Oleh: Khotimul Alhariz
Idul Adha, yang kita kenal juga sebagai Hari Raya Kurban, lebih dari sekadar perayaan tahunan atau ritual penyembelihan hewan. Ia adalah monumen agung bagi keimanan, sebuah perwujudan konkret dari pengorbanan yang tulus dan kepasrahan total kepada kehendak ilahi. Di balik setiap tetes darah hewan kurban, terkandung hikmah mendalam tentang bagaimana seorang hamba sejati menghadapi perintah Tuhannya dengan pengorbanan jiwa raga dan penerimaan takdir tanpa sedikit pun keraguan.
Jejak Pengorbanan Sang Khalilullah: Nabi Ibrahim A.S.
Setelah titel Al-khalil disandangnya, Malaikat bertanya kepada Alloh: “Ya Tuhanku, mengapa Engkau menjadikan Ibrahim sebagai kekasih-Mu. Padahal ia disibukkan oleh urusan kekayaannya dan keluarganya?” Alloh berfirman: “Jangan menilai hamba-Ku Ibrahim ini dengan ukuran lahiriyah, tengoklah isi hatinya dan amal baktinya!”
Sebagai realisasi dari firman-Nya ini, Alloh SWT mengizinkan para malaikat menguji keimanan serta ketakwaan Nabi Ibrahim. Ternyata, kekayaan dan keluarganya tidak membuatnya lalai dalam taatnya kepada Alloh. Dalam kitab “Misykatul Anwar” disebutkan bahwa konon, Nabi Ibrahim memiliki kekayaan 1.000 ekor domba, 300 lembu, dan 100 ekor unta. Riwayat lain mengatakan, kekayaan Nabi Ibrahim mencapai 12.000 ekor ternak. Suatu jumlah yang menurut orang di zamannya tergolong miliuner.
Ketika pada suatu hari, Ibrahim ditanya oleh seseorang, “Milik siapa ternak sebanyak ini?” maka dijawabnya, “Kepunyaan Alloh, tapi kini masih milikku. Sewaktu-waktu bila Alloh menghendaki, aku serahkan semuanya. Jangankan cuma ternak, bila Alloh meminta anak kesayanganku Ismail, niscaya akan aku serahkan juga.”
Ibnu Katsir dalam tafsir Al-Qur’anul ‘adzim mengemukakan bahwa, pernyataan Nabi Ibrahim yang akan mengorbankan anaknya jika dikehendaki oleh Alloh itulah yang kemudian dijadikan bahan ujian, yaitu Alloh menguji iman dan ketakwaan Nabi Ibrahim melalui mimpinya yang haq (benar), agar ia mengorbankan putranya yang kala itu masih berusia 7 tahun. Anak yang elok rupawan, sehat lagi cekatan ini, supaya dikorbankan dan disembelih dengan menggunakan tangannya sendiri.
Peristiwa spektakuler itu dinyatakan dalam Al-Qur’an: “Ibrahim berkata : “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu, maka pikirkanlah apa pendapatmu? Ismail menjawab: Wahai ayahku kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Alloh engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” (QS Aa-Saffat: 102).
Respon Ismail adalah bukti kepasrahan yang luar biasa, sebuah manifestasi penerimaan takdir yang agung. Ia tidak mempertanyakan, tidak menolak, bahkan mendorong ayahnya untuk melaksanakan perintah Alloh. Ini menunjukkan puncak ketakwaan, di mana ikatan duniawi, bahkan yang paling kuat sekalipun, tidak dapat mengalahkan ketaatan kepada Sang Pencipta.
Sikap Ismail sangat dipuji oleh Alloh dalam firman-Nya: “Dan ceritakanlah (Muhammad), kisah Ismail di dalam Kitab (Al-Qur’an). Dia benar-benar seorang yang benar janjinya, seorang rasul dan nabi.” (QS. Maryam/19:54)
Ketika keduanya siap untuk melaksanakan perintah Alloh. Iblis datang menggoda sang ayah, sang anak, dan sang ibu silih berganti. Akan tetapi Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan Nabi Ismail tidak tergoyah oleh bujuk rayuan iblis yang menggoda agar membatalkan niatnya. Mereka tidak terpengaruh sedikit pun untuk mengurungkan niatnya melaksanakan perintah Alloh. Ibrahim melempar iblis dengan batu, mengusirnya pergi. Dan ini kemudian menjadi salah satu rangkaian ibadah haji yaitu melempar jumrah.
