Menghadapi kematian adalah sebuah peristiwa dahsyat dan proses berat bagi setiap hamba. Di kala itu sebuah tonggak besar yang sangat menentukan bagi setiap manusia.
Kematian adalah ujung dari perjalanan hidup di dunia sekaligus pangkal dan langkah awal dari kehidupan yang hakiki, yaitu kehidupan akhirat.
Dunia bukanlah tempat yang abadi, tetapi hanyalah tempat sementara dimana setiap insan mampir sejenak menuju tujuan yang pokok, yaitu kehidupan akhirat yang kekal.
Wama hadzihiddunya bidari iqomatin
Wama hiya illa kattoriqi ilal wathon
“Dunia ini bukanlah tempat tinggal yang sebenarnya. Bukanlah ia kecuali hanyalah laksana tempat mampir di tengah perjalanan ke sebuah tempat yang hakiki.”
Saat kematian tiba, maka saat itulah sebuah momen yang menentukan ditetapkan. Saat itulah seorang hamba akan mendapatkan anugerah apa yang disebut ‘Husnul Khothima ‘. Akhir kehidupan yang membawa tauhid dan keimanan. Yaitu kematian yang memastikan seseorang selamat dan senantiasa di bawah naungan rahmat dan ridlo Alloh Subhanahu Wataala.
Atau sebaliknya, seseorang harus mendapatkan musibah besar yaitu ‘Su’ul Khothimah’ yaitu akhir kematian yang buruk (nu’udzu billah). Kematian yang tidak disertai iman dan tauhid dan kematian yang memastikan seseorang kekal dalam siksa api neraka.
Salah satu puncak dari Husnul Khothimah adalah jika seseorang mampu menghadapi kematian dengan ucapan kalimatal haq (La Ilaha Illalloh).
Akhir kematian dengan ucapan kalimat tauhid adalah cita-cita tertinggi setiap manusia beriman.
Karena itu Baginda Rosululloh memberikan tuntunan bagi setiap umatnya agar mentalkinkan kalimat tauhid bagi setiap orang yang sedang menghadapi sakaratul maut. Hal itu sebagai ikhtiyar dengan harapan ia mampu mengucapkannya dengan baik.
Namun ada hikmah lain dari harapan besar itu, yaitu suasana hati orang yang sedang dalam sakaratul maut agar dipenuhi suasana dzikir dan kekuatan keimanan.
Maka beberapa hal yang penting dan harus diperhatikan oleh para pendamping orang yang sedang menghadapi kritis kematian;
1. Satu orang mentalkinkan kalimat tauhid La Ilaha Illalloh dengan pelan tapi jelas. Diucapkan secukupnya dengan tidak terlalu cepat dan tidak terlalu banyak agar tidak membingungkan yang bersangkutan.
2. Bagi yang lain yang juga hadir dianjurkan membaca al-Qur’an terutama Surat Yasin. Diantara hikmahnya adalah meringankan proses sekarat (Naz’ur ruh).
3. Setiap meninggal maka pendamping mayat segera mengusap wajah terutama menutup mata. Sebagian terbuka dan terbelalak karena memang pandangan mata mengikuti perjalanan ruh yang baru saja tercabut. Hindari anggapan dan ucapan buruk akan hal itu. Karena hal tersebut lumrah dan bukan pertanda buruk bagi seseorang.
Sebagaimana hal itu pernah dilakukan oleh Rosululloh pada wajah salah satu sahabat yang meninggal, Abu Salamah bin Abdurrahman bin Auf.
Saat itu para keluarga Abu Salamah histeris menangis melihat wajah dan mata Abu Salamah terbelalak. Tapi segera dijelaskan oleh Baginda Nabi tentang esensi keadaan mayat.
Mentalkinkan kalimat tauhid bagi setiap calon mayat disunnahkan. Adalah kesepakatan semua madzhab. Tujuan dan harapan utama adalah apa yang disabdakan Nabi;
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدٍ وَاَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَا: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ. رَوَاهُ مَسْلِمٌ وَاْلاَرْبَعَةُ
“Barang siapa akhir ucapannya adalah kalimat La Ilaha Illalloh maka ia pasti masuk surga.”
Nas’alulloh Husnal Khothimah. Aamiin.