Mana Yang Harus di Dahulukan?

Kajian Fiqih
Spread the love
Dahulukan
Kajian Fiqih

Pada edisi kali ini, pembahasan kajian fikih masih dalam tema yang sama, seperti edisi sebelumnya yang membahas seputar nafkah sesuai urutan kewajibannya. Sebelumnya telah dibahas nafkah untuk diri sendiri dan nafkah untuk istri. Ulasan kali ini akan membahas tentang nafkah yang disebabkan hubungan kekerabatan.

Mengenai siapa saja kerabat yang wajib diberi nafkah, para ulama berpeda pendapat. Dalam hal ini, Madzhab Syafi’i berpendapat kerabat yang wajib dinafkahi hanya terbatas pada jalur orang tua sampai ke atasnya (orang tuanya orang tua dan seterusnya) dan jalur anak sampai ke bawahnya (anaknya anak dan seterusnya). Sementara Madzhab Maliki hanya terbatas pada jalur orang tua dan anak saja tanpa mencakup orang tuanya orang tua dan anaknya anak. Adapun dalam Madzhab Hanafi mencakup semua kerabat yang memiliki hak dalam menerima warisan. Sedangkan Madzhab Hanbali mencakup semua kerabat yang memiliki ikatan mahram.

Berkaitan dengan kewajiban memberi nafkah berdasarkan urutannya, Madzhab Syafi’i berpendapat adalah kerabat paling dekat, yakni anak, ibu dan ayah sebagaimana disebutkan dalam kitab Fathul Mu’in. Dijelaskan, jika hanya mampu menafkahi satu orang, maka anak didahulukan, atau dua orang, maka anak dan ibu, begitu seterusnya.

Adapun syarat-syarat yang mewajibkan anak diberi nafkah serta didahulukan dari orang tua meliputi:

1. Orang tua memiliki kelebihan harta dari nafkahnya sendiri dan nafkah istrinya dalam tempo minimal sehari semalam.

2. Si anak masih kecil dan belum baligh, atau sudah baligh namun memiliki cacat fisik atau terkena penyakit yang membuatnya tidak bisa mencari nafkah sendiri, dan

3. Si anak fakir dan tidak mampu mencari nafkah.

Apabila ketiga syarat di atas tidak terpenuhi, maka kewajiban nafkah anak gugur dan beralih ke urutan selanjutnya. Misalnya si anak masih kecil tapi kaya, atau fakir tapi sudah baligh dan mampu bekerja. Kecuali jika si anak sedang mencari ilmu syari’at yang berhubungan dengan kewajiban pribadinya, maka orang tua tetap wajib menafkahi meskipun anak sudah baligh dan mampu bekerja. Berbeda jika ilmu tersebut bukan bersifat syar’i, seperti ilmu kedokteran dan lainnya, maka orang tua boleh tidak memberi nafkah atau tetap memberi, dan tentunya langkah ini yang lebih baik.

ikappasma
ikappasma

Kemudian untuk syarat-syarat orang tua wajib diberi nafkah oleh anaknya adalah:

1. Anak memiliki kelebihan harta dari nafkahnya sendiri, nafkah istri dan anaknya dalam tempo minimal sehari semalam.

2. Orang tua fakir, yakni tidak memiliki kecukupan untuk menafkahi dirinya serta tidak memiliki mata pencaharian yang dapat mencukupi kebutuhannya atau tidak tercukupi oleh nafkah suaminya yang tidak lagi mampu bekerja atau karena sudah meninggal.

Dalam hal ini, status fakir bagi orang tua berbeda dengan status fakir pada anak. Sebab status tersebut bagi seorang anak jika disertai dengan kemampuan bekerja, akan dianggap sama dengan status kaya hingga hukum nafkahnya menjadi tidak wajib kecuali dengan alasan tertentu, sebagaimana telah disebut sebelumnya. Sedangkan status fakirnya orang tua yang masih mampu bekerja, tidak menggugurkan kewajiban anaknya dalam memberi nafkah padanya dan anak tersebut tidak boleh membebankan pekerjaan pada orang tuanya, apalagi jika sudah lanjut usia.

Adapun untuk ukuran nafkah yang disebabkan unsur kekerabatan ini tidak ada ketentuan khusus baik dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan lainnya. Dalam ketentuan ini tidak bersifat seterusnya seperti menafkahi istri. Sebab semuanya mengikuti ‘urf (kebiasan yang berlaku) dan tergantung kemampuan yang memberi nafkah. Kemudian kewajiban memberi nafkah juga bisa gugur karena sebab dan keadaan tertentu. Wallohu a’lamu bishshowab.