Nikmat Apa yang Lebih Besar dari pada Kemunculan Sang Nabi?
Nara Sumber : KH. Muhammad Aunul Abied Shah, (Pengasuh PP. Darus Salam, Torjun, Sampang)
Bagaimana Perayaan Pesta Maulid Nabi SAW dalam Perspektif agama?
Ada dua kata dalam pertanyaan ini yang tidak selalu ada bersamaan, karena ada perayaan tanpa pesta yang berkonotasi hura-hura, ada juga pesta yang tanpa perayaan maulid.
Menurut para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah, perayaan maulid adalah salah satu bentuk amal kebaikan yang apabila kita lakukan dengan ikhlas dan bergembira dengan kelahiran Kanjeng Nabi SAW, maka itu termasuk amal yang aslinya mubah bisa mendapatkan nilai ibadah. Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri, yang merupakan panutan aliran Wahhabi, menyatakan dalam kitab Iqtidha’ ash-Shiratil Mustaqim: “Mengadakan acara besar Maulid Nabi selama satu musim kadang dilakukan oleh sebagian orang, dan kemudian dia akan mendapatkan pahala yang besar di dalam melaksanakan peringatan maulid ini, karena niat baiknya dan karena dia mengagungkan Rosululloh SAW.” (Lihat: Kitab Iqtidha’ ash-Shiratil Mustaqim wa Mukhalafati Ashhabil Jahiim karya Ibnu Taimiyah, cetakan Mathbaah As-Sunnah al-Muhammadiyah, hal. 297)
Menurut Kyai, perlukah kita bermaulid?
Perlu. Bahkan kita melakukan perayaan maulid ini sesuai kemampuan kita setiap waktu. Setiap hari kita bersyukur atas nikmat Alloh dan nikmat hidayah melalui perantaraan Kanjeng Nabi SAW, itu artinya kita sudah bermaulid. Setiap waktu kita melakukan perbuatan ketaatan dan kebaikan, itu juga kita sudah bermaulid. Setiap kali kita ingat dan menghaturkan shalawat sebanyak-banyaknya kepada beliau, itu artinya kita bermaulid. Kita juga selalu bermaulid setiap kali kita berdzikir kepada Alloh, karena kita tahu cara berdzikir karena berkat rawuh-nya Sayyidina Rosulillah SAW. Bahkan setiap kali kita merasakan gejolak cinta kepada beliau, sejatinya kita bermaulid juga. Karena kita meyakini bahwa cinta sejati dan kepatuhan kepada Kanjeng Nabi yang kita cintai akan mengantarkan kita kepada Alloh Ta’ala.
Lalu bagaimana dengan kelompok yang menyatakan bahwa (perayaan) Maulid itu bid’ah?
Kita tidak menolak perkataan mereka bahwa Maulid itu bid`ah, tetapi kita berbeda dengan mereka. Karena kita menegaskan bahwa tidak semua bid’ah itu salah dan sesat, ada bid’ah yang baik, seperti acara maulid ini. Inilah yang ditegaskan oleh Imam Ibnu Hajar al-`Asqalani dalam kitab Fathul Bari, sebagaimana disebutkan dalam Hasyiyah Asy-Syarwani: “Peringatan/perayaan maulid itu hukum asalnya adalah bid’ah yang tidak pernah dilakukan oleh orang salaf dulu pada tiga abad pertama hijriyah. Meskipun demikian, di dalam peringatan maulid ini terdapat kebaikan dan lawannya (keburukan). Barang siapa yang melakukan peringatan Maulid dengan berkomitmen penuh melakukan kebaikan dan menghindarkan diri sepenuhnya dari segala bentuk kemungkaran, maka ini bisa disebut sebagai bid`ah hasanah.”. . . Sampai beliau menyatakan bahwa (sebagai bentuk kesyukuran atas sebuah nikmat) “Nikmat apa yang lebih besar dari kemunculan Sang Nabi yang membawa rahmat ini? Meskipun demikian, perayaan maulid harus terlihat jelas berbentuk kesyukuran kepada Alloh Ta’ala dengan berbagai bentuk yang mengandung nilai ibadah, seperti membaca al-Quran, bersedekah dan membaca shalawatan yang menggerakkan hati kita semua untuk berbuat baik dan bekerja di dunia ini untuk kebaikan hari akhirat.” (Lihat, Hasyiyah Asy-Syarwani, Juz 7/hal. 423, cet. Darul Fikr).
