Oleh : Filman Iroky
Sebagai pesantren salaf, Assirojiyyah telah menjadi ikon lembaga pendidikan Islam di Madura khususnya bagi masyarakat Sampang. Pesantren yang didirikan oleh KH. Achmad Busyiri Nawawi ini, sekarang usianya sudah memasuki separuh abad dan telah menghasilkan ribuan alumni yang tersebar di penjuru Indonesia, ada yang di Madura, Jawa, Kalimantan, dan Bali, bahkan menyebar ke Arab Saudi. ย Dan tidak sedikit pula para alumninya yang berkiprah menjadi tokoh atau sesepuh masyarakat.
Pada edisi kali ini, koresponden Majalah Assirojiyyah berhasil mewancarai salah satu alumni Pondok Pesantren Assirojiyyah. Beliau adalah KH. Muhtar Ahmad atau lebih dikenal dengan Ag. Muhtar. Beliau merupakan alumni yang berasal dari Desa Pakong, Kec. Modung, Kab. Bangkalan, lahir pada taggal 11 Mei 1959 M, putra kedua dari pasangan KH. Ahmad Halweni dan Nyai Hj. Sufiyyah. Beliau memilki delapan saudara kandung, 4 saudara laki-laki dan 4 saudari perempuan.
Sebelum nyantri di Pondok Pesantren Assirojiyyah, Ag. Muhtar sudah mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) hingga tamat. Yang mana, pada saat itu akses dari rumah menuju sekolah sangat jauh dan sulit, karena minimnya ketersediaan transportasi. Dari sekian banyak teman sebayanya, hanya Muhtar kecil yang bersekolah SD kala itu. Beliau tetap semangat belajar, meski harus menempuhnya dengan jalan kaki dari Pakong menuju Pakaan (tempat SD).
Selain pendidikan formal, Mohtar kecil juga belajar ilmu diniyyah (agama) kepada sang ayah (KH. Ahmad Halweni). Ayahnya berguru kepada KH. Sirojuddin, seorang Mursyid Thoriqoh Naqsyabandiyyah bersama para sesepuh Desa Pakong kala itu. Dalam hal pendidikan, sang ayah sangat disiplin mendidik putra-putrinya, hingga akhirnya Ag. Muhtar mampu menghafal Kitab al-Ajrumiyyah, meski menurut pengakuannya, pemahaman tentang kitab itu dapat beliau rasakan ketika ada di pesantren.
Atas rekomendasi serta kepatuhan pada sang ayah, kemudian Ag. Muhtar melanjutkan studinya di Pondok Pesantren Assirojiyyah pada tahun 1972 M, pasca lulus SD. Dipilihnya Assirojiyyah, menurut sang ayah sebagai niatan menyambung silaturahim. Sebab tidak ada dari keluarga beliau yang nyantri ke arah timur seperti Sampang, Pamekasan dan Sumenep. Kebanyakan keluarganya nyantri di daerah Jawa seperti di Sarang dan Jatipurwo.
Di awal beliau mondok, tepatnya pada usia 13 tahun jumlah santri yang ada sekitar 250 orang. Beliau sendiri mengikuti tes ujian masuk kelas sebelum melangsungkan kegiatan belajar di pesantren. Alhamdulillah berbekal ilmu dari rumah, beliau berhasil lolos ujian kelas III sanawi, yang pada saat itu tim pengujinya adalah Ag. Iyan, Ag. Ruji, Ag. Abdulloh.
Selama di pesantren, beliau pernah mengemban beberapa tugas dan jabatan. Diantaranya; menjadi keamanan dan menjadi wakil sekretaris Pondok Pesantren Assirojiyiyyah selama tiga tahun. Sebagai wakil sekretaris pondok, beliau aktif mencatat perkembangan santri, sehingga tahu jumlah santri baru dan jumlah santri yang boyong setiap tahunnya. Menurutnya, rata-rata santri baru berkisar 100-125 orang, begitu juga dengan yang boyong berkisar 100-75 tiap tahunnya.
Empat belas tahun Ag. Muhtar menghabiskan masa remajanya di pesantren, hingga akhirnya pada tahun 1986 M beliau harus menyudahi pengembaraan ilmunya di Assirojiyyah. Di tahun yang sama, beliau melangsungkan pernikahan pada usia 28 tahun dengan gadis pilihan orang tuanya yaitu Nyai. Hj. Rofiโah setelah dua tahun menjalin pertunangan. Acara pernikahannyapun dihadiri dan diakad langsung oleh sang guru (Almuallim).
Dari perkawinannya itu, beliau dikaruniai dua orang putra dan kini Alloh telah menganugerahinya empat cucu. Keturunan beliau inilah yang nantinya akan meneruskan tongkat estafet pesantren (Roudlotul Muttaqin, Pakong) yang diasuhnya kini.
Di pesantrennya, beliau aktif sebagai pengajar dan pendidik bagi para santrinya seperti mengajar ngaji al-Qurโan, kajian kitab, mauidhoh hasanah, dan kegiatan pendidikan lainnya. Hal ini beliau lakukan semata-mata untuk mengamalkan ilmu yang ia dapat di pesantren, serta ingin melanjutkan amanah sang ayah sebagai pengasuh pertama. Pesantren yang beliau pimpin sekarang bisa dikatakan mengalami kemajuan. Sebab dulunya hanya berupa tempat santri belajar ngaji namun kini telah dilengkapi gedung kelas dan asrama santri. Kegiatan pendidikan pun juga mengalami perkembangan, selain aktivitas ngaji al-Qulran, juga terdapat pelajaran ilmu grametika Arab seperti Nahmu, Shorrof dengan sistem klasikal ala Assirojiyyah.