MENANTI SENJA TANPA ANGELIA

Spread the love

“Treeettt… Treeettt,” suara bel berbunyi. Siswa-siswi mulai mengemaskan bukunya masing-masing, sembari berlarian keluar meninggalkan kelas. Salah satunya adalah kelas Regan, kelas IPS 7. Ya, yang bisa dibilang kelas yang cukup membosankan, apalagi pelajaran matematika. Sebenarnya bukan matematikanya yang membosankan, tetapi pengajarnya, Bu Kinan, yang terlalu banyak ini dan itu. Ya, pasti tahu sendiri bagaimana itu.

Berbeda dengan Regan dan kedua temannya yang memilih duduk santai daripada pulang awal, walaupun di balik sikap santai mereka ada maksud lain.

“Manasih Angelia kok nggak nongol-nongol?” ucap Rais. “Iya, manasih itu bocah, gue kangen body tobr…” “Plak!” tabok Regan.

Sorry, itu teman kita Gunawan, yang pikirannya paket komplit: mesum, miring, sedang, juara bertahan dari peringkat paling bawah, yang lebih tepatnya bego sih. Ya, bisa dibilang sebenarnya di antara Regan dan Rais itu nggak ada yang nakal, berhubung setannya dijadikan teman, ya… jadi begitulah.

Cewek yang mereka nanti-nantipun akhirnya tiba, Angelia Franssisca Putri Yohan Perdana, cewek idaman semua siswa, bahkan bukan hanya dari SMA Alexsandra saja. Namanya cukup populer di kalangan guru, bahkan di kalangan sekolah menengah atas lainnya. Bagaimana tidak terkenal? Orang paket komplit kayak begitu, tapi paket komplitnya gak kayak si Gunawan ya… Angelia itu pintar, tinggi, body? Oh, jangan ditanyakan lagi. Anak kebanggaan sekolah, anak olimpiade, bahkan bukan di dalam negeri saja, melainkan ke panca negara pun ia pernah cicipi satu-persatu. Bisa dibilang hampir sempurnalah. Masalah cantik jangan ditanyakan lagi, anak blasteran, bro!!! Bukan spek yalil-yalil lagi, tapi inilah sudah spek bidadari. Ya udah, kalau gak percaya, pejamkan mata saja, lalu bayangkan seorang Angelia. Pasti keluarnya Walid, eh kok Walid? Salah-salah…

“Angel…” sapa Regan. “Iya gan, ada apa?” jawab Angelia. “Pulang bareng gue yok?” “Emmz… boleh deh,” jawab Angelia sembari tersenyum.

Sebenarnya mereka berdua saling suka, tapi keduanya menjaga diri dengan baik, mengutamakan aturan dan sopan santun. Bagaimana tidak suka, orang Regan ganteng, tinggi, gagah. Kalau Angelia sudah tahu sendiri seperti apa. Mereka pulang bersama-sama diikuti oleh kedua temannya, Rais dan Gunawan yang kerap disapa Sahlul, sambil mengendarai motor masing-masing, disertai angin sepoi-sepoi yang mengibaskan rambut hitam Angelia.

Hari pun mulai gelap. Bintang-bintang mulai menampakkan diri satu-persatu. Terlihat mereka berhenti sejenak di alun-alun kota. Regan dengan sopan menawarkan jaketnya kepada Angelia yang mulai merasa dingin karena angin malam.

Tak terasa jam mulai menunjukkan pukul 10:30. Gumpalan awan hitam mulai menutupi bintang-bintang kecil, rintikan hujan mulai turun satu-persatu.

“Gan, hujan?” tanya Angelia. “Iya,” jawab Regan singkat. “Astaga! Kok lo gak kasih tahu dari tadi sih? Kan gue jadi kesiangan siap-siap,” saut Angelia. “Iya-iya, maaf ya. Yuk kita cari tempat berteduh dulu,” jawab Regan.

Mereka berdua pun berlari bersama menuju sebuah warung yang sudah tutup, tempat yang cukup aman untuk berteduh sejenak. Mereka duduk bersebelahan, sambil menikmati waktu tanpa harus berdekatan terlalu intim.

Angel memeluk jaket yang dipinjam dari Regan, sementara Regan memandang wajah Angelia dengan penuh perhatian.

“Gan…,” saut Angelia dengan suara lembut dan mata berkaca-kaca. “Iya beb,” jawab Regan penuh pengertian. “Maafin gue, gue harus bilang ini… Bokap gue harus pindah ke London, Oma gue sakit. Gan, lo harus percaya sama gue, gue akan kembali dan kita akan tetap menjaga hubungan ini dengan baik. Gue selalu berdoa semoga Tuhan mempersatukan kita, meski itu sulit, karena gue yakin…”

“Angel, gue selalu menunggu kabar baik dari lo. Gue yakin Tuhan menakdirkan kita untuk bersama suatu saat nanti, meski Tuhan kita berbeda,” saut Regan dengan hati penuh harap.

Ya, cinta mereka terhalang oleh perbedaan keyakinan dan jarak. Angelia merupakan anak dari keluarga beragama Protestan, sedangkan Regan seorang Muslim.

Sejak kejadian itu, hari mulai berganti dengan cepat. Angin yang Regan rasakan tak lagi sama, ocehan burung seakan tak lagi indah. Setangkai bunga mawar yang pernah Angelia berikan kini telah layu, sirna berubah cokelat, menyisakan duri-duri yang membekas di hati Regan.

Tiga puluh lima tahun telah berlalu. Angelia tak lagi kembali sampai detik ini. Senja itu tak pernah membawa gadis bermata cokelat itu. Regan masih setia menunggu. Tak banyak yang berubah, angin sore masih berusaha mengeringkan air mata Regan yang tak berhenti menitik, juga mempermainkan ujung rambut Regan yang mulai memutih.

Ternyata benar ya, cinta beda agama itu tulus, akan tetapi takdirnya saja yang kurang mulus.