Dalam Pasal 29 Ayat 1 dan 2 UUD 1945 dijelaskan bahwa negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Karena itu, sikap alergi dan antipati terhadap faktor agama dalam berpolitik tidak seharusnya terjadi di negara kita, apalagi sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Menurut fakta dan realita, setiap menjelang pemilihan umum, pilkada dan pilpres, partai politik dan pemimpin yang diusung untuk dipilih selalu mendekati umat dan ingin diakui sebagai sosok pemilihan yang relijius, dekat dengan ulama, dekat dengan dunia santri, dan sebagainya. Sekiranya agama tidak boleh dibawa-bawa ke dalam politik dan memilih pemimpin, untuk apa semua itu dilakukan dan diekspos melalui media?.
Bagi umat Islam, segala hal, baik perbuatan, ucapan, keputusan, maupun pilihan terhadap sesuatu, sekalipun secara lahiriah menyangkut urusan duniawi, sama sekali tidak boleh dipisahkan dari keimanan dan pertanggungjawaban di hadapan Alloh SWT di akhirat nanti. Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara urusan agama dan urusan dunia seperti paham sekuler yang memandang agama hanya sebagai urusan pribadi setiap orang.
Umat Islam yang menaati ajaran agamanya wajib menilai kemaslahatan dalam ukuran agama dan akhlak, termasuk dalam praktik berpolitik dan berdemokrasi. Diakui atau tidak, kepemimpinan yang berakhlak dan begitu pula pentingnya kriteria orang berakhlak yang dipilih menjadi pemimpin tidak bisa dimungkiri merupakan harapan dan dambaan masyarakat.
Dalam kaitan ini, sebagai ikhtiar untuk menjaga kemaslahatan bangsa, maka akhlak calon pemimpin haruslah menjadi faktor penentu dalam memberikan dukungan dan memilih seseorang untuk menjadi pemimpin yang memegang kekuasaan. Rasulullah SAW dalam sebuah hadis bersabda, “Akan datang melanda umatku di mana pemimpin yang berkuasa berlaku bagai (sifat) singa, para pembantunya bagai (sifat) serigala, para ulamanya bagaikan (sifat) hewan, rakyatnya bagaikan (sifat) domba. Coba bayangkan nasib domba yang hidup di tengah-tengah situasi demikian.”
Hadis Nabi mengisyaratkan perlunya kehati-hatian dalam memilih pemimpin. Pengalaman sering kali membuktikan bahwa pemimpin yang mencari kekuasaan, meski dibungkus dengan janji-janji untuk menyejahterakan rakyat, tetapi kalau semua itu tidak ikhlas dan istiqamah maka kekuasaan yang dipegangnya menjadi sumber petaka.
Baca Juga:
Islam menggariskan empat sifat yang minimal harus dimiliki oleh seorang pemimpin yang berakhlak, yaitu siddiq, tabligh, amanah, dan fathanah. Siddiq adalah lurus dan bisa dipercaya. Tabligh bermakna kemampuan menyampaikan kebenaran. Amanah ialah bertanggung jawab dalam menjalankan tugas. Fathanah artinya cerdas dalam arti mampu menjalankan kekuasaan dengan baik dan benar.
Timbulnya kegaduhan, penyalahgunaan wewenang, dan kebijakan yang menyusahkan rakyat, salah satu penyebab adalah pemimpin miskin akhlak. Boleh jadi pemimpin terlihat dekat dengan rakyat, tetapi ketika membuat kebijakan tidak menyelami perasaan dan aspirasi rakyat, menunjukkan akhlaknya hanya sebatas penampilan tetapi tidak berakar dalam karakter diri.
Untuk menjadi pemimpin, seseorang haruslah memiliki bekal yang cukup. Bekal itu berupa kekuatan yang akan digunakan untuk menggerakkan semua orang yang dipimpin. Kekuatan itu merupakan buah pikiran atau ide, pendapat, wawasan, kemampuan melihat masa depan untuk menentukan arah kemana lembaga yang dipimpinnya akan dikembangkan, potensi yang ada, cara-cara yang akan ditempuh untuk memajukan lembaga yang dipimpin, bahkan bagaimana mengatasi rintangan yang mungkin timbul dalam berbagai bentuknya.
Setidaknya, terdapat lima sikap yang harus ditanamkan dalam diri seorang pemimpin. Pertama, ikhlas menjalankan amanah kepemimpinan dan semata mengharap keridlaan Alloh SWT. Perhatikan petikan Alquran berikut, “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Alloh, sedang dia pun mengerjakan kebaikan?.” (QS. An-Nisa: 125).
Sikap kedua adalah sabar. Kesabaran terdiri dari pengetahuan, keadaan, dan amal. Pengetahuan seperti pohon, keadaan seperti ranting-ranting dan amal seperti buah. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa maslahat keagamaan terdapat dalam kesabaran, sehingga dalam diri manusia harus timbul dorongan untuk melakukan kesabaran.
Firman Alloh sebagai berikut, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (QS. As-Sajadah: 24).
Sikap ketiga ialah istiqamah, berkaitan dengan segala perkataan, perbuatan, keadaan, dan juga niat. Umar bin Khatthab pernah berkata, “Istiqamah artinya engkau teguh hati pada semua perintah dan larangan serta tidak menyimpang seperti jalannya rubah.” Sementara Utsman bin Affan berkata, “Istiqamah artinya amal yang ikhlas karena Alloh.”
Keempat adalah ikhtiar yang maksimal. Berusaha sekuat tenaga dalam memberikan pelayanan dan pengabdian terbaik dengan cara-cara yang diridlai Alloh SWT. Yakinilah, bahwa sekecil apa pun ikhtiar kita, jika dimaksudkan untuk kemaslahatan, Alloh akan hadirkan pertolongan-Nya, bahkan dengan cara yang mungkin tidak pernah kita sangka.
Sikap kelima adalah tawakal secara total. Tawakal menjadi salah satu penilaian tingkat keimanan seorang muslim. Tawakal harus datang dari dalam hati, tidak hanya keluar dari ucapan atau lisan. Alloh berfirman, “Kemudian, apabila kamu telah membulatkan tekad maka bertawakallah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali Imran: 159).
Demikianlah, lima modal penting bagi seorang pemimpin. Semua upaya itu adalah ikhtiar terbaik, bahwa tiada daya dan upaya melainkan berasal dari Alloh. Karenanya, sudah sepatutnya seorang pemimpin memiliki lima bekal di atas dalam menjalankan amanahnya. Wallahu ‘alam bishashawab.
Oleh : Mahfud Anwari