Salah satu hal yang membedakan Kaum Hawa dengan Kaum Adam ialah perempuan mengalami haid sebagi fitrah yang telah Alloh ciptakan untuk mereka. Haid atau Menstruasi adalah darah yang secara alami keluar dari alat kelamin perempuan ketika sudah menginjak usia 9 tahun tanpa adanya faktor penyakit atau hal lain (dalam kondisi sehat). Pada umumnya, haid tersebut terjadi berulang-ulang setiap bulan selama waktu tertentu.
Bagi perempuan yang telah mengalami menstruasi akan berstatus menjadi Mukallaf (orang yang mulai terbebani hukum-hukum syariat). Status Mukallaf juga terjadi bagi seseorang, baik laki-laki atau perempuan yang sudah berusia 15 tahun atau pernah mengalami ihtilam (mimpi basah) sebelum usia 15 tahun.
Selain ketentuan usia, Imam Syafii melalui hasil ijtihad dan penelitiannya (riset) terhadap perempuan-perempuan Arab, juga memberi ketentuan waktu tentang keluarnya darah haid, yaitu minimal sehari semalam tanpa henti terhitung selama 24 jam. Adapun lumrahnya darah yang keluar, terjadi selama kurun waktu 6 atau 7 hari dan maksmalnya sampai 15 hari. Artinya, darah yang keluar tidak boleh melebihi 15 hari dan tidak boleh kurang dari durasi waktu 24 jam, meskipun keluarnya darah tersebut berlangsung secara terputus-putus. Caranya adalah dengan menjumlah darah yang keluar perhari, jika akumulasinya mencapai 24 jam atau lebih, maka darah tersebut dinamakan darah haid.
Sedangkan mengenai waktu terputusnya darah (naqo’ud dami) itu sendiri dapat diketahui dengan cara memasukkan kapas atau sejenisnya ke dalam kelamin perempuan, untuk memastikan hilangnya bercak-bercak darah yang masih menempel. Yang mana dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih (ikhilaf). Menurut mayoritas ulama, waktu atau keadaan tersebut tetap dikatagorikan haid. Sedangkan pendapat yang lain, mengkhususkan waktu haid hanya terjadi saat darah keluar dan ketika fatrotud dami (darah tidak keluar tapi ada bekas saat memasukkan kapas) saja. Sehingga berdasarkan pendapat kedua ini, bahwa saat darah berhenti keluar (naqo’ud dami) sudah dianggap sebagai masa suci. Sebab itu, perempuan yang haid wajib bersuci dan mengerjakan kewajiban seperti biasanya, kecuali dalam masalah Iddah dan Talak yang tetap dianggap sebagi masa haid.
Kemudian mengenai masa suci antara satu haid dengan haid berikutnya bisa dihitung dari kebiasaan perempuan mengalami hadi. Jika masa haidnya 6/15 hari, maka masa sucinya 24/15 hari atau lebih, dan apabila masa haidnya 7/15 hari, maka masa sucinya 23/15 hari atau lebih. Jadi penting bagi perempuan untuk mengingat dan menghitung hari, mulai dari pertama keluarnya darah sampai 30 hari berikutnya, guna mengetahui masa haid dan masa sucinya. Sebab, jika dia mengeluarkan darah sebelum masa suci selesai atau mengeluarkan darah sebelum usia 9 tahun, atau mengeluarkan darah yang waktunya tidak sampai sehari semalam, atau haidnya terputus-putus dan jumlah keluarnya darah tidak sampai 24 jam, misalnya keluar darah selama 7 hari atau 15 hari, dan darah yang keluar hanya 1 jam perhari yang jumlahnya hanya 7 jam atau 15 jam saja, maka semua darah tersebut bukanlah darah haid melainkan darah Istihadoh (darah akibat penyakit). Sehingga kewajiban sholat yang telah ditinggalkan selama keluarnya darah Istihadoh tersebut wajib diqadla’, meski dugaan semula dianggap sebagai darah haid.
Dalam keadaan haid, perempuan diharamkan untuk melakakukan beberapa hal antara lain; Mengerjakan sholat, dan tidak wajib mengqadla’nya setelah suci. Namun perlu diketahui, apabila datangnya haid setelah masuk waktu sholat serta memungkinkan bagi perempuan untuk bersuci lalu melaksankan sholat dengan standar wajib-wajibnya saja, maka sholat tersebut wajib diqadla’ setalah suci dari haid. Atau jika tuntasnya haid tepat pada waktu sholat yang bisa dijamak dengan sholat sebelumnya seperti sholat ashar dan isya’ meskipun waktu yang tersisa hanya cukup untuk takbirotul ihrom saja, maka sholat tersebut (ashar/isya’) serta sholat sebelumnya (dzuhur/maghirb) juga wajib diqadla’. Puasa,akan tetapi tetap wajib diqadla’ berbeda dengan sholat. Membawa, menyentuh dan membaca al-Quran, namun para ulama kontemporer ada yang berfatwa boleh membaca al-Quran saat haid karena faktor kebutuhan belajar dan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan dan semacamnya, sebagaimana yang disebutkan Syekh Dr. Ahmad az-Zuhaily dalam kitabnya al-Mu’tamad. Berdiam diri  di dalam masjid. Berhubungan intim dan istimta’ (bercumbu) di area tubuh antara pusar dan lutut, meski ada sebagian pendapat ulama yang mengatakan bahwa istimta’ di area tersebut tidak diharamkan. Yang mana pendapat ini diunggulkan oleh Imam Nawawi.
Dengan demikian, darah haid ini wajib diketahui dan dipahami semaksimal mungkin, khususnya bagi kalangan perempuan. Bahkan seorang suami jika istrinya tidak mengerti tentang haid tersebut dan dia tidak bisa mengajarinya sendiri, maka suami wajib memberi akses dan fasilitas belajar bagi istrinya. Wallohu a’lam bisshowab.