Sumber Foto: Pinterest
Pada saat itu, jam menunjukkan pukul 04.00 sore. Langit menghitam, ditutupi awan pekat. Hujan turun begitu deras, melesakkan butiran air ke jendela kamar Azkia yang bergetar hebat. Di dalam, boneka-boneka dan mainan lain berserakan di lantai. Hanya ada Azkia, empat belas tahun, duduk bersila memeluk boneka kain lusuhnya. Saat jemarinya mengayunkan lengan boneka itu, “Blarrr!” Guntur menggelegar, diikuti kilat yang menyambar begitu dekat hingga kamarnya terang benderang sesaat.
Pandangan Azkia beralih ke jendela kamarnya yang terbuka lebar, diembus angin kencang. Ia bangkit, melangkah gontai untuk menutupnya. Namun, di depan jendela, pandangannya terpaku pada sesuatu yang janggal di belakang rumah. Deretan pohon pisang itu selalu tampak biasa, tapi kini, ada satu yang berbeda. Azkia menyipitkan mata, menembus tirai hujan lebat. Dari balik pohon pisang itu, sesosok bayangan hitam raksasa bergerak. Ia mengingatkannya pada ‘lelakut’, penjaga ladang yang hanya ada di dongeng.
Tiba-tiba, dari dalam lemari pakaiannya, terdengar tiga ketukan keras: “Tok… Tok… Tok…” Bulu kuduk Azkia meremang. Ia menoleh ke arah lemari, melangkah perlahan. “Siapa di sana?” tanyanya, suaranya tercekat. Tak ada jawaban. Ia membuka pintu lemari, hanya tumpukan baju berserakan. Azkia membongkar baju-baju itu satu per satu, tak menemukan apa pun. Dengan gemetar, ia menutup lemari, lalu bergegas kembali ke jendela, rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Namun, sosok hitam tadi telah lenyap. Azkia buru-buru menutup jendela kamarnya rapat-rapat.
Ia baru melangkah tiga langkah menuju bonekanya, ketika suara ketukan kembali terdengar. Kali ini, dari balik pintu kamarnya. Azkia mematung. Dadanya berdebar tak karuan. “Kreeek,” pintu kamarnya terbuka sedikit demi sedikit.
“Ndhuk, ayo siap-siap ke acara.” Ternyata, di balik pintu itu ibunya yang berdiri, tergesa-gesa dengan kebaya adat Jawa. Ibu melangkah mendekat. “Acara apa, Ibu?” tanya Azkia. “Nanti malam, kan, satu Suro, Ndhuk. Di Keraton Padepokan ada ritual jenang suran dan kirab pusaka. Ikut, ya?” “Hujan, Bu…! Azkia malas. Tidak mau ikut!” Ia memalingkan wajah, menyembunyikan kekesalan.
“Ibu tidak mau kamu celaka, Azkia!” kata ibunya, nada suaranya berubah khawatir. “Hah? Celaka!?” Azkia terkejut. “Kamu ingat Sumiati, anaknya Bu Astuti, yang kecelakaan dilindas truk gara-gara menolak diruwat?” Ibu mengingatkan kejadian setahun lalu, dengan sedikit melebih-lebihkan. “Kecelakaan itu terjadi karena beberapa faktor, Bu, bukan cuma menolak diruwat!” Azkia mencoba berargumen. “Kalau tidak mau ikut, ya sudah!” kata ibunya, lalu pergi meninggalkan Azkia.
Bagi Azkia, acara semacam itu hanya membuang waktu bermainnya. Saat hujan akhirnya reda, seluruh keluarga Azkia pergi ke acara ritual yang diselenggarakan. Di rumah, hanya tinggal Azkia bersama Mbok, asisten rumah tangga mereka.
Di dalam rumah, Azkia merasa bebas. Tidak ada yang melarangnya bermain sepuasnya. Teras kamar yang penuh mainan, bantal sofa bertebaran di mana-mana, remah-remah makanan berserakan di lantai. Ia hendak mengambil remot TV di meja ruang tamu, ketika matanya menangkap sesuatu yang aneh: semangkuk bubur dengan taburan kacang kedelai dan telur dadar di atasnya. Bubur itu tampak asing.
“Mboook, ini punya siapa?” tanya Azkia. “Naun nun!” Mbok tergopoh-gopoh menghampiri, melihat apa yang ditunjuk Azkia. “Astaghfirullahal ‘adzim! Ini punya Ibu, Ndhuk!” Mbok tampak sangat terkejut. “Ndhuk, kula nyuwun ijin, mau ngasih jenang suran ini ke Ibu, ya?” Azkia terpaksa mengizinkan, meski agak takut ditinggal sendirian. Tapi ia pikir-pikir, rumah sebesar ini rasanya seru juga kalau hanya miliknya sendiri.
Beberapa jam kemudian, setelah puas bermain, Azkia merasa haus. Ia pergi ke dapur, hendak mengambil air dingin di kulkas. Tepat saat tangannya meraih gagang pintu kulkas, “Blaaast!” Seluruh lampu rumah padam.
“AAAAAAH!” Azkia menjerit ketakutan. Udara mendadak dingin, bulu kuduknya berdiri tegak, semuanya gelap gulita. “Mboook! Bu…! Azkia takuutt!” teriaknya panik. Tiba-tiba, dari arah meja dapur, terdengar suara gesekan logam. “Serit, serit…, srek.” Sebuah suara parau memanggil, “Azkiaaa… Azkiaaa… kemarilah.”
Sosok bayangan hitam yang sangat besar itu muncul dari ambang pintu dapur, bergerak perlahan mendekati Azkia. Ia menjerit ketakutan, “Tidaaakkk!” Makhluk itu semakin dekat, wujudnya semakin jelas. Matanya merah menyala, melotot penuh amarah. Hidungnya besar, menyerupai babi hutan. Di tangannya, sebilah pisau panjang berkilauan.
Makhluk itu mengayunkan pisaunya ke arah mata Azkia. “Crr…,” pisau itu meleset, hanya mengenai lengan Azkia yang spontan menangkis. Luka menganga di lengannya, mengeluarkan darah kental yang mengalir deras. Makhluk itu mencabut pisaunya, lalu menusuk tepat ke perut Azkia. Tanpa ampun, ia merobek isi perut Azkia hingga lambung dan usus besarnya terburai. Pandangan Azkia menggelap. Ia jatuh pingsan di lantai dapur yang kini basah oleh darahnya sendiri.
Di tengah kegelapan, sebelum kesadarannya benar-benar lenyap, Azkia melihat mata merah menyala itu menatapnya, seolah ada pesan tersirat: “Ini akibatnya jika menolak takdirmu.”
Oleh: Lutfiadi