Shadow

KEMILAU PANCASILA DALAM KELUARGA

Spread the love
PANCASILA

Indonesia merupakan negara hukum yang mayoritas penduduknya beragama Islam dan berpedoman dengan Pancasila sebagai dasar negara dengan lima asas. Mengorek tentang pancasila perlu juga untuk mengingat statemen ‘jas merah dan jas hijau’. Jas merah, jangan sekali-kali melupakan sejarah dan jas hijau, jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama’. Mengapa demikian? sebab perumus Pancasila terdiri orang-orang yang agamis dan nasionalis. Berangkat dari sisi sejarah dapat disimpulkan bahwa ulama’ dan umaro’ kala itu saling bekerja sama melahirkan landasan dalam bernegara yang penuh kebijaksanaan dalam kebhinekaan.

Pancasila memenuhi kebutuhan manusia baik secara dzahir dan batin atau fisik dan psikis. Lima sila menunjukkan hubungan manusia dengan penciptanya pada sila pertama, Ketuhanan yang Maha Esa hubungan vertikal yang sangat sarat dengan pemenuhan unsur psikis/kepuasan batin. Adapun sila kedua hingga kelima merupakan sila-sila yang berhubungan dengan lingkup sosial atau secara horizontal. Sila tersebut adalah kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh khidmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Simpulan lain dari Pancasila adalah mengedepankan aspek ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, dan keadilan.

Negara kita mengatur kebebasan beragama dengan tetap berketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama berkesesuaian dengan surat al-Ikhlas. Sedangkan kebebasan memilih agama dan tanpa paksaan yang telah dijelaskan al-Quran, dalam negara kita juga mengaturnya dalam pasal 29 UUD  1945. Alhamdulillah kita hidup di negara yang memiliki dasar yang mengedepankan masalah keyakinan.

Baca Juga :

Bersama Gubernur Jawa Timur, Tim SANGGUP Assirojiyyah Lestarikan Alam

Keluarga merupakan cikal bakal bangsa. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai keluarga dengan latar belakang yang berbeda. Perbedaan dapat ditinjau dari segi pendidikan, budaya, dan lingkungan sosialnya. Perbedaan merupakan sebuah keniscayaan dalam kehidupan selama roda kehidupan berputar. Ciptaan Alloh penuh dengan keindahan, keajaiban, dan keunikan. Belajar perbedaan di dalam keluarga sebagai komunitas kecil, dapat menjadi jalan mudah memahami perbedaan sudut pandang dalam lingkup yang lebih besar. 

Al-Quran menjelaskan bahwa rumah yang paling lemah adalah rumah/sarang laba-laba.

إِنَّ أَوْهَنَ اْلبُيُوْتِ لَبَيْتُ اْلعَنْكَبُوْتِ

 Sebagaimana kita ketahui bahwa kontruksi dari sarang laba-laba mudah rapuh kala terkena angin bahkan sentuhan lemah sekalipun. Memandang sarang laba-laba menjadi pelajaran bagi kita untuk membangun kontruksi rumah tangga dibutuhkan pondasi yang kuat. Pondasi tersebut adalah keimanan kepada Alloh SWT. Tauhid menjadi pondasi dalam hidup ini, baik dalam lingkup keluarga maupun menjadi warga negara. Kekuatan tauhid dapat menajdi senjata dalam segala usaha yang kita laksanakan bahwa penentu terakhirnya adalah Alloh SWT. Suami dan istri serta semua buah hatinya harus dikuatkan keyakinannya kepada Alloh baik melalui dunia pendidikan formal, informal, maupun nonformal sehingga tereleasikan dalam ibadah, baik ibadah murni maupun ibadah sosial. Segala hal yang terjadi /menimpa seseorang terjadi atas kehendak Alloh dan akan kembali kepada pemilik sejatinya pula.

Nilai-nilai sila-sila berikutnya mengarah pada aspek sosial, khususnya kemanusiaan. Pada dasarnya manusia pendamba dan penghamba kondisi yang baik, aman, nyaman, dan indah baik sebagai bagian dari keluarga maupun bangsa. Misalnya; berkeadilan, bersatu, bijaksana, beradab, dan lain sebagainya. Namun, kehidupan tidak selalu semulus yang dibayangkan sebab perbedaan pasti akan mewarnai. Dari sisi inilah kita diajak untuk bersikap bijak dan beradab dengan pemikiran yang objektif bukan subjektif belaka. Subjektif dapat timbul dari ego yang terlalu besar frekuensinya dalam menimbulkan konflik sebab merasa pendapat atau sudut pandangnya yang paling baik dan benar. Kita memandang manusia/orang lain sebagai manusia, kesalahpahaman dapat terjadi dan teratasi dengan saling memaafkan, menolong saudara yang membutuhkan tanpa memandang golongan tertentu.

Sikap saling menghargai/menghormati/toleransi di atas kebhinekaan dan keberagaman. Suami menghargai atau menghormati istri dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Demikian pula orang tua kepada buah hatinya atau sebaliknya. Saling menghargai sesama saudara baik keluarga kecil maupun besar. Tidak ada produk Alloh yang gagal, semua memiliki kecerdasan masing-masing di bidangnya. Sikap toleransi akan melahirkan persatuan yang dapat menarik nilai-nilai baik dan luhur yang lain yang tertuang dalam nilai-nilai Pancasila dan berkesesuaian dengan al-Quran, hadist, dan qoul ulama’ pula.

Berikut pelajaran yang dapat diambil dari sumber hukum Islam yang sarat dengan ibadah sosial. Diantara toleransi yang tertera dalam al-Quran adalah mengerahkan dengan sesuatu yang lebih baik اِدْفَعْ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ. Sabda Nabi Muhammad SAW;  sertakanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik yang akan menghapusnya dan beretikalah yang baik kepada orang lain  وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ اْلحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ. Perkataan Imam Ghozali ketika ada orang yang bertanya tentang cara menghadapi orang muslim yang ahli maksiat bahwa keislamannya merupakan bentuk ketaatannya مَااْلمُسْلِمُ إِلاَّ وَإِسْلاَمُهُ طَاعَةٌ.

Oleh: Nyai Hj.Hainunatus Zahro’, S. Pd.m M. Pd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *