Pendidikan madrasah di berbagai plosok-plosok daerah mempunyai peran yang sangat sentral dalam penyebaran syariat Islam bagi masyarat. Bahkan, seiring kemunculunan aliran yang tak sejalan dengan paham Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja), kini lembaga ini mempunyai peran baru, yakni menjadi benteng bagi masyarakat awam terhadap aliran tersebut. Pada edisi kali ini, koresponden Majalah Assirojiyyah akan menilik salah satu madrasah yang mempunyai peran baru ini, yaitu Madrasah Nurul Islam. Sebuah madrasah yang terletak di dataran tinggi Kec. Galis, Kab. Bangkalan.
Sejarah Madrasah dan Perjuangannya
Madrasah Nurul Islam terletak di Kampung Timur Gunung, Dusun Bulombul, Desa Tellok, Kec. Galis , Kab. Bangkalan. Didirikan oleh KH. Sayuti Ma’mun, alumni Pondok Pesanten Assirojiyyah pada bulan Juli 1982 M. Sejarah terbentuknya madrasah ini, bermula dari banyaknya masyarakat sekitar yang tidak tahu menjalankan syariat Islam dengan benar, khususnya sholat. Serta banyaknya para bajingan kampung yang berkeliaran. Melihat keadaan masyarakat yang demikian, guru dari ayah KH. Sayuti yang berasal dari Desa Rompeng, menyuruh KH. Sayuti untuk mendirikan lembaga pendidikan. Setelah itu, beliaupun bermusyawarah dengan masyarakat setempat tentang lahan mana yang akan digunakan. Namun, mereka tidak ada yang siap dan sepakat meletakkannya di rumah KH. Sayuti.
Setelah kesepakatannya dengan masyarakat, beliau menghaturkan keinginananya mendirikan lembaga pendidikan kepada guru beliau, yakni KH. Bushiri Nawawi (Almuallim), Sampang. Yang kemudian beliau merestuinya sekaligus memberikan nama bagi madrasah tersebut.
Pada mulanya sistem belajar mengajar di madrasah ini tidak tersistem secara perkelas, namun dengan sitem global atau ampagen (Madura: red) di teras rumah beliau. Setelah tiga tahun berjalan, sistem berubah menjadi perkelas dengan bangunan sederahana. Tercatat madrasah ini telah mengalami tiga kali renovasi hingga sekarang.
Setelah KH. Sayuti Ma’mun dipanggil menghadap Alloh SWT, tampuk kepengasuhan pun beralih kepada menantunya, Ust. Romli Husain. Namun, setelah merasa tidak cocok pemahaman dengan para pengajar dan pengurus lainnya, beliau akhirnya memilih keluar dan mendirikan pondok sendiri di Kajjen, Karpote. Lalu, estefet kepengasuhan beralih kepada putra kedua KH. Sayuti, yaitu, Ust. Khoiri Sayuti.
Madrasah yang kini mempunyai sekitar 200 santri ini, bisa dikatakan termasuk lembaga yang sukses membendung pemahaman Salafi Wahabi di daerahnya. Karena, sekitar delapan tahun lalu hingga sekarang paham ini terus eksis. Tapi, dengan adanya lembaga ini masyarakat awam sekitar tidak terpengaruh.
Ketidak terpengaruhan masyarakat ini bukan tanpa alasan. Sebagai salah satu benteng Aswaja, madrasah ini memiliki siasat khusus, salah satunya memasukkan pelajaran Aswaja an-Nahdliyyah pada kurikulumnya, guna memberi pelajaran kepada semua santri serta mengadakan kajian kitab Aswaja secara rutin tiap bulannya bagi warga sekitar.
Pendidikan dan Sarana
Madrasah Nurul Islam termasuk pendidikan salaf tulen. Karena semua pelajaran yang ada hanya berkutat pada kitab kuning. Adapun untuk jenjang pendidikan di Madrasah ini dimulai dari Tingkatan Ibtidaiyah sampai Nidzomiyyah pada jam 2 siang sampai sekitar jam 4 sore.
Selain kegiatan di atas, di madrasah ini terdapat kegiatan ngaji ba’da mghrib bagi santri sekitar. Setelah isya’ juga terdapat kegiatan tashih al-Qu’an serta les hadrah. Dalam kegiatan mengajar, Ust. Khoiri Sayuti dibantu oleh 13 tenaga pengajar yang berasal dari alumni madrasah sekitar serta satu guru tugas dari PP Assirojiyyah.
Madrasah ini berdiri di atas lahan sekitar 5.000 m2, dengan perincian 3.000 m2 milik pribadi, 1.000 m2 berasal dari sumbangan, 1.000 m2 sisanya dibeli. Sedangkan ruangan kelas yang digunakan menurutnya masih terasa cukup, sebanyak 9 ruangan dan 3 ruangan dalam tahap pembangunan.
Adapun sumber finansial di madrasah ini berasal dari uang syahriah perbulan, sebagian keluarga, simpatisan, alumni dan masyarakat sekitar.