Dalam konteks tafsir dan Pancasila, sudah kita ketahui, sejarah Islam klasik telah diwarnai oleh ragam aliran politik yang kemudian berkembang menjadi aliran teologis, seperti kelompok Khawarij yang salah satu doktrinnya adalah; tidak ada hukum kecuali hukum Alloh (la hukma illa li Alloh). Lingkaran dengan ciri khas literal. Kelompok yang lain menonjol dengan tradisi nalar spekulatif (nazdar) seperti dijumpai dalam diskursus Muktazilah. Adapun kita hari ini, dalam arus utama Ahlusunah wal Jamaah tradisional di Indonesia memilih jalan kompromi dengan ragam konsep baru, selama dan secara eksplisit-implisit tidak menyimpang dari teks formal dan nalar Alquran, seperti dengan Pancasila misalnya.
Di sini, kata ekologiberasal dari bahasa Yunani, oikos, yang berarti rumah tangga, dan kata logos yang berarti ilmu. Ilmu yang mengkaji seputar lingkungan hidup kemudian disebut dengan ekologi. Penggunaan istilah tafsir ekologis sebagai pendekatan kepada objek penafsiran, yaitu ragam ayat Alquran yang berhubungan dengan tema ekologi. Langkah yang melibatkan analisis ekologis dan memiliki semangat keberpihakan terhadap lingkungan hidup.
Secara faktual, Alquran telah hadir jauh sebelum teori ekologi modern muncul, akan tetapi ragam tema ekologis juga tersedia dalam Alquran yang kemudian menjadi pijakan mapan dalam usaha penafsiran berbasis ekologi. Selain itu, selalu adanya ajakan dari Alquran kepada kita untuk senantiasa melihat alam semesta (dakwah Alquran ila al-nadhri fi al-kauni). Dalam Surah al-Fatihah yang sangat dekat dengan keseharian kita sebagai seorang muslim dijumpai term ‘aalamin:
بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ .اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ. الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ. مٰلِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ. اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ. اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ. صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّاۤلِّيْنَ.
“Dengan nama Alloh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam. Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Pemilik hari Pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. Bimbinglah kami ke jalan yang lurus (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-orang yang sesat”.
Baca Juga:
Term ‘aalamin yang kadang bermakna spesies berakal (manusia) dan kadang bermakna seluruh spesies makhluk hidup. Salah satu term dalam Alquran yang menjadi salah satu konsep dasar lingkungan hidup dari lektur Islam. Di sini, yang kemudian menjadi pembahasan utama dari ayat di atas adalah kata rabb al-‘alamin yang bentuknya aneksi posesif, terdiri dari kata rabbun sebagai kata pertama (mudhaf) dan kata al-‘alamin sebagai kata kedua (mudhaf ilaihi). Kata rabbun bentuk mashdar dari rabba-yurabbu rabban yang artinya pendidik, pemilik dan pemelihara. Kata yang tidak digunakan kecuali dimaksudkan nama Alloh SWT, kecuali pada konteks tertentu seperti rabb al-bayt yang bermakna pemilik rumah. Adapun kata al-‘alamin merupakan jamak dari kata ‘alam yang mempunyai arti nama, dunia, organisme dan spesies. Kata al-‘alamin bermakna banyak organisme yang mencakup organisme biotik, seperti manusia, hewan dan mikroba. Juga mencakup organisme abiotik seperti tumbuh-tumbuhan, mineral, biosfer dll.
Sila Pertama pada Pancasila sering kita percayai sebagai manifestasi dari monoteisme sebagai pesan paling penting dari Alquran yang bisa kita dijumpai seperti dalam Surah al-Ikhas:
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ. اللَّهُ الصَّمَدُ. لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ. وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
“Katakanlah (Nabi Muhammad), Dialah Alloh Yang Maha Esa. Alloh tempat meminta segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan serta tidak ada sesuatu pun yang setara dengan-Nya”.
Sebagai usaha kontekstualisasi surah tersebut pada masalah ekologis hari ini, bagaimana kita sering melupakan Alloh SWT sebagai Robbul‘aalamin, Tuhan bagi seluruh nama, dunia, spesies dan organisme. Dengan kondisi yang demikian, kita sering memilih jalan sewenang-wenang dalam bergaul dengan lingkungan hidup, karena menganggap Alloh SWT hanya Tuhan bagi manusia semata. Ia bukan pemiliki, pendidik, dan pemiliki ragam makhluk lain selain manusia.
Dari dua ayat di atas, kita bisa mengambil faedah tentang kesalehan teologis yang tidak boleh dipisahkan dari kesalehan ekologis. Juga, Pancasila yang harus dimaknai bukan hanya sebagai sila-sila dengan konteks agama, politik, sosial dan ekonomi, tetapi juga sila menyangkut ekologi[.]
Oleh: Hasani Utsman