MENGINGAT KEMBALI MAKNA THOLABUL ILMI

Spread the love

Sumber foto: Pinterest

Menuntut ilmu adalah kewajiban mendasar bagi setiap manusia, terutama bagi umat Islam. Perintah agama ini berlaku tanpa terkecuali, bagi siapa pun tanpa memandang usia maupun status sosial. Ilmu adalah warisan para Nabi yang sangat berharga untuk digali dan dikembangkan demi kemanfaatan diri dan umat. Dengan ilmu, kita berharap dapat meraih kemajuan dan semakin dekat dengan Alloh SWT.

Rasululloh SAW bersabda “Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, sesungguhnya mereka hanyalah mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang telah mengambilnya, maka ia telah mengambil bagian yang banyak. (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi). Hadis ini dengan jelas menggarisbawahi betapa tingginya kedudukan ilmu dalam Islam. Ilmu adalah pusaka abadi yang nilainya jauh melebihi harta duniawi. Orang yang bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu berarti telah mewarisi sesuatu yang sangat berharga dari para utusan Allah. Ilmu bukan hanya sekadar informasi, tetapi juga petunjuk hidup yang mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.

Dari sinilah Alloh SWT memberikan keistimewaan kepada orang-orang yang menuntut ilmu, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Namun, terkadang keistimewaan duniawi ini dapat mengecoh sebagian penuntut ilmu, sehingga mereka keliru dalam menetapkan niat dan tujuan. Mereka mungkin mencari ilmu demi popularitas atau pengakuan duniawi semata.

Mengawali tahun ajaran baru ini adalah momen yang tepat bagi kita sebagai pelajar untuk merenungkan kembali tujuan menuntut ilmu. Motivasi kita dalam menuntut ilmu bisa beragam. Sebagian mungkin terdorong oleh tekanan orang tua, sementara yang lain memiliki keinginan sendiri, mungkin karena pengaruh teman atau alasan lainnya.

Oleh karenanya, mulai detik ini kita ubah mindset kita dengan meluruskan niat dan tujuan dalam menuntut ilmu, seperti yang sudah disampaikan oleh Imam az-Zarnuji dalam kitabnya Ta’limul Muta’alim, beliau menyebutkan, bahwa seorang pelajar harus memiliki niat saat menuntut ilmu. Landasan yang digunakan beliau yaitu sabda Nabi tentang niat, “Innamal a’mâlu binniyyât,” “Sesungguhnya amal seseorang tergantung pada niatnya.”

Seperti halnya orang berlayar,  niat merupakan tujuan awal yang hendak ditempuh. Jika yang dituju sebuah tempat yang indah maka akan sampai ke tempat tersebut, sebaliknya jika yang dituju merupakan pulau yang menyeramkan maka kapal akan berlabuh di situ. Apalagi sampai tidak ada niat sedari awal, maka kapal hanya terombang-ambing di lautan lepas. Begitu pentingnya niat dalam sebuah amal, terutama dalam mencari ilmu.

Ada beberapa niat yang dianjurkan Imam az-Zarnuji ketika menuntut ilmu. Pertama, mencari rida Alloh SWT. Kedua, menghilangkan kebodohan dirinya dan orang lain. Ketiga, menghidupkan agama dan mendirikan Islam. Keempat, mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan. Dalam pasal ini Imam al-Zarnuji juga memberi peringatan supaya seorang pelajar tidak mencari ilmu dengan maksud mencari pengaruh supaya orang-orang berpaling kepadanya, begitu juga mencari kedudukan di sisi penguasa, kecuai jika ilmu tersebut digunakan untuk menyeru kebaikan dan mecegah kemungkaran di tengah pemerintah.

Dalam hal ini, guru kita Muassis Pondok Pesantren Assirojiyyah menegaskan tujuan dalam menuntut ilmu, sebagaimana yang telah menjadi pedoman yaitu menghilangkan kebodohan dan mencari rida Alloh SWT. Karena sejatinya manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Alloh SWT. Dengan demikian, rida Allah akan dicapai melalui ibadah yang benar dan khusyuk. Sedangkan dalam melaksanakan ibadah yang sesuai dengan tuntunan-Nya, dibutuhkan yang namanya ilmu. Dengannya, ibadah yang kita lakukan akan menjadi benar, berkualitas, dan diterima di sisi Allah. Ilmu menjadi prasyarat mutlak bagi ibadah yang sahih.

Berbeda dengan orang yang menuntut ilmu dengan niat yang tidak baik maka hasil akhirnya juga tidak baik. Nabi Muhammad SAW bersabda “Barang siapa yang menuntut ilmu untuk berdebat dengan orang-orang bodoh dan membanggakan diri terhadap ulama atau menarik perhatian manusia. Maka Alloh akan memasukkan mereka ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi). Hadis ini memberikan peringatan yang sangat keras terhadap orang-orang yang menyalahgunakan ilmu untuk tujuan-tujuan duniawi yang rendah dan penuh kesombongan. Ilmu yang seharusnya menjadi rahmat dan petunjuk justru bisa menjadi bumerang jika niatnya tidak lurus.

Dari hadis ini dalam kitab Adabul ‘Alim wa al-Muta’allim, Hadratussyekh Muhammad Hasyim Asy’ari menjelaskan, “Seluruh apa yang telah dijelaskan berupa keutamaan ilmu dan ahlinya hanya berlaku bagi para ulama yang mengamalkan ilmunya, mereka yang baik-baik, bertakwa serta dengan ilmunya bertujuan mencapai ridhanya Allah dan mendekat kepada-Nya di surga Na’im. Keutamaan tersebut tidak berlaku bagi orang yang berniat dengan ilmunya (dapat meraih) tujuan-tujuan duniawi berupa tahta, harta atau bersaing memperbanyak pengikut dan murid.”

KH Hasyim Asy’ari begitu menekankan urgensi niat dalam belajar dan mengajarkan ilmu, karena kualitas amal sangat tergantung kepada niatnya. Banyak perbuatan yang kelihatannya amal akhirat, tapi menjadi amal duniawi karena kesalahan niat.

Al Imam, Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad, al-Ghazali ath-Thusi Rahimahullahu Ta’ala berkata, “Ketahuilah wahai saudaraku yang sangat berminat dan mempunyai perhatian yang besar ingin mendapat curahan ilmu, yang betul-betul berharap dan sangat dahaga kepadanya. Seandainya engkau berniat dalam menuntut ilmu untuk berlomba-lomba mendapatkan kemegahan, ingin terkenal di kalangan kawan-kawanmu, menarik perhatian orang banyak terhadap dirimu, mengalahkan orang lain, dan mengharapkan kekayaan dunia, maka sesungguhnya engkau sedang berusaha menghancurkan agamamu, membinasakan dirimu, dan menjual akhiratmu. Maka perniagaanmu itu merugi, dan gurumu telah membantumu berbuat maksiat serta menjadi sekutumu dalam kerugian tersebut. Gurumu laksana orang yang menjual pedang kepada perampok, sebagaimana sabda Rasululloh Shallallahu Alaihi Wasallam,“Siapa yang menolong orang lain melakukan perbuatan maksiat walaupun hanya dengan setengah kalimat, maka ia sudah menjadi sekutu baginya dalam perbuatan tersebut.

Jika niat dan maksudmu dalam menuntut ilmu itu untuk mencari keridaan Alloh dan mendapat hidayah (petunjuk), bukan semata-mata agar engkau pandai bercakap, maka hendaklah engkau bergembira karena para malaikat telah membentangkan sayapnya untukmu apabila engkau berjalan, dan ikan-ikan di laut memintakan ampunan bagimu manakala engkau berusaha.”

Dari kedua tujuan dan niat tersebut, perbedaan di antara keduanya sangatlah jelas. Tentu saja, sebagai pelajar yang bijak, kita akan memilih tujuan yang mulia agar ilmu yang kita peroleh membawa keberkahan dan manfaat yang hakiki. Niat adalah fondasi utama dari setiap amal perbuatan. Akhirnya, semoga di awal ajaran baru kita dapat meluruskan dan memantapkan niat di dalam hati yang mengantarkan kepada ilmu yang hakiki dan mendapat rida dari ilahi rabbi. Amiin

Oleh: Anggun Hari Mukti

Leave a Reply