Menurut jenengan Kiai, apa definisi empati dalam ajaran Islam?
Bahwa, Alloh Ta’ala menciptakan manusia itu yang diberi berbagai fasilitas itu akan dipertanggungjawabkan. Nah, empati ini adalah salah satu fasilitas Alloh Ta’ala terhadap manusia agar supaya mengelola bumi ini untuk dijadikan bekal akhirat. Intinya empati adalah perasaan, Kepedulian dan lain sebagainya. Nah, agar empati ini betul-betul positif, maka di situ ada aturan, ada syariat dari Alloh SWT, Seperti itu.
Mengapa empati dianggap sebagai fondasi penting dalam kepemimpinan menurut ajaran Islam?
Karena empati ini adalah sebuah unsur di dalam pelaksanaan perintah agama. Empati itu terkait dengan ruang dan waktu. Apa yang dihadapi dan lain sebagainya. Kalau saya memahami bahwa Alloh SWT berfirman dalam surat al-Muluk, ayat 2 itu, dari perasaan-perasaan apa yang dirasakan di dunia ini menjadi sebuah ujian bagi kita untuk mereaksinya. Agar menjadi sebuah tindakan yang bagus. Maka rasa empati bagi pemimpin ini betul-betul harus dimiliki agar supaya ketika memberikan sebuah keputusan atau kebijakan atau apapun itu betul-betul bisa dilaksanakan oleh bawahan, oleh umat.
Karena begini ya. Kita tahu bahwa Rasululloh sebagai utusan yang harus kita teladani. Bagaimana Rasululloh memimpin dan menjelaskan berbagai ajaran-ajaran agama ini juga tidak lepas dari empati beliau di dalam melihat umatnya yang bermacam-macam itu. Ada yang orang pelosok pedesaan, ada yang punya keilmuan, dan macam-macam.
Sehingga terkadang keputusan atau ajaran Rasululloh dalam satu dalam satu kejadian itu muncul beda-beda. Munculah berbagai teori yang di situ ada perbedaan-perbedaan. Karena terkadang Rasululloh di dalam menyikapi sebuah peristiwa itu ada yang begini, ada yang begitu, dan sebagainya. Sehingga menunjukkan berbagai teori-teori seperti itu. Makanya empati atau perasaan oleh pemimpin itu sangat penting, agar supaya umat atau bawahan itu bisa melaksanakan apa yang diperintahkan.
Apa contoh-contoh dari kehidupan Nabi Muhammad SAW yang menunjukkan kepemimpinan yang penuh empati?
Semisal empati Rasululloh terhadap orang pedalaman. Suatu ketika ada A’robi, orang plosok, orang pedalaman kencing di Masjid. Sahabat yang melihatnya kan mau menghardik istilahnnya, memarahi. Namun apa yang dilakukan Rasululloh?, beliau melarang sahabtnya. Karena apa?, Karena beliau tahu bahwa orang pedalaman itu namanya juga orang plosok, orang perdalaman ya tentu istilahnya konotasinya adalah yang belum mengerti tentang peradaban dan lain sebagainya.
Nah, di sini empati Rasululloh di dalam memberikan sebuah ajaran. Agar kita ini harus objektif melihat persoalan. Siapa yang kita hadapi untuk permasalahan apa, dan lain sebagainya. Nah, di sisi yang lain juga Rasulullah tidak segan-segan untuk memberikan sebuah keputusan yang yang keras. Nah disini bagaimana Rasululloh mampu menguasai keadaan agar supaya hal yang bersifat subtansi hal yang bersifat esensi dari sebuah tindakan itu tidak rusak atau tidak tercapai.
Bagaimana empati dapat membantu dalam menyelesaikan konflik dan membangun hubungan yang kuat dalam masyarakat?
Masyarakat yang berselisih itu muncul karena kesalah pahaman dan sebagainya. Maka butuh yang namanya menjembatani antara hati ke hati. Karena hati nurani setiap manusia itu pasti diisi oleh hal-hal positif, hal-hal kebaikan, hanya tertutupi saja. Satu contoh ketika Rasululloh ditanya, “Malbiru ya Rasululloh?,” apa itu kebajikan wahai Rasululloh?. Rasululloh menjawab, “Tanya hati nurani”.
Artinya dalam setiap hati nurani manusia itu ada kebajikan Tapi karena ditutupi oleh berbagai perilaku. Nah ini harus menjembatani dari hati. Bila kita sudah berhasil berbicara dari hati ke hati, maka ganjalan perbedaan tidak lebih terasa dari jatuhnya daun kering di kepala. Makanya ketika antara hati dan hati ini sudah terjembatani. Dengan apa hati itu bisa terjembatani?, dengan silaturrohim, duduk bareng, memahami jiwa. Karena kita berbicara dengan sebuah instrumen yang namanya suara .
