Oleh: Ag. Abd Muqsith Mayshudi
عَنْ جَابِرْبِنْ عَبْدِ اللهْ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ : صَلَّى مُعَادْ لِأصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْه ِوَسَلَّمْ أَتُرِيْدٌ أَنْ تَكُوْنَ يَا مُعَادْ فَتَّانً إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرْأْ بِالشَمْسِ وَضُحَهَا وَسَبِّحْ اسْمِ رَبِّكَ لأَعْلَى وَاقْرَبِاسْمِ رَبِّك وَالَّيْلِ إِذَا يَغْشَى. متفق عليه و اللفظ لمسلم
Dari Jabir bin Abdulloh RA, ia berkata : Muadz sholat Isya’ bersama para sahabatnya, maka ia pun memanjangkan sholatnya yang terasa berat bagi mereka. Maka Baginda Nabi menegur berkata : “Apakah kamu mau menjadi pembuat fitnah bagi mereka?”. Jika kamu memimpin jadi imam sholat mereka, maka bacalah Surah Wassyamsi Wadluha, Sabbihisma Robbikal A’la, Iqro’ Bismi Robbika, dan Wallaili Idza Yaghsya. (HR. Imam Bukhori Muslim).
Pertama, makna pokok dari hadits di atas adalah anjuran agar seorang yang mendapat amanah dan posisi imam dalam sholat berjamaah, memperingan sholatnya, tidak mendatangkan kegelisahan para makmum karena panjangnya bacaan sholat, terkhusus dalam bacaan surah.
Tentu semua mengerti dan paham bagaimana masyarakat pada umumnya harus menjalani tugas sehari hari yang melelahkan. Mereka letih dan lelah menjalani aktiivitas harian. Jika bukan karena semangat beribadah yang tinggi tentu mereka tinggalkan kewajiban sholat, apalagi sampai harus pergi berjamaah.
Maka sebuah keniscayaan bagi setiap imam untuk mengukur standart dan durasi waktu sholatnya.
Kedua, satu hal juga terpetik dari makna hadits di atas, yaitu bahwa kesibukan dan aktivitas kerja mendapat perhatian yang baik sehingga secara elok agama memberikan kemudahan dan keringanan untuk dijadikan alasan bagi setiap hamba untuk meringankan sholatnya.
Akibat yang lebih parah bisa muncul jika hal itu dilalaikan, yaitu enggannya sebagian orang untuk hadir dalam kegiatan sholat jamaah, mengurangi kekhusyu’an kebanyakan halayak makmum, dan menimbulkan pergunjingan yang buruk bagi sang imam.
Yang ketiga, gambaran standart panjang surah yang dianjurkan dalam sholat Isyak. Yaitu, surat surat Awsath Al Mufasshol / Surat surat ukuran sedang.
Keempat, model teguran Rosulullah saat salah satu sahabat beliau melakukan kekeliruan. Teguran beliau dengan kalimat “fattanan” adalah satu bentuk teguran yang tegas, tajam, dan mengena.
Kata “fattan” yang diujarkan baginda Rosulullah SAW juga mensinyalir bahwa boleh menggunakan kata-kata tajam untuk meluruskan dan memberikan peringatan bagi siapapun dengan tujuan perbaikan syariat. Tentu sebisanya disesuaikan dengan tingkat kesalahannya.
Kelima, secara implisit merupakan pesan agar setiap diri yang memegang amanah kepemimpinan, tidak gemar melakukan sesuatu yang tidak terjangkau oleh nalar halayak ramai, sehingga menimbulkan kontroversi di kalangan orang-orang yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin hendaknya memiliki empati dan kepekaan terhadap problematika umat. Setiap langkah dan kebijakannya harus menjadi solusi bagi beban dan masalah orang-orang bawah. Setidaknya tidak menimbulkan persoalan dan beban baru bagi mereka yang pada gilirannya akan menimbulkan gejolak yang tak mudah diredakan.
Semoga kita mendapat taufiq untuk menjalankan syariat ibadah dengan baik dan istiqomah. Amin.
والله اعلم بالصواب