Sabtu, Mei 18pondok pesantren assirojiyyah
Shadow

Menstruasi hal yang wajib dipahami

Spread the love
sa

Salah satu hal yang membedakan Kaum Hawa dengan kaum Adam ialah perempuan mengalami haid sebagai ketetapan Alloh SWT. Haid atau Menstruasi adalah darah yang secara alami keluar dari alat kelamin perempuan ketika sudah menginjak usia 9 tahun (hijriyyah) tanpa adanya faktor penyakit atau hal lain (dalam kondisi sehat). Pada umumnya, Haid tersebut terjadi berulang-ulang sampai batas usia tertentu.

   Bagi perempuan yang telah mengalami menstruasi akan berstatus menjadi mukallaf (orang yang mulai terbebani hukum-hukum syariat). Status mukallaf juga terjadi pada seseorang, baik laki-laki atau perempuan yang sudah berusia 15 tahun atau pernah mengalami ihtilam (mimpi basah) sebelum usia 15 tahun.

   Selain ketentuan usia, Imam Syafi’I melalui hasil ijtihad dan penelitiannya (riset), juga memberi ketentuan waktu keluarnya darah haid, yaitu minimal sehari semalam tanpa henti (24 jam). Adapun lumrahnya, darah haid terjadi selama 6 atau 7 hari dan maksimalnya sampai 15 hari. Artinya, darah yang keluar tidak melebihi 15 hari dan tidak kurang dari 24 jam. Sehingga bagi perempuan yang haid harus menghitung berapa lama darah yang keluar perhari, dengan cara mengontrolnya secara berkala memakai kapas atau sejenisnya di waktu tertentu seperti pada waktu-waktu sholat, agar lebih mudah. Setelah darah tuntas, maka akumulasi darah yang keluar perhari dijumlahkan. Jika totalnya sama dengan 24 jam atau lebih, maka darah tersebut adalah darah haid.

   Kemudian apabila keluarnya darah berlangsung secara terputus, misalnya keluar darah selama 4 hari, lalu mampet (naqo’ud dami) 2 hari, kemudian keluar darah lagi selama 3 hari, maka dalam hal ini terjadi khilaf pendapat. Menurut mayoritas ulama, waktu naqo’ud dami (tidak ada bekas darah sama sekali pada vagina) tersebut tetap dikategorikan haid. Sedangkan pendapat yang lain, mengkhususkan waktu haid hanya terjadi saat darah keluar dan ketika fatrotud dami (darah tidak keluar tapi ada bekas saat memasukkan kapas). Sehingga berdasarkan pendapat kedua ini, waktu naqo’ud dami sudah dianggap masa suci, kecuali dalam masalah Iddah dan Talak yang tetap dianggap sebagai masa haid. Sebab itu, perempuan yang haid wajib bersuci dan mengerjakan kewajiban seperti biasanya.

   Sedangkan masa suci antara satu haid ke haid selanjutnya yaitu minimal 15 hari. Tapi biasanya 23 atau 24 hari sesuai kebiasaan perempuan haid, dan tidak ada batas waktu untuk ukuran paling lama.

   Jadi, apabila seorang perempuan mengeluarkan darah sebelum usia 9 tahun, atau mengeluarkan darah tidak sampai sehari semalam, atau haidnya terputus-putus dan jumlah darah yang keluar tidak sampai 24 jam, misalnya, keluar darah selama 15 hari dan perhari hanya keluar 1 jam yang jumlahnya hanya 15 jam, atau mengeluarkan darah sebelum melewati 15 hari masa suci dari haid sebelumnya, misalkan, haid selama 7 hari dari tanggal 1 sampai tanggal 7, kemudian tanggal 20 keluar darah lagi yang berarti  masa sucinya hanya 13 hari, maka semua darah – darah tersebut bukan darah haid melainkan darah istihadhoh. Sehingga kewajiban sholat yang telah ditinggalkan selama keluarnya darah istihadoh tersebut wajib diqadla’, meski semula menganggapnya sebagai darah haid.

   Di samping itu, perempuan yang sedang haid diharamkan untuk melakukan beberapa hal anatara lain: Mengerjakan sholat, dan tidak wajib mengqadla’nya setelah suci. Namun perlu diketahui, apabila datangnya haid setelah masuk waktu sholat serta memungkinkan bagi perempuan untuk bersuci lalu melaksanakan sholat dengan standar wajib-wajibnya saja, maka sholat tersebut wajib di qadla’ setelah suci dari haid. Atau jika tuntasnya haid tepat pada waktu sholat yang bisa dijamak dengan sholat sebelumnya seperti sholat ashar dan isya’ meskipun waktu yang tersisa cukup untuk takbirotul ihrom saja, maka sholat tersebut (ashar/isya’) serta sholat sebelumnya (dzuhur/maghrib) juga wajib diqadla’. Puasa, akan tetapi tetap wajib diqadla’ berbeda dengan sholat. Membaw, menyentuh dan membaca al-Qur’an, namun para ulama komtemporer ada yang berfatwa boleh membaca al-qur’an saat haid karena factor kebutuhan belajar dan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan semacamnya, sebagaimana yang disebutkan Syejh Dr. Muhammad az-Zuhaily dalam kitabnya al-Mu’tamad. Berdiam diri di dalam masjid. Berhubungan intim dan Istimta’ (bercumbu) di area tubuh (antara pusar dan lutut), meski ada sebagian pendapat ulama yang mengatakan bahwa istimta’ di area tersebut tidak diharamkan. Yang mana pendapat ini di unggulkan oleh Imam Nawawi.

   Dengan demikian, darah haid ini wajib diketahui dan dipahami semaksimal mungkin, khususnya bagi kalangan perempuan. Bahkan seorang suami jika istrinya tiak mengerti tentang haid tersebut, dan dia tidak bisa mengajarinya sendiri, maka suami wajib memberi akses dan fasilitas belajar bagi istrinya. Wallohu a’lam bisshowab.

13 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *