SANTRI DAN PESANTREN

Spread the love

Konon, santri mengandung makna sebagai penganut agama yang disiplin yang tercermin dalam pola pikir, sikap dan perbuatannya.Pola pikirnya sejuk dan agamis, kalimat-nasihatnya yang santun, prilaku dan perbuatannya yang sopan dan istiqomah dalam beramal-ibadah.Kepribadian yang demikian merupakan cerminan kedalaman ilmunya yang terus menuntun dan menyinari setiap langkahnya.Gambaran kepribadian tersebut melekat sejak menuntut ilmu dipesantren yang sudah menjadi kebiasaannya hingga ketika sudah terjun melayani masyarakat. Maka menjadi buruklah penilaiannya ketika seseorang disebut sebagai mantan santri sehingga mengandung pengertian melepaskan kebiasaan baiknya.Atau dapatlah disebut pula bahwa santri itu adalah seseorang yang berilmu dan berakhlakul karimah meskipun dulunya tidak pernah mukim di pesantren tetapi gemar mengaji di suatu majlis taklim dan menjaga ke-istikamah-an amal-ibadahnya maka itu pula dapatlah dikategorikan sebagai santri.

Kalau begitu, sangat mulyalah kepribadian seorang santri yang harus tetap terpelihara apapun profesinya, dimanapun tempatnya dan kapanpun waktunya maka sifat santri harus tetap terbawa dan melekat dalam setiap diri santri.Apakah bermata pencarian sebagai petani, atau pedagang, mungkin sebagai guru, bahkan seorang pejabat. Manakala sifat ke-santri-an tetap melekat dalam dirinya maka hampir dipastikan maka hidup ini akan terasa menyenangkan karena masing-masing dapat menjaga diri,saling menghargai,saling menghormati.Meskipun gesekan dan perbedaan pendapat terkadang tak dapat dihindari dalam hidup kebersamaan ditengah masyarakat tetapi perbedaan tersebut akan lebih mudah diselesaikan karena masing-masing dapat menghargai dalam perbedaan.

seorang santri adalah sebutan mulia – Bindere demikian masyarakat madura menyebutnya dan sebutan tersebut mirip seperti di jawa sebagai orang ningrat – Bendoro.Penyebutan tersebut memikul beban dan tanggung jawab untuk tetap menjaga kepribadiannya, ditata tutur katanya dijaga perilakunya.Santri,seperti halnya kain putih bersih jika ternoda sedikit saja karena penyimpangan perilaku maka akan sangat kelihatan dan kepribadiannya benar-benar dipertaruhkan.

Adapun Pesantren adalah lembaga yang membina para santri dengan ilmu dan amaliyah yang dibimbing oleh seorang kiai yang sangat ditakdzimi karena mempunyai hubungan emosional yang sangat erat sebagaimana guru dengan murid, yang menjadi tempat bertanya, berkonsultasi masalah pekerjaan bahkan berkeluh kesah persoalan pribadi, keluarga layaknya orang tua dan anak kandung meskipun sejatinya orang tua dan anak dalam hubungan rohani. kedekatannya tidak hanya disaat berada di pesantren bahkan ketika sudah keluar dari pesantren sebagai alumni tetap terjalin hubungan baiknya.

Tanggung jawab moral santri terhadap lembaganya ditunjukkan dengan kontribusi terhadap pembangunan dan pengembangan pesantren sebagai lembaga yang telah berjasa membinanya dan hubungan emosional ini benar-benar terbangun dengan baik. Pertemuan tahunan di pesantren sebagai ajang reuni atau silaturahmi para alumni yang di kemas di akhir tahun, dalam acara Lailatul musamahah ada yang dinamakan Lailatul ikhtibar, Akhirus sanah atau sejenisnya. Even tahunan ini sudah mentradisi di lingkungan pesantren.

Ketakdziman santri terhadap kiai ditunjukkan dalam penghormatannya dengan acuan kitab Ta’lim ” min ta’dzimil ilmi ta’dzimul muallim ” sebagian dari menghargai ilmu hargailah guru. Harapannya adalah kemanfaatan ilmunya. Demikian pula berjabat tangan dengan mencium tanya guru, ulama, orang-orang sholeh serta orang yang kita hormati sebagai wujud penghormatan, sebagaimana Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab Fatawi al Imam al Nawawi:79:yustahabbu ravioli Audi’s shoolihiin WA fudholaail ‘ulamaa’i”, disunnahkan mencium tangan orang-orang sholeh dan ulama yang utama. Pernyataan tersebut didasarkan pada hadist dalam Sunan Abi dawud:4548: “faja’alnaa natabaadaru min rawaahilinaa fa nuqobbilu yadan nabiyyi saw wa rijlahu”, dari Zari’ RA, ketika beliau menjadi utusan ibn Abi Qois, beliau berkata,” kemudian kami bersegera turun dari kendaraan kita,lalu kami mengecup tangan dan kaki nabi SAW”.

Apa yang di nasihatkan kiai sebagai gurunya akan menjadi petunjuk bagi santri sebagai muridnya termasuk berjuang mendirikan Republik ini. Bersama para ulama yang dikenal dengan resolusi jihad – NU yang di fatwakan oleh Hadrotus Syekh KH. Hasyim Asy’ari ketika mendirikan negeri kita Indonesia, berjuang melawan penjajah hukumnya adalah fardlu ain, dan mati syahid bagi mereka yang gugur melawan penjajah yang datang ke negeri kita bukan hanya untuk mengeruk kekayaan negeri ini, tetapi membawa misi agama dan mau mempengaruhi agama Islam yang telah dianut warga Indonesia. Untuk pertama kalinya tanggal 22 oktober 2015 ditetapkan sebagai hari santri nasional, layak untuk diapresiasi karena sejarah membuktikan para kiai bersama para santrinya ikut berjuang untuk mendirikan negeri kita-Indonesia. Semoga para santri bisa menjaga kesantriannya, Amin.