QORI’NYA MUALLIM

Spread the love

Sebagai pesantren salaf yang sudah memasuki usia separuh abad, Pondok Pesantren Assirojiyyah telah mengasilkan ribuan alumni. Mereka tersebar di berbagai daerah di seluruh Indonesia, ada yang di Pulau Madura, Jawa, Kalimantan, Bali dan pula-pulau yang lain. Kali ini koresponden Majalah Assirojiyyah berhasil mewancarai salah satu alumni yang tinggal di pesisir pantai utara Madura, Tanjung Bumi, Bangkalan. Beliau bernama Agus Mahfudz Bir Ali.

Agus Mahfud Bir Ali adalah alumni Pondok Pesantren Assirojiyyah yang tengah berkiprah menjadi tokoh masyarakat di desanya. Beliau merupakan putra ke tujuh dari dua belas bersaudara dari pasangan suami istri bapak H. Bir Ali dan ibu Hj. Nuriyyah. Lahir pada tahun 1959 di Dsn. Kramat, Desa Paseseh, Kec. Tanjung Bumi, Kab. Bangkalan.

Awal Mula Pendidikan

                Sebelum berangkat ke Assirojiyyah, beliau sudah lebih dahulu ngaji dengan ayahnya dan pernah nyantri di pesantren pamannya, Tanjung Bumi. Barulah pada tahun 1976 sang ayah berinisiatif untuk memondokkan Mafudz  yang kala itu berusia 17 tahun ke Pondok Pesantren Assirojiyyah Kajuk Sampang, sebuah pesantren yang diasuh oleh KH. Bushiri Nawawi.

Di awal beliau mondok, jumlah santri Assirojiyyah masih terbilang sedikit, sekitar 500 orang santri. Bangunan asramapun masih sangat sederhana, berupa bangunan-bangunan kayu kecuali bangunan Aula yang memang sudah berbentuk bangunan gedung seperti sekarang.

 Berbekal ilmu yang diperolah dari rumahnya, Mahfudz muda berhasil lolos ujian masuk kelas IV sanawi dan langsung ditunjuk menjadi ketua musyawaroh. Selang 4 hari setelah menginjakkan kaki di Assirojiyyah, beliau dipanggil menghadap oleh pengasuh, al-Muallim. Sang guru menugaskan Mahfudz sebagai pembaca qiroat pada ajian kitab Riyadus Sholihin. Dari situlah kiprahnya di dunia qiroat dimulai. Hingga beliau dijuluki ‘Qori’nya Muallim’. Selain menjadi qori’ setiap malam Rabu, beliau juga sering diajak sang guru menjadi qori’ setiap kali menghadiri undangan. Sungguh suatu kebanggaan banginya mendapat kepercayaan menjadi qori’ yang dapat menyertai gurunya.

                Selama di pesantren, beliau pernah mengemban beberapa tugas dan jabatan. Diantaranya; menjadi tenaga pengajar pesantren, petugas murokhim setiap subuh, pengurus daerah E, dan aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi partai (PPP). Menurutnya, saat itu PPP adalah satu-satunya partai yang berasaskan Islam. Sehingga oleh sang guru beliau yang ditugaskan untuk membantu kegiatan-kegitan di luar dalam kepengurusan partai selama tidak mengganggu kewajiban pondok.

                Selain pengalaman di atas, ada beberapa hal yang sangat berkesan baginya. Yaitu sifat wira’i sang guru. Suatu ketika Mas Mahfud, sapaan akrabnya pernah melihat lemari uang milik gurunya, di situ ada tiga rak susun yang berisikan uang. Rak pertama berisi uang yang berasal dari petani, rak kedua dari pedagang, dan rak ketiga dari pegawai atau pejabat. Selain itu, beliau juga terkesan dengan keistiqomahan amaliyah gurunya. Al-Muallim berpesan agar senantiasa menjaga keistiqomahan walaupun sudah keluar dari pesantren. Pesan ini yang kemudian dijadikan prinsip olenya hingga sekarang.

                Sebelas tahun putra Bir Ali itu menghabiskan masa remajanya di pesantren. Suka duka selama menjadi santri sudah dianggapnya biasa. Kini tibalah saatnya beliau meninggalkan Assirojiyyah, pesantren yang telah memberinya pelita harapan. Tepatnya pada tahun 1987, Agus Mafhud boyong lalu menikah dengan seorang perempuan bernama Nyai Haddudah.

Baca juga

Setelah menikah dan mempunyai seorang anak, beliau diajak kakaknya ke Jakarta. Di ibu kota ini, beliau bekerja sebagai pengurus travel haji dan umroh bersama rekannya, RKH. Fuad Amin Imron, selama 7 tahun  (1987-1994). Akan tetapi pekerjaan tersebut tidak sepenuhnya beliau jalani. Hingga akhirnya pada tahun 1994, al-Muallim menyuruhnya agar fokus mengajar saja. Atas perintah tersebut lalu timbul inisiatif untuk mendirikan madrasah meski sebelumnya pernah gagal mendirikan sebuah Mts, disebabkan ketidak cocokan beliau dengan beberapa tokoh yang lain.

Mendirikan Madrasah

Pasca gagal mendirikan Mts, Agus Mahfud lalu berupaya mendirikan sebuah madrasah dengan cara mengumpulkan beberapa santri melalui halaqoh-halaqoh kecil. Santri yang terkumpul pada saat itu mulanya berjumlah 25 orang yang kemudian semakin meningkat seiring berjalannya waktu. Melihat kondisi ini, kemudian beliau memberanikan diri untuk sowan kepada Muallim.

Mendengar cerita dari muridnya, lantas hati sang guru merasa sangat bahagia, sampai-sampai al-Muallim lupa memberi nama madrasah tersebut. Sehabis sowan, akhirnya pada tahun 1999 madrasah tersebut resmi berdiri. Sebuah lembaga pendidikan dengan sistem salaf seperti halnya Pondok Pesantren Assirojiyyah Kajuk.

                Di samping mengasuh santri, beliau juga tetap aktif menjadi pengurus partai meski parpol yang ada sekarang sudah berasaskan tunggal yaitu asas pancasila. Hal ini memang sudah ada kode dari al-Muallim, “Kakeh olle ngurus, keng tak olle nyalon DPR” (Kamu boleh mengurus, tapi tidak boleh mencalonkan diri jadi DPR). Dengan alasan itu kiprahnya dalam organisasi politik masih tetap berjalan, hingga akhirnya pada tahun 2004 beliau memutuskan diri untuk berhenti dari kepengurusan partai sampai sekarang.

                Pengalaman inilah yang kemudian membuatnya dekat dengan nama-nama besar pejabat negara, seperti mantan Bupati Bangkalan RKH. Fuad Amin Imron, mantan Mentri Agama Surya Dharma Ali dan pejabat-pejabat yang lain. Menurut ceritanya saat proses registrasi haji pada tahun 2010, semua persyaratan administrasi bisa selesai dengan mudah. Bahkan paspor haji miliknya diambil sendiri oleh petugas Departemen Agama. Sehingga di tahun itu pula, beliau bisa menunaikan ibadah haji bersama sang istri. Bagi beliau, semua ini semata-mata karena barokah al-Muallim dan juga do’a kedua orang tuanya.