Robiul Awwal adalah bulan di mana nabi Muhammad SAW dilaharikan 14 abad yang lalu pada hari senin tanggal 12, yaitu lima puluh tiga tahun sebelum Hijrah. Bulan Kelahiran Nabi ini kemudian oleh masyarakat dikenal dengan Bulan Maulid. Sebab tidak jarang adanya penggelaran acara dan sudah menjadi tradisi umat Islam di berbagai daerah dengan cara berkumpul di suatu tempat untuk bersama-sama membaca ayat-ayat al-Qur’an, membaca sejarah ringkas kehidupan dan perjuangan Rosululloh, melantuntan shalawat dan syair-syair kepada nabi serta diisi pula dengan ceramah agama dengan tujuan mengenang, memuliakan dan menampakkan kebahagiaan hati sekaligus bertasyakkur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Lantas, bagaimanakah sebenarnya hukum merayakan kelahiran nabi di bulan tersebut dengan cara demikian, melihat adanya perbedaan sudut pandang di kalangan para ulama tentang boleh dan tidaknya perayaan Maulid Nabi ini?.
Sebenarnya perayaan Maulid Nabi seperti yang ada saat ini memang tidak ada nash atau dalil yang menjelaskan bahwa Rosululloh pernah melakukannya, begitupula di era para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama salaf seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali tidak pernah ada yang namanya perayaan Maulid tersebut. Karena perayaan Maulid Nabi baru diadakan pertama kali pada abad ke empat Hijriyah oleh al-Mudzhaffar Abu Sa’id, seorang raja di daerah Irbil kota Baghdad yang menghabiskan dana kurang lebih 300.000 dinar. (I’anatut Tholibin, Juz 3, Bab Walimah).
Nah, Karena tidak adanya dalil dan teladan langsung dari nabi, pandangan para ulamapun berbeda-beda dalam hal ini, sebagian ada yang langsung mengharamkan atas dasar semua perbuatan baru dalam agama yang tidak ada tuntunan dari Rosullulloh adalah bid’ah dan semua bid’ah itu sesat. Adapun sebagian besar para ulama seperti Imam Jalaluddin as-Suyuthi, Ibnu Hajar al-Haitami dan yang lainnya meskipun sama-sama mengatakan perayaan maulid adalah hal yang baru dalam agama dan tergolong perbuatan bid’ah. Akan tetapi, karena melihat adanya acara dalam perayaan maulid tersebut yang secara satu persatu mempunyai dalil syar’i dan ada anjuran dari Rosululloh serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist, maka perayaan maulid nabi dikategorikan perbuatan bid’ah yang terpuji dan baik untuk tetap dilestarikan. (Husnul Maqshad fi Amalil Maulid & al-Hawi lil Fatawi).
Selain itu, adanya perkumpulan Maulid Nabi ini menjadi peluang besar dan kesempatan emas bagi para ulama dalam berdakwah untuk terus mengingatkan dan mengenalkan umat Islam pada budi pekerti nabi, perilaku, sejarah, ibadah dan hal-hal yang diteladankan oleh nabi. Dan dalam kesempatan seperti ini pula, para ulama bisa memberikan panjelasan, nasihat dan arahan pada umat tentang berbagai ajaran Islam yang benar-benar bersumber dari Alloh dan Rosul-Nya serta mengingatkan mereka untuk menghindari perbuatan yang tidak dibenarkan atau tidak ada tuntunan dalam syari’at Islam terlebih yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist. (Mafahim Yajib an- Tushohhah).
Alhasil, memperingati dan merayakan maulid nabi pada tiap bulan Robiul Awwal adalah perbuatan bid’ah yang baik dan terpuji dan boleh bahkan dianjurkan untuk tetap dilestarikan sebagaimana penjelasan para ulama di atas. Ditambah adanya hadist dari Abu Qotadah bahwa Rosululloh SAW juga merayakan dan mensyukuri hari kelahiran dan penerimaan wahyunya dengan cara berpuasa setiap hari senin (HR. Muslim), juga anjuran untuk bergembira atas rahmat dan karunia Alloh SWT yang di antaranya adalah kelahiran Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam. (QS. Yunus 10 : 58) serta diringankannya siksa Abu Lahab setiap hari senin karena merasa gembira saat mendengar kabar kelahiran Rosululloh dengan cara membebaskan budaknya Tsuwaibah al-Aslamiyah (HR. Bukhori). Nah, kalau yang kafir saja diperlakuan sedemikian rupa oleh Alloh, apalagi kalau yang melakukannya seorang muslim?. Wallahu A’alm Bisshowab.