Hubungan kita sebagai manusia yang sedang berada di dunia tidak bisa dilepaskan dari dua model relasi. Pertama, hubungan manusia dengan manusia (human relation) yang selama ini bisa dijumpai dalam kajian seputar hak asasi manusia. Kedua, hubungan manusia dengan alam (human non-human relation) yang bisa ditemui dalam kajian agama dan ekologi.
Menurut Ibnu Khaldun (732-808 H), jiwa manusia memiliki ragam tipologi (khasais al-nafsi al-insaniyah) yang salah satunya adalah kekuasaan (al-mulk). Kekuasaan dipakai manusia guna mempermudah organisasi dalam rangka memenuhi kebutuhan dan menghasilkan kekuatan untuk membela diri. Dalam merawat keberlangsungan hidup, manusia sangat bergantung kepada keberadaan unsur lain, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, atau kepada benda-benda mati seperti air, tanah, oksigen dan yang lain-lain. Atas dasar itu kemudian lahir ekologi manusia yang sering diartikan sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana ekosistem mempengaruhi dan dipengaruhi oleh manusia. Pada perkembangan selanjutnya, dijumpai terminologi ekologi politik yang sering dimaknai sebagai kajian dan gerakan yang peduli terhadap ragam persoalan dan kerusakan lingkungan. Ekologi politik sebagai pendekatan dalam kajian ekologi yang juga mengajak analisis ekonomi-politik dalam melihat ragam gejala ekologis dan sudah tidak lagi menempatkan manusia sebagai sosok sentral.
Tahun 1970-an, Thomas Robert Malthus menyampaikan gagasan yang mengatakan, pertumbuhan populasi manusia bergerak secara eksponensial, sedangkan pertumbuhan pasokan pangan bergerak secara linear. Ia lantas melakukan koreksi preventif dengan cara menganjurkan penundaan perkawinan hingga pelarangan pernikahan bagi orang miskin. Koreksi positif dengan cara menciptakan situasi yang mengantarkan manusia pada kematian dini pada sebagian masyarakat melalui wabah penyakit, perang, dan kelaparan. Ketika manusia jumlahnya lebih banyak dari makanan, maka hanya akan melahirkan malapetaka. Manusia akan berlanjut hidup ketika adanya agenda depopulasi. Ide dan gagasan yang disampaikan lingkaran Malthusian yang demikian akan menjadi sangat masuk akal ketika kita sepenuhnya percaya pada ilmu pengetahuan dan tidak melibatkan Tuhan dan keimanan dalam proses menjalani kehidupan di dunia ini.
Di Indonesia tahun 2021, konsumsi beras perkapita mencapai 114,6 Kg perorang dalam pertahun. Sedangkan konsumsi orang di luar negeri terhadap bahan pokok mereka berkisar 60 kg pertahun. Pada kenyataan yang lain, penduduk Indonesia hari ini yang berjumlah 273 juta kadang memiliki kebiasaan membuang-buang nasi, pola makan yang sungguh tidak profetik. Kalau saja setiap orang Indonesia membuang satu butir nasi dalam sekali makan, maka 6 ton beras dibuang setiap hari, kalau dua kali makan maka 12 ton terbuang, yang ketika dikalkulasi dalam satu bulan menjadi 360 ton, dan dalam satu tahun 4.320 ton beras atau nasi dibuang. Sedangkan Alloh SWT berfirman dalam Alquran melalui sebuah ayat di Surah al-A’raf:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
Artinya: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-‘Araf: 31)
Dari makna jangan berlebih-lebihan di atas kemudian yang dituntut oleh Alloh SWT kepada kita adalah pola konsumsi yang sedang (i’tidal) dan tidak membuang-buang makanan.
Dalam waktu dekat ini, kita sebagai warga negara akan menghadapi memontum politik elektoral atau pemilihan umum. Suasana yang sering memaksa kita mempertahankan keyakinan politik sampai rela mengorbankan pengamalan ragam konsep persaudaraan dalam berbangsa dan bernegara. Dalam tradisi orang-orang pesantren dikenal trilogi konsep persaudaraan, seperti persaudaraan sesama penganut agama Islam (ukhwah islamiyah) karena menganggap memiliki persamaan agama, persaudaraan dalam ikatan kenegaraan (ukhuwah wathaniyah) karena didasarkan pada persamaan negara, dan persaudaraan sesama manusia (ukhuwah basyariyah) karena adanya perasaan ibu dan bapak yang sama, yaitu Adam dan Hawa.
Baca Juga:
Dengan pengamalan tiga trilogi tersebut, ragam perbedaan tidak akan membahayakan kita sebagai warga negera dan bagian dari umat manusia karena selalu adanya titik persamaaan dengan orang-orang yang berbeda. Yang mengkhawatirkan adalah, jarang dari kita yang menganggap lingkungan hidup sebagai saudara. Ukhwah wathaniyah sering dimaknai sebagai negara, bukan sebagai ekosistem. Kita perlu mengembangkan model persaudaraan baru, yaitu persaudaraan yang bersifat ekologis (ukhwah bi’iyah). Alloh SWT berfirman melalui surah al-A’raf:
وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا
Artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik” (QS. al-‘Araf: 56)
Dalam ayat di atas, larangan Alloh SWT dalam membuat kerusakan mencakup semua bidang, seperti kerusakan dalam pergaulan, fisik dan non-fisik, ekosistem, merusak seperti gunung, lembah, sungai, lautan, daratan, hutan dan yang lain-lain. Di tengah perbedaan pandangan dan madzhab dalam menghadapi persoalan dan kerusakan lingkungan, rasanya kita memerlukan konsep persaudaraan tentang pelestarian lingkungan hidup, dengan menjadikan ekosistem sebagai saudara yang mengajak kepada persatuan manusia dan lingkungan hidupnya, yaitu ukhwah bi’iyah, persaudaraan dengan ekosistem.
Oleh : Oleh: Ra Hasani Utsman, Lc., M.A