Shadow

Dari Tabah Menuai Berkah

Spread the love
Dari

Perjalanan menjadi santri merupakan proses yang jauh dari kata instan. Semuanya harus ditempuh dengan proses yang penuh rintangan. Mulai dari pribadi, lingkungan, teman dan yang tak kalah mendasar ialah bekal atau ekonomi. Unsur ekonomi inilah yang sering kali menjadi kendala bagi seorang santri untuk mendalami ilmu agama di pesantren. Namun berbeda dengan alumni yang satu ini, beliau adalah H. Abd Kholiq Makwin, seseorang yang berusaha tabah menjadi santri meski di tengah himpitan ekonomi. Pada edisi kali ini koresponden Majalah Assirojiyyah akan menilik sejarah kehidupan beliau.

Biografi

Beliau merupakan alumni yang berasal dari Desa Petra Kecamatan Tanah Merah Kabupaten  Bangkalan. Lahir pada tahun 1959 M, dari pasangan H. Makwin asal Desa Pakong dan Hj. Halimah asal Desa Petra. Kehidupan kecil beliau terbilang memprihatinkan, karena beliau ditinggal ayahnya yang berpulang ke rahmatulloh di saat berumur 4 tahun. Beliau lahir di kampung halaman ayahnya, Pakong. Beliau memiliki 8 saudara, tiga di antaranya syaqiq (seayah dan seibu) yaitu Abd. Qodir, Abd. Kholiq dan Abd. Majid, empat yang lain liab (saudara seayah) yaitu Badar, Malehah, Badruyah dan Yunani, dan satu saudara lium (seibu) yaitu Abu Bakar. Istri beliau bernama Hj. Masturah. Ia merupakan sepupu beliau sendiri yang juga berasal dari Desa Petra. Hubungan beliau dengan istrinya ini adalah buah perjodohan dari wasiat mertua beliau, dengan alasan untuk menyambung persaudaraan.

            Sebelum menitih pendidikan  di Pondok Pesantren Assirojiyyah, Ba Kholiq Kecil, sapaan akrabnya, sempat mengenyam pendididkan diniyah di desanya (Petra), pada tahun 1965 M. Setelah lulus dari sana, beliau lalu mengabdi selama dua tahun sebagai pengajar di madrasah tersebut.

            Setelah dirasa sudah memasuki usia keemasan, pada umur 15 tahun bertepatan dengan tahun 1974 M, beliau pun dimondokkan oleh ibunya ke Pondok Pesantren  Assirojiah bersamaan dengan dua ipar sepupu beliau, Hidayat dan Abdul Bashir. Dipilihnya Assriojiah menurutnya, dikarenakan untuk menyambung hubungan guru thoriqoh ayahnya ke Sampang dan memang kebanyakan keluarga beliau mondok di sana.

            Masuk ke Assirojiyyah, beliau mengikuti jalur tes kelas II yang saat itu diuji langsung oleh Agus Fakhri. Guru pertama beliau kala itu adalah Agus Ruji, Agus Iyan, Agus Nur Hadi, dan Agus Rofi’i.

Di awal beliau masuk pesantren, santri sudah mencapai 700 orang dan beliau sendiri  berdomisili di kamar A-05, yang kala itu masih berupa bangunan kayu. Di bawah kamar inilah,  beliau dan teman-teman sekamarnya mulai belajar memasak.

Berbekal Tabah

            Seperti santri pada umumnya, di awal mondok Ba Kholiq selalu dihantui oleh perasaan tidak betah berada di pesantren, namun beliau terus berupaya memaksa diri untuk bertahan demi masa depannya. Baginya, dari sekian hal yang menyebabkan tidak betah adalah masalah bekal (ekonomi). Beliau hanya bisa menunggu hasil keringat ibunya yang tidak menentu setiap bulannya. Itupun seringkali oleh sang Ibu dititipkan kepada pedagang di Pasar Sampang untuk anaknya.

            Terkait pembelajaran, beliau terbilang santri yang sama dengan yang lainnya. Namun semangat belajarnya semakin bertambah semenjak kelas enam sampai Nidzomiyyah. Karena saat itu, beliau diajari langsung oleh KH. Ahmad Bushiri Nawawi (Almuallim). Selain itu, beliau juga termasuk santri yang tidak gampang bergaul. Sehingga ketika diminta oleh gurunya menjadi ketua musyawarah, beliau menolaknya, dengan alasan tidak percaya diri.

            Selama di pesantren, beliau pernah mengemban beberapa amanah yaitu menjadi Muaddzin Masjid Jamik Sampang selama dua tahun bersama empat orang temannnya, dan menjadi ketua Kamar A-05. Adapun pelajaran favoritnya adalah ilmu fiqih. Hal ini terdorong dari pesan ipar sepupu beliau yang memintanya untuk menekuni pelajaran ini. Sebab pelajaran inilah yang sangat dibutuhkan seseorang ketika hidup di tengah-tengah masyarakat. Selain fiqih, beliau juga gemar dan menekuni pelajaran tauhid.

Boyong Pondok

Setelah tujuh tahun pahit manis kehidupan pesantren beliau jalani dengan tabah, akhirnya pada tahun 1981 beliau boyong dari pesantren tercinta tepat ketika kelas II Nidhomiyah. Amat berat meninggalkan pesantren tapi beliau harus melakakukannya. Hanya untuk meringankan beban keluarga, karena pada waktu itu adik beliau juga modok di Assirojiyyah.

Kesan yang paling diingat oleh beliau selama nyantri kepada KH. Bushir yaitu Almuallim adalah sosok guru yang penuh dedikasi, sangat lugas dalam mengajar, mudah memberikan pemahaman kepada santrinya dan keistiqomahannya yang patut dicontoh.

             Setelah boyong dari pesantren, Ba Kholiq bekerja sebagai tukang las kepada sepupunya selama tiga tahun. Di samping bekerja, beliau juga membantu mengajar sebuah madrasah serta mengajar ngaji bakda maghrib.

Lalu pada tahun 1985, beliau berkeluarga dan dikaruniai dua orang anak, yaitu Yaqinah Maulidah dan Ach. Romdoni. Sejak tahun 2000 hingga sekarang beliau dipercaya oleh masyarakat menjadi khotib Jum’at di tiga masjid berbeda, yakni Masjid al-Hasanah (Tanah Merah), Masjid al-Jihad dan Masjid Petra.

            Ketabahan beliau selama di pesantren akhirnya berbuah manis. Terbukti dengan suksesnya beliau menjadi wirausaha dan menjadi tokoh yang bermanfaat bagi masyarakat. Selain menjadi khotib, beliau juga menjadi pemimpin yasinan, bendahara Masjid al-Hasanah, dan pengisi ajian Kitab Safina setiap malam Selasa pada acara Muslimat di kampung halamannya.

Oleh: Khotimul Umam Alhariz

Baca Juga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *