyai justru terletak pada kemampuan mereka menjaga tradisi lokal sambil mengintegrasikannya dengan wawasan universal.

Namun, di balik kecanggihan teknologi, tersimpan sejumlah tantangan yang tidak bisa diabaikan. Bias algoritma adalah salah satu ancaman besar, terutama dalam konteks agama. Jawaban atau rekomendasi yang diberikan AI sangat bergantung pada data yang dimasukkan, yang tidak jarang memiliki kecenderungan tertentu.

Dalam persoalan agama, bias ini berpotensi menciptakan pemahaman yang keliru dengan dampak serius bagi kehidupan umat. Di sisi lain, ketergantungan berlebihan pada teknologi juga berisiko melumpuhkan kemampuan manusia untuk merenung, menghayati, dan menggali makna secara mendalam.

Pendidikan agama sejatinya bertujuan membentuk manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga mendalam secara spiritual. Jika proses pencarian makna digantikan oleh jawaban instan yang dihasilkan teknologi, maka nilai-nilai agama berpotensi kehilangan substansi. Di sini, AI hanya layak diposisikan sebagai alat bantu, bukan sebagai pengganti otoritas ilmu agama.

AI mungkin mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan hukum atau syariat dengan cepat, tetapi ia tidak memiliki kemampuan untuk membimbing umat dalam menjalani kompleksitas kehidupan. Sebaliknya, seorang kyai tidak hanya mengajarkan hukum, tetapi juga membentuk kesadaran dan kedalaman spiritual. Dalam pergulatan dunia modern yang sarat godaan teknologi, peran kyai sebagai penjaga tradisi dan pemimpin spiritual justru semakin relevan.

Teknologi memang menawarkan efisiensi, tetapi agama membutuhkan sentuhan makna. Pesantren akan tetap menjadi pusat pembentukan karakter dan moral umat Islam, sementara AI hanya menjadi alat pelengkap dalam proses tersebut.

Ala Kulli Hal, ilmu agama bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga tentang kebijaksanaan yang lahir dari pengalaman hidup. Posisi kyai adalah penjaga tradisi, pewaris hikmah, dan pembimbing spiritual sebuah peran yang tidak akan pernah tergantikan oleh mesin, betapa pun canggihnya.