Pada puncaknya, Alloh mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar, bukan karena Alloh membutuhkan kurban fisik, melainkan karena Dia ingin menunjukkan bahwa yang terpenting adalah keikhlasan hati dan kesiapan berkorban. Ini menegaskan bahwa pengorbanan sejati adalah pengorbanan jiwa dan kehendak pribadi demi keridaan-Nya. Kisah ini mengajarkan bahwa pengorbanan yang diminta Alloh adalah pengorbanan hawa nafsu, cinta dunia, dan segala hal yang dapat menghalangi seorang hamba dari ketaatan penuh kepada-Nya.
Pengorbanan dalam Kehidupan Muslim
Pengorbanan dalam Islam tidak hanya terbatas pada peristiwa penyembelihan hewan kurban di Idul Adha. Ia adalah sebuah prinsip fundamental yang meresap dalam setiap aspek kehidupan seorang Muslim.
Ada banyak konsep pengorbanan dalam kehidupan seorang muslim, seperti pengorbanan harta, sebuah konsep zakat, infak, dan sedekah yang kesemuanya merupakan bentuk pengorbanan harta yang wajib dan dianjurkan.
Alloh SWT berfirman dalam QS. At-Taubah (9): 103:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Ini adalah pengorbanan sebagian dari rezeki yang diberikan Alloh untuk membersihkan harta dan jiwa, serta membantu sesama.
Selain itu ada pengorbanan waktu dan tenaga: Salat lima waktu, puasa, haji, serta kegiatan dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar, semuanya membutuhkan pengorbanan waktu dan tenaga.
QS. Al-Baqarah (2): 207 menyebutkan: “Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridaan Alloh; dan Alloh Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” Ayat ini menggambarkan puncak pengorbanan seorang hamba yang rela mengorbankan dirinya demi mencari keridaan Alloh.
Terakhir, pengorbanan hawa nafsu: Jihad yang paling besar adalah melawan hawa nafsu diri sendiri, mengendalikannya dari keinginan-keinginan buruk dan mengarahkannya pada kebaikan. Inilah pengorbanan paling sulit namun paling esensial.
Menguatkan Diri dengan Penerimaan Takdir (Qada dan Qadar)
Kisah Nabi Ibrahim dan Ismail tidak hanya berbicara tentang pengorbanan, tetapi juga tentang penerimaan takdir (qada dan qadar). Keduanya menunjukkan kepasrahan total terhadap ketetapan Alloh, tanpa protes atau penyesalan. Ini adalah inti dari iman yang kuat, di mana seorang hamba percaya bahwa segala yang terjadi adalah kehendak Alloh dan mengandung hikmah terbaik, bahkan jika awalnya terasa pahit.
Hadis Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Iman itu ada enam: engkau beriman kepada Alloh, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.” (HR. Muslim)
Penerimaan takdir bukan berarti pasif dan tanpa usaha. Sebaliknya, ia adalah hasil dari usaha maksimal yang dibarengi dengan keyakinan bahwa Alloh akan memberikan yang terbaik. Setelah berusaha, hati kemudian menyerahkan sepenuhnya hasil kepada Alloh, menerima apa pun ketetapan-Nya dengan ikhlas.
Rasululloh Saw bersabda: “Termasuk keberuntungan anak Adam adalah kerelaannya terhadap apa yang telah Alloh tetapkan baginya, dan termasuk kesengsaraan anak Adam adalah sikap benci (tidak menerima) terhadap apa yang telah Alloh tetapkan baginya.” (HR. Tirmidzi)
Dari keterangan panjang di atas menunjukkan bahwa Idul Adha adalah pengingat abadi bahwa kehidupan seorang Muslim adalah perjalanan pengorbanan dan penerimaan. Pengorbanan untuk mendekatkan diri kepada Alloh, dan penerimaan takdir-Nya dengan hati yang lapang. Semoga Idul Adha ini membawa kita semua pada tingkat ketakwaan yang lebih tinggi dan memperkuat ikatan persaudaraan sesama muslim. Wallohu a’lam