Suara itu menunjukkan siapa kita, bagaimana kita. Sehingga dari suara itu kita tahu karakter seseorang, sifat seseorang. Nah Rasulullah itu khumul. Dengan siapa pun beliau itu tidak pandang bulu. Berkumpul dengan yang kaya, yang miskin, yang macam-macam. Nah sehingga mampu menjembatani antara hati dengan hati. Kalau sudah seperti itu, maka persoalan apapun ini akan mudah difaham, akan mudah tersambung. Karena kenapa orang marah itu berteriak meskipun berdekatan, sedangkan telinganya tidak tuli?. Itu menunjukkan bahwa yang jauh itu bukan telinganya, yang jauh itu hatinya. Tambah marah, tambah teriak. Nah disinilah pentingnya empati Khususnya bagi seorang pemimpin.
Bagaimana seorang pemimpin muslim Dapat menerapkan prinsip empati dalam konteks kepemimpinan modern?
Sekarang ini kan kita dituntut untuk mampu mentransformasikan nilai-nilai agama diera sekarang. Maka kita bersyukur dituntun, diajarkan oleh guru-guru kita hal yang sanad keilmuannya nyambung. Bahwa kita ini diajarkan berbagai alat untuk membedah asal. Membedah sebuah dasar sebuah pedoman. Makanya kenapa di pesantren itu diajarkan yang namanya Ilmu alat. Seperti ilmu nahwu dan shorfof dan lain sebagainya. Itu agar supaya Memahami betul dasar-dasar yang menjadi acuan kehidupan kita. Baik itu Al-Quran, Sunnah dan lain sebagainya.
Yang mana itu semuanya adalah bahasa Arab. Satu contoh begini Kita diajarkan bagaimana Memahami kalimat isim dan kalimat fi’il. Kalam itu kan terdiri dari beberapa kalimat, ada kalimat isim dan ada kalimat fi’il. Di ilmu dasar, di Jurumiah yang satu contohnya Al-ismu huwa kalimatun dalat ala maknan fi nafsiha Walam taktarin bi zamanin. Sedangkan al-fi’lu Huwa kalimatun dalat ala maknan fi nafsiha Walam taktarin bi zamanin. Jadi isim itu kalimat yang punya makna Tapi tidak berbarengan atau tidak terikat oleh waktu. Sedangkan fi’il ini terikat dengan waktu.
Kalau kakek saya dulu Kyai. Yasin, Kepang ketika menjelaskan hal ini memberikan sebuah contoh Yang mudah dipaham oleh para santri. Semisal ada orang profesinya tukang bangunan. Anggaplah namanya Soleh. Soleh tukang dimanapun dia itu namanya soleh tukang. Ketika tidur, sedang tidur, di rumahnya, atau dimana saja tetap Soleh tukang. Sedangkan yang disewa itu bukan namanya, yang disewa sama orang itu adalah fi’ilnya. Fi’il itu muktain bi zamanin. Jadi yang dibayar ketika dia itu kerja, mulai jam tujuh sampai jam empat. Kalau di rumah, yang nggak disewa, nggak dibayar Karena isimnya. Nah ini butuh yang namanya empati. Butuh yang namanya memahami situasi dan kondisi dan lain sebagainya.
Apa tantangan terbesar yang dihadapi pemimpin dalam menerapkan empati dalam kepemimpinan mereka?
Ya itu tadi tantangan terbesarnya di era sekarang ini adalah Kemajuan. Kemajuan keilmuan atau istilahnya kompleksitas keilmuan. Sekarang ini ilmu betul-betul dibuka lebar. Sehingga seluruhnya kelihatan, seluruhnya kedengaran. Mudahnya sarana-sarana untuk Konten pendidikan sarana-sarana untuk meningkatkan pengetahuan. Ini terkadang terkecoh. Terkecohnya dengan apa?, terkecohnya ketika mau melaksanakan, Mempraktikkan. Ini tidak memperhatikan situasi dan kondisi. Seperti saya katakan tadi, kenapa di pesantren itu Sangat diperhatikan Pelajaran-pelajaran ilmu alat nahwu shorof dan sebagainya. Ya agar supaya paham situasi dan kondisi. Bahwa Al-Fi’il, Mempraktikkan, melaksanakan itu harus memperhatikan situasi dan kondisi.
Sehingga empati yang muncul itu tidak terganggu oleh berbagai penggiringan-penggiringan opini di era mudahnya informasi dan sebagainya. Kita dituntut untuk mengasah rasa empati kita lewat pelajaran tasawuf, pelajaran akhlak. Karena ini masalah rasa, karena logika itu tidak punya rasa. Makanya di pesantren itu di pesantren itu tujuannya adalah mencetak manusia yang mampu menyelaraskan logika dan jiwanya dan empatinya.
Selain diajarkan teori lewat kitab-kitab kuning juga diajarkan bagaimana bergaul dengan teman-temannya di kamar. Teman-teman di kamar itu ada yang kaya, ada yang miskin, ada yang nakal ada yang alim, ada yang pendiam. Sambil lalu dibimbing oleh ustad, oleh Kiainya. Sehingga dalam mempraktekkan teori yang diajarkan lewat kitab-kitab itu itu juga diimbangi oleh pelajaran empati, rasa. Bagaimana cara menghadapi yang beling, yang nakal, yang kaya, yang miskin. Sehingga ketika keluar dari pesantren Betul-betul mampu beradaptasi. Karena mampu menyelaraskan Antara logika, perasaan, dan jiwanya.
Oleh: Khotimul Umam – Abd. Lathif