Tahun Politik: Pesta atau Petaka?

Spread the love
Politik

Entah sejak kapan dan siapa yang memulai, gelombang caci maki seolah menjadi menu wajib di tengah gegap gempita tahun politik. Pesta demokrasi yang secara esensial merupakan wadah reflektif dan kontemplatif bagi masyarakat Indonesia untuk memilih pemimpin justru bergeser menjadi malapetaka demokrasi.

Narasi kebencian bak sampah berkelindan di linimasa media sosial. Percakapan antar anak bangsa semakin tak sehat, alih-alih menampilkan visi dan misi para kandidiat, yang tampak hanyalah hujatan tak berdasar dan saling menegasikan antar satu dengan yang lainnya.

Pertanyaannya ada apa dengan republik yang kita cintai ini?. Bukankah semangat Bhinneka Tunggal Ika telah bersemayam di hati dan pikiran masyarakat Indonesia, bahkan sudah teruji di segala zaman.

Fenomena di atas memperlihatkan keadaan kita yang belum benar-benar dewasa dan bijaksana dalam memaknai apa yang disebut proses demokrasi, bahkan pada titik tertentu kita sering terjebak pada kebenaran monopilistik terkait preferensi pilihan politik kita. Alhasil muncullah fanatisme buta.

Sudah kesekian kalinya, pemilu langsung dilaksanakan, tetapi proses menuju kematangan berdemokrasi tak kunjung menguat. Sifat Machiavelli untuk meraih kekuasaan sepertinya belum sirna dari wajah demokrasi. Masih di antara kita yang belum hengkang dari budaya politik konservatifnya, yang selalu menganggap bahwa kemenangan adalah tujuan utama kontestasi, simbol pertaruhan harga diri dan kehormatan, sehingga segala cara ditempuh untuk merayakan kemenangan meski harus mengorbankan kepentingan publik.

Padahal, pemilu langsung didesain sebagai instrumen elektoral untuk membangun budaya politik yang dewasa, sportif dan tegak. Dan pada akhirnya, kedewasaan berdemokrasi selalu diukur kejiwabesaran menerima hasil kontestasi betapapun itu menyakitkan.

Sayangnya, pikiran ideal tersebut hanya di atas kertas. Intensi kuat memenangi pertarungan politik karena berbagai konsesi politik yang dirajut di belakang layar, belum lagi janji-janji politik penuh propaganda para elite, membuat masyarakat khususnya pendukung terjerat dalam lingkaran fanatisme membabi buta.

Filter Bubble dan Echo Chamber

Fanatisme buta di era digital seperti sekarang ini, juga dipengaruhi oleh Filter bubble dan echo chamber, sebuah fenomena di mana individu cenderung terpapar hanya pada pandangan dan opini yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri.

Filter Bubble dan Echo Chamber, dalam konteks masyarakat Indonesia, merupakan tantangan yang signifikan, terutama dengan adanya 213 juta pengguna internet, setara dengan 77% dari total populasi Indonesia sebanyak 276,4 juta orang pada tahun 2023. Kedua fenomena ini, mendorong terciptanya lingkungan informasi yang terisolasi dan satu arah, semakin menonjol dan merisaukan dalam masyarakat. Bukan hanya mempengaruhi persepsi dan opini publik tetapi juga berpotensi menghalangi upaya merajut persatuan nasional, terutama menjelang kontestasi politik tahun 2024.

Fenomena ini bisa membawa dampak serius terhadap dialog dan harmonisasi sosial. Tidak hanya itu, risiko polarisasi akan meningkat, di mana masyarakat dapat terpecah berdasarkan narasi dan informasi yang tersegmentasi secara online dan dapat mengancam fondasi demokrasi.

Masyarakat Indonesia perlu bijak dalam menyaring informasi yang berserakan di berbagai platform media sosial. Perlu sesekali melihat semua konten yang berkaitan dengan semua paslon tanpa terkecuali. Sehingga, tidak terjebak pada satu kebenaran yang sebenarnya sudah diatur oleh algoritma media sosial.

Waba’dhlu.  Menjelang perhelatan pesta demokrasi yang akan berlangsung, kita sebagai bangsa yang secara fitrah terlahir dengan berbagai perbedaan seharusnya lebih bijaksana dalam memaknai perbedaan pilihan. Fasilitasi teknologi dengan segudang informasinya harus dibaca dalam kacamata yang berimbang sehingga tidak terperangkap pada satu kebenaran dan menyalahkan kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Terlalu mahal harga yang harus kita bayar, ketika agenda lima tahunan tersebut merusak persatuan dan kesatuan kita sebagai bangsa.

Oleh : Ahmad Suhaimi, M.A