Melurusakan Misunderstanding tentang Pancasila

pancasila
Spread the love
Pancasila

Sebenarnya, aneh bin ajaib jika masih ada segelintir orang yang lahir dan besar di Indonesia tetapi terus mengatakan bahwa “negara Islam adalah pilihan terbaik, dan Pancasila thaghut”. Seolah mereka sedang menjelaskan bahwa mereka belum sepenuhnya paham bagaimana pancasila memberikan instrumen penting kaitannya hubungan agama dan negara.

Secara teoritis, paling tidak ada tiga model relasi antara agama dan negara, yaitu; integralistik, skularistik, dan simbiotik. Pertama, Pola integralistik dimaknai sebagai hubungan agama dan negara yang tidak bisa dipisahkan, keduanya menyatu ((integrated).

Model seperti ini seperti yang diterapkan di negara-negara agama (relegius states) seperti Arab Saudi dan Iran. Meski dalam praktiknya tidak sepenuhnya relegius, banyak aturan di dua negara tersebut seperti undang-undang tentang Perdagangan Internasional dan Imigrasi justru berkiblat pada negara barat (sekularisasi).

Kedua, sekularistik. Pola ini menjelaskan bahwa agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda, sehingga keberadaannya harus dipisahkan. Amerika dan prancis adalah contoh negara yang memisahkan agama dan negara secara tegas, sedangkan sejumlah negara Eropa lainnya masih mengakui secara resmi lembaga gereja dalam kehidupan bernegara, seperti Inggris, Yunani, Denmark, Norwegia, Swedia, dan Finlandia.

Ketiga, hubungan simbiotik. Pola ini menegaskan bahwa agama dan negara itu saling membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Demikian sebaliknya, negara juga memerlukan agama karena dapat membantu negara dalam pembinaan moral dan etika.

Baca Juga :

TAFSIR EKOLOGIS ATAS SILA PERTAMA PANCASILA

Dalam konteks Indonesia, hubungan agama dan negara bersifat simbiotik. Atau dalam bahasa Masykuri Abdullah (2013) dikenal dengan istilah “intersectional” atau persinggungan antara agama dan negara yang secara jelas memberikan afirmasi bahwa posisi Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara agama, melainkan negara modern (demokratis) yang menghargai posisi agama dalam kehidupan negara.

Pancasila dan Islam; Sebuah Middle Way

Secara filosofis, Pancasila merupakan dasar keyakinan atau ideologi tentang masyarakat yang dicita-citakan serta dasar bagi penyelenggaraan negara yang dikristalisasikan dari nilai-nilai luhur yang telah berkembang jauh dari kehidupan leluhur bangsa Indonesia (Mahfud MD, 2010).

Sebagai ideologi, Pancasila adalah objektivasi dari agama-agama. Unsur objektif agama-agama ada dalam Pancasila.

Maka dari itu, Islam adalah sebuah ajaran yang utuh, yang mengedepankan nilai-nilai ketuhanan sekaligus kemanusiaan dan kemasyarakatan. Khazanah Islam telah diletakkan sebagai fondasi dalam ideologi Pancasila. Islam bukanlah Pancasila, akan tetapi nilai-nilai Islam telah masuk ke dalam Pancasila.

Perdebatan antara golongan Islam dan golongan Nasionalis harus menyadari bahwasanya Islam dan Pancasila mampu menciptakan proses dialogis, sehingga tak perlu lagi dibenturkan dalam dua ideologi yang saling bertolak belakang sekaligus berhadap-hadapan. Kemampuan para Founding Fathers dalam meletakkan fondasi ideologi bangsa yaitu Pancasila mulai dengan fondasi tauhid sebagai sokoguru utama Pancasila yang mewarnai sila-sila dalam Pancasila mengakhiri benturan tersebut.

Dan yang lebih penting lagi, nilai Islam yang termuat dalam Pancasila bukan hanya sebagai dasar ideologi yang statis, melainkan juga bintang pimpinan yang dinamis, harus responsif terhadap perkembangan zaman.

Pengamalan nilai Islam dan Pancasila dapat terlaksana apabila adanya ketaatan (Yudi Latif, 2018);  Pertama, ketaatan dalam menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa. Kedua, ketaatan hukum yang berlaku di dunia (hukum negara) sebagai manifestasi keadilan legal. Ketiga ketaatan kesusilaan, berdasarkan kemanusiaan yang beradab. Keempat, ketaatan mutlak atau kodrat, atas dasar bawaan kodrat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, organisaasi hidup kesadaran berupa segala sesuatu yang menjadi pengalaman manusia, baik pengalaman tentang penilaian hidup yang meliputi lingukngan hidup kebendaan, korohaniaan dan religius, lingkungan hidup sosial ekonomis, sosial politis dan sosial kultural.

Oleh : Ahmad Suhaimi, M.A