Shadow

Pioneer Berdirinya RT (Rumah Tangga)

Spread the love

Oleh: Khotimul Umam Alhariz

Mengabdi terhadap pondok pesantren adalah sebuah aktivitas yang sudah biasa dilakukan seorang santri. Namun ini semua harus didasari keikhlasan untuk mendapatkan buah keberkahan. Pada edisi kali ini, Koresponden Majalah Assirojiyyah berhasil mendapatkan informasi salah satu alumni PP Assirojiyyah yang menanamkan prinsip tersebut, beliau bernama Agus Nasib.

Biorafi

                Nama lengkapnya adalah H. Muhammad Nasib. Lahir di Desa Masaran, Kec. Banyuates, Kab. Sampang pada 10 Desember 1957 M. Orang tua beliau bernama Adam dan ibundanya bernama Markati. Pada usia 7 tahun, pria yang semasa kecil gemar mencari jangkrik ini  telah mengenyam pendidikan di  sekolah dasar (SD) di desanya, yakni SD 1 Masaran (yang sekarang menjadi SD 2 Masaran) selama 5 tahun. Dan juga belajar  pendidikan agama di sebuah madrasah selama 2 tahun.

                Sebelum nyantri di PP Assirojiyyah, tepatnya di usia 12 tahun, Ag. Nasib sempat mencicipi pendidikan di pesantren yang kala itu diasuh KH. Moh. Dahlan, Bangkalan. Bermula dari kekaguman beliau terhadap teman kampungnya yang bertambah bersih ketika nyantri, dari situ kemudian, Nasib kecil mengutaran keinginannya kepada kedua orang tua beliau untuk ikut mondok seperti teman-temannya. Lalu niatan tersebut direspon baik oleh orang tuanya begitu juga  oleh guru ngajinya. Sehingga mereka semua bersama-sama mengantarkan Nasib kecil ke sebuah pondok pesantren.

                Selang beberapa hari berada di Bangkalan, Ag. Nasib kemudian dipindahkan. Pemindahan ini dilatarbelakangi dengan sebuah mimpi. Guru ngaji beliau bermimpi didatangi gurunya yang memberi isyarat agar Nasib dimondokkan ke pesantren yang ada di sebelah tenggara, yaitu tertuju ke PP Assirojiyyah, Kajuk, Sampang. Dari mimpi ini serta restu kedua orang tuanya dapat meyakinkan beliau untuk pindah pesantren.

Berkhidmat di Pondok

Seperti santri pada umumnya, di awal-awal mondok, beliau merasakan tidak betah selama hampir dua tahun. Namun, tetap beliau jalani dengan tulus hati demi menghargai perjuangan guru dan orang tuanya. Pada saat itu, jumlah santri yang ada sekitar 150 orang. Beliau bermukim di daerah A bersama Ag. Fakhri. Setelah itu, pada tahun 1979 M beliau pindah ke daerah D. Selain berguru kepada al-Muallim (KH. Ahmad Bushiri Nawawi), di pesantren Ag. Nasib juga belajar kepada guru-guru (Agus) senior. Mereka adalah Ag. Fakhri, Ag. Ian