Shadow

APAKAH SEGALA KEBIJAKAN PEMERINTAH WAJIB DITAATI?

Spread the love
PEMERINTAH

Indonesia, meski lebih dari 80 persen penduduknya adalah umat muslim, tidaklah berarti standar hukumnya adalam syariat Islam. Namun, hal tersebut tidak menjadi sebab gugurnya kewajiban mentaati aturan pemerintah selama tidak ada unsur maksiat kepada Alloh SWT. (Shohih al-Bukhori: 7144 – Kitabu al-Ahkam). Lantas, bagaimanakah jika ada kebijakan pemimpin yang berkaitan dengan syariat, seperti syarat penjualan produk yang harus mengantongi ijin resmi (legal) dan bersertifikat halal. Apakah kebijakan ini masuk pada aturan syariat yang menyebabkan akad tidak sah jika tidak dipatuhi, atau hanya sebatas kewajiban taat yang tidak berpengaruh hal tersebut?.

Sebelum masuk ke pembahasan terkait permasalahan di atas, penting untuk mengawalinya dengan penjelasan tentang taat pada pemimpin dan apa saja konsekuensi dalam jual beli agar inti dari pembahasan dapat tersuguhkan dengan baik. Mulai dari hal taat pada pemimpin yang disimpulkan oleh para ulama termasuk Imam Ibnu Hajar al-Haitami, ada tiga macam: 1. Wajib dipatuhi dan berdosa jika dilanggar apabila kebijakannya berkaitan dengan syariat, baik yang wajib, sunah atau mubah yang menyangkut maslahat umum, seperti perintah keluar rumah untuk salat Istisqo’ bersama. 2. Wajib dipatuhi tapi tidak berdosa jika dilanggar apabila kebijakannya hanya berkaitan dengan hal mubah yang tidak menyangkut maslahat umum. 3. Haram dipatuhi apabila kebijakannya berupa maksiat pada Alloh. (Tuhfatul Muhtaj : Bab al-Istisqo’).

Baca Juga :

Asah Kemampuan Santri dengan Bermacam Lomba

Kemudian, mengenai konsekuensi jual beli, ada tiga rukun di dalamnya dan pada masing-masing rukun, ada syarat khusus sebagaimana berikut:

  1. Aqidani. Dua pelaksana akad, yaitu penjual dan pembeli, adapun syaratnya ada empat: a. Memiliki kemutlakan bertindak (tasharruf) yaitu sudah aqil, baligh dan bisa mengatur urusan harta. b. Tidak ada paksaan, kecuali karena hal yang dibenarkan syariat. c. Pembeli bukan non muslim jika yang dijual adalah mushaf dan semacamnya. d. Pembeli bukan non muslim yang boleh diperangi jika yang dijual adalah alat perang.
  2. Shighot. Yaitu: a. Ijab. Pernyataan dengan kata menjual dari penjual. b. Qobul. Penerimaan dengan kata membeli dari pembeli.
  3. Ma’qud ‘Alaih. Barang yang ditransaksikan, baik dari pihak penjual (mabi’) dan pembeli (tsaman). Dan ada lima syaratnya: a. Suci atau bisa disucikan dengan cara dibasuh. Adapun yang bisa suci dengan cara lain seperti khomer dengan istihalah (berubah menjadi cuka secara alami) atau kulit bangkai dengan cara disamak, maka tidak bisa diperjualbelikan. b. Terdapat manfaat yang mubah dan dikehendaki secara umum. c. Kesanggupan menyerahkan barang. d. Ada hak kuasapada ma’qud ‘alaih sebab memiliki, mewakili atau menjadi wali (penaggung jawab) . e. Maklum. Diketahui  jenis, ukuran dan sifatnya. (Taqrirot as-Sadidah Juz II)

Nah, dari penjelasan ini, dapat diambli kesimpulan terkait permasalahan di atas, bahwa: a). Jika kebijakan tersebut berkontribusi pada terlaksananya rukun dan syarat jual beli; misalkan ketika membeli barang yang tidak resmi (ilegal) atau yang tidak bersertifikat halal, ada kendala tidak bisa diserahkan, bukan hak milik atau tidak terjamin kesucian dan ke halalannya, maka kebijakan tersebut hukumnya sama dengan syarat jual beli di atas, yakni transaksi tidak sah jika tidak dilaksanakan, sekaligus berdosa karena masuk kategori kebijakan yang  wajib dipatuhi. b). Jika kebijakan tersebut tidak berandil apapun pada syarat rukun tersebut, maka hukum transaksinya tetap sah meski tidak menjalankan, dan tidak berdosa, karena masuk pada kategori yang tidak wajib dipatuhi, sebagaimana melakukan jual beli saat adzan salat Jumat yang hukumnya haram namun akad tetap sah. (Syarah Waroqot). Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh: Saiful Bahar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *