Mun keluar deri pondhuk, tak osa nyambih ketab bennyak, tak osa nyanguh elmuh bennyak. Cokop nyanguh ridlonah ghuruh, Insya Alloh keradduh dek masyarakat. Mun tak keradduh Insya Allah khusnul khotimah.

Spread the love
Allah

(Boyong dari pondok tidak perlu membawa banyak kitab atau banyak ilmu. Cukup berbekal rida guru, insya Allah berguna di masyarakat. Kalaupun tidak, insyaallah khusnul khotimah)

Sering kita dengar bahwa keberhasilan santri diukur dengan penguasaan berbagai kitab atau ilmu. Semakin banyak kitab atau ilmu yang dikuasi, maka semakin besar potensinya untuk mendulang ilmu manfaat dan barokah.

Pandangan ini sebetulnya tidak salah, hanya saja perlu disempurnakan bahwa selain itu ada hal yang paling pokok yaitu rida guru. Sebab, jika hanya modal pengetahuan atau literatur kitab dan buku semata, mungkin mudah didapatkan dari google.

 Ilmu tidak cukup diukur dari kuantitas melainkan dituntut untuk menghasilkan kualitas (barokah). Terkadang banyak ilmu namun tidak ada guna, kadang juga sedikit ilmunya malah dimanfaatkan dengan baik dan berguna bagi orang lain.

Ada figur urgen yang menetukan barokah atau tidaknya suatu ilmu. Figur itu bernama guru. Jadi baiknya persepsi demikian disempurnakan menjadi β€œkeberkahan ilmu terletak pada rida guru”. Guru adalah inti dalam proses pendidikan. Dari guru kita mengenal sanad keilmuan yang jelas, darinya kita ambil suri teladan dan doa guru menjadi wasilah tercapainya keberkahan. Dan yang paling penting dari semuanya adalah rida guru.

Baca Juga:

PEMBENTURAN PANCASILA DAN AL-QURAN

Rida guru artinya membuat guru senang dan bahagia dengan cara dedikasi. Tolok ukurnya ada pada diri santri, semaik baik ketaatannya pada guru, semakin besar pula keridaannya. Santri yang khidmat pada guru, bermanfaatlah ilmunya. Sementara hormat pada guru, terangkatlah derajatnya.

Maka jangan heran, jika di kalangan masyarakat banyak orang-orang pintar, alim bahkan mereka menguasai banyak ilmu, tapi malah tidak berguna bagi masyarakat. Sebaliknya orang yang ilmunya biasa-biasa saja, justru merekalah yang ditokohkan oleh masyarakat dan menjadi rujukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial.

Dan andaikan keridaan guru itu tidak bisa menjadikannya bermanfaat bagi masyarakat, setidaknya tidak akan menjadi perusak di tengah-tengah mereka. Belum mampu menjadi muslih, maka cukup jadi shalih yang mengantarkan pada akhir yang indah (khusnul khotimah). (Oleh: Aj. Anwar)