Cegah Paham Radikalisme, Terorisme, Salafisme dan Wahabisme, Assirojiyyah Ngaji Moderasi

Spread the love
Radikalisme
Ngaji Moderasi (Foto: Filman Irocky)

assirojiyyah.online-Ribuan santri Pondok Pesantren (PP) Assirojiyyah Kajuk Sampang mengikuti Ngaji Moderasi dari Pesantren Menangkal Radikalisme, Terorisme, Salafisme, dan Wahabisme bersama Gus Islah Bahrawi, Direktur Eksekutif Jaringan Moderat Indonesia. Kegiatan bertempat di lahan barat sungai pesantren, Jum’at (23/9/2022) siang.

Turut hadir dalam dalam kegiatan, Kepala Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Sampang Moh. Ersyad, Ketua Tanfidziah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Sampang KH. Moh. Itqan Bushiri beserta jajarannya, Pengasuh Pondok Pesantren Assirojiyyah, KH. Athoullah Bushiri dan sejumlah tamu terhormat lainnya.

Ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Sampang, KH. Moh. Itqan Bushiri menyatakan, menjadi warga negara Indonesia berarti siap menjadi bagian dari banyaknya perbedaan, yang didalamnya tentu memiliki beragam kultur, agama, ras, suku dan bangsa. Banyaknya keragaman di tanah air, membuat masyarakat harus memiliki sifat toleransi yang tinggi.

Jika tidak, menurut Kiai Itqan banyaknya kasus perpecahan akan merajalela bahkan dapat memecah belah masyarakat Indonesia sendiri. Untuk itu, moderasi beragama menjadi sangat penting dalam konteks persatuan di Indonesia, karena moderasi beragama adalah cara menjalankan agama secara moderat.

“Peran pondok pesantren dan santri sebagai agen moderasi beragama perlu diteguhkan kembali. Kegiatan ini diadakan untuk memahami serta menangkal faham radikalisme, wahabisme. Kita mengatakan orang lain Wahabi, jangan-jangan kita sendiri yang Wahabi,” katanya.

Direktur Eksekutif Jaringan Moderasi Beragama Indonesia, Gus Islah Bahrawi mengatakan, moderasi adalah  mengembalikan fungsi agama sebagai bejana dan entitas untuk menghargai kemanusiaan dalam menciptakan kedamaian. Dalam hal ini, Islamlah sebagai agama yang harus merahmati semua penghuni alam semesta hingga hari kiamat.

“Sebenar-benarnya moderasi agama bukan perkara baru, hal ini sudah dilakukan para nabi termasuk Nabi Muhammad yang mana para nabi serta kitab suci dan agamanya diturunkan oleh Tuhan untuk menertibkan manusia ketika manusia itu sudah melenceng dari kemanusiaan dan tidak sanggup untuk menciptakan kedamaian,” katanya.

Menurutnya, moderasi agama sangat penting karena tafsir-tafsir agama semakin ke belakang ini semakin membuat petak-petak antara ras manusia. Semakin jauh agama dari waktu kelahirannya, semakin lama orang akan merasa bahwa dirinya penganut ajaran Islam paling murni dan menganggap orang lain tercemar. Dari sinilah kemudian tercipta kebencian-kebencian yang akhirnya melahirkan kekerasan-kerasan atas nama agama.

“Hari ini mungkin baru muncul ajaran Salafi Wahabi yang merasa paling autentik dalam ajarannya, tapi tidak menutup kemungkinan dua abad kedepan akan muncul tafsir-tafsir lain aliran-aliran berikutnya. Ini bukan hanya terjadi di Islam, dalam Kristen juga terjadi seperti itu, makanya kemudian mereka pecah menjadi Katolik, protestan, ada Evangelis dan lainnya,” ujarnya

Untuk menangkal faham-faham tersebut, beliau memaparkan kepada para santri dengan konsep moderasi beragama yang harus betul-betul dijalankan serta memperdalam ilmu-ilmu untuk menjadi bahan-bahan perbandingan terhadap berbagai ajaran yang semakin melakukan upaya dominasi dan infiltrasi terhadap para santri.

“Santri tidak boleh berhenti belajar, karena kalau dia berhenti belajar dan dia menganggap hanya ajaran yang dia pelajari itu yang paling benar, maka dia tidak ada bedanya dengan orang-orang salafi Wahabi yang pada akhirnya melahirkan hakimiah dan taqfiriyah,” ungkapnya.

“Kalau kita diciptakan oleh Tuhan yang sama, kita percaya bahwa Tuhan itu hanya satu. Untuk itu tidak ada kebencian yang ada sebagai legalitas kebencian yang harus dilancarkan karena perbedaan-perbedaan kita semua diciptakan oleh Tuhan yang sama. Perbedaan adalah sunnatulloh,” pungkasnya. (Mukrim)

Baca Juga