Bagaimana cara menyikap kepercayaan bid`ah (dholalah) yang berkembang di masyarakat?
Dengan pintar-pintar menempatkan diri melakukan pendekatan persuasif. Alloh berfirman dalam QS. An-Nahl: 125:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Ajaklah ke jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan nasehat yang baik, debatlah mereka dengan (materi dan cara) yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhan kalian betul-betul lebih tahu siapakah yang telah tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih tahu siapakah yang termasuk orang-orang yang mendapatkan hidayah.”
Dan Maulid ini jelas bukan bid’ah dholalah. Karena ini merupakan bentuk ketundukan/kepatuhan kita kepada perintah Alloh yang telah memerintahkan kita semua untuk bergembira dengan rawuh-nya Kanjeng Nabi SAW. Allah berfirman dalam QS. Yunus ayat 58:
قُلْ بِفَضْلِ الله وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُوْنَ
“Katakanlah: agar hendaknya kalian bergembira dengan keutamaan dan rahmat Alloh Taala, yang demikian itu lebih baik dari semua harta yang kalian kumpulkan.”
Lalu kita mendapatkan dalam Tafsir Ad-Durrul Mantsur karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi, bahwa beliau meriwayatkan dari Sayyidina Abdullah bin Abbas ra., bahwa beliau berkata: “Yang disebut sebagai keutamaan dari Alloh adalah ilmu pengetahuan, sedangkan rahmatnya Alloh Ta’ala adalah Kanjeng Nabi Muhammad SAW”.
Jadi kita diperintahkan oleh Alloh Ta’ala langsung untuk bergembira dengan mengadakan maulid. Yang mau bermaulid selama semusim saja silahkan, yang mau bermaulid setiap waktu dengan amal ketaatan dan kebaikan yang berkesinambungan tentunya akan lebih sempurna.
Bolehkah kita mengundang tetangga yang berbeda agama dalam perayaan maulid, dengan alasan toleransi?
Toleransi tidak sama dengan mencampur-adukkan antar ajaran dan ibadah berbagai agama. Kita tidak boleh mengikuti ibadah ritual agama lain, karena itu artinya kita mempercayai ataupun ridla dengan kesesatan mereka. Sebagaimana kita juga tidak boleh membuat umat beragama lain dalam “situasi yang tidak enak”, tidak enak menolak undangan sedangkan dia sendiri aslinya enggan atau jelas-jelas tidak percaya kepada Kenabian Nabi Muhammad SAW. Beda kalau dia datang sendiri, ataupun melibatkan diri sebagai bentuk gotong royong atau tepo seliro (saling menghargai) antar tetangga, itu tidak apa-apa. Karena Nabi Muhammad adalah rahmat bagi semesta alam. Allah berfirman: “وما أرسلناك إلا رحمة للعالمين. (QS. Al-Anbiyaa: 107.)
Adakah batasan-batasan dalam Perayaan Maulid? Mengingat di Madura sendiri sudah berkembang dalam berbagai variasi dan kemasan seperti berebutan hadiah dan berkat (red: Madura)?
Perayaan Maulid adalah perayaan keagamaan Islam, jadi harus sesuai dengan aturan yang ada pada agama kita, seperti tidak boleh berlebih-lebihan, tidak boleh mubazir, tidak boleh menimbulkan percampuan/kerumunan yang berdesak-desakan antar lain jenis, tidak boleh membuka aurat atau menimbulkan gerakan-gerakan tubuh yang tidak pantas, dan harus menjaga ketakdziman kita selalu kepada Rosululloh SAW. Jadi pada prinsipnya, segala hal yang tak sesuai dengan ketentuan agama kita harus kita jauhkan dari perayaan maulid ini.
Dengan alasan menghormati Nabi, di beberapa daerah tidak sedikit masyarakat yang memaksakan diri dengan cara berhutang untuk merayakan maulid. Apakah ini dibenarkan?
Sebenarnya latar belakang masyarakat dalam merayakan maulid, bagi kalangan Madura khususnya ada tiga: untuk menghormati Nabi, untuk mendapatkan kebarokahan dalam hidupnya dan keluarganya, dan khususnya bagi para pedagang dan bisnismen: mereka merayakan maulid untuk keberlangsungan/kemajuan usaha dan bisnisnya. Untuk tujuan kedua dan ketiga, saya kira boleh berhutang kalau tidak punya dana di saat tiba waktunya bermaulid; kalau dia yakin bisa segera melunasi hutangnya dalam waktu dekat. Kalau tidak, ya jangan sampailah berhutang, apalagi kalau berhutang kepada para rentenir yang membungakan uang.
لاَ يُكَلِّفُ اللهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
“Allah tidak pernah membebani seseorang lebih dari batas kemampuannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Berkembang keyakinan dalam masyarakat: walaupun mengadakan maulid dengan cara memaksakan diri atau berhutang, pastilah akan membawa keberkahan dan balasan yang berlipat ganda. Bagaimana tanggapan Kyai?
Ini termasuk kearifan lokal yang berkembang di kalangan masyarakat Madura. Dan mereka sudah merasakan banyak buktinya. Kita harus mendorong mereka untuk tidak memaksakan diri dengan cara berhutang demi merayakan maulid. Dorong mereka untuk menabung atau menyisihkan sebagian penghasilan harian/mingguan/bulanannya secara rutin agar bisa merayakan maulid dengan terhormat.
Bagi yang tak mampu mengadakan maulid kadang menjadi buah simalakama, karena mendapatkan gunjingan di masyarakat. Lalu bagaimana cara menyikapinya?
Menjadi kewajiban para tokoh agama dan masyarakat untuk melakukan edukasi yang positif/sosialisasi pemahaman keagamaan yang baik. Salah satu caranya dengan menggabungkan maulid itu dengan acara keluarga yang lain, seperti haul, sehingga biaya bisa ditekan sebisa mungkin atau bisa mengadakan maulid kolektif di masjid. Saya kira masyarakat tidak akan menggunjingkan orang yang miskin dan tak mampu mengadakan peringatan maulid. Masyarakat hanya akan menggunjingkan orang-orang yang mempunyai gaya hidup mewah tetapi tidak mau mengadakan maulid.
Bolehkah mentradisikan peringatan maulid dengan beragam kreasi seperti perlombaan seni Islami?
Boleh, tetapi jangan sampai lupa untuk membaca sholawat yang biasa dibaca saat maulid. Karena di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Orang Sampang misalnya, tidak akan merasa puas bermaulid kalau tidak membaca shalawat “Fi Hubbi” bersama-sama, orang Yaman mungkin membaca sholawat Simthut Durar, orang Mesir membaca Burdah, sedangkan orang Hijaz, Kurdistan dan lain-lain selalu mengadakan Maulid dengan membaca Barzanji.
Menurut Kyai, bagaimana caranya mengadakan maulid di masa pandemi seperti sekarang ini.
Jangan memaksakan diri mengadakan maulid kalau ekonominya sedang anjlok. Jangan memaksakan mengadakan maulid kalau kawasannya termasuk zona merah atau – apalagi – zona hitam. Kalau memang mampu dan bisa mengadakan maulid, ikuti petunjuk aparat dan kebijaksanaan pemerintah. Patuhi prosedur kesehatan yang berlaku. Sebenarnya perayaan maulid bisa dilaksanakan seperti biasa kalau para hadirinnya sudah melakukan vaksinasi. Seperti yang kita lihat di Eropa, mereka diperbolehkan menonton EURO 2021 secara langsung di stadion karena imunitas komunal sudah tercapai.
Sikap dan Pesan Kyai terkait Pesta Maulid di saat resesi ekonomi seperti sekarang?
Laksanakan maulid dengan memperhatikan aturan pemerintah. Kalau bisa bacalah burdah juga dengan niat tolak bala. Kita melakukan ikhtiar lahir dengan vaksinasi, bermasker dan lain-lain. Kita juga melakukan ikhtiar bathin dengan membaca Sholawat Burdah. Mungkin kalau yang mampu bermaulid mengadakannya dengan niat bersedekah, maka sedekah juga bisa menjadi penangkal bala baginya dan bagi orang-orang yang dicintainya. Di sisi lain, sedekah ini menjadi bantuan sosial bagi yang sedang terhimpit kesulitan ekonomi.
Kita semua adalah anak-anaknya Kanjeng Nabi SAW, umatnya beliau yang sangat beliau sayangi. Mungkin beliau mempunyai cara yang unik untuk membagikan kebahagiaan kepada kita semua yang mencintai beliau dengan sepenuh hati. Yang kaya berbahagia karena bisa berbagi, yang miskin berbahagia karena menemukan sesuap nasi setiap hari sepanjang bulan Maulid Nabi. WalLahu A`lam bish showab. In uriidu illal ishlaah ma’statha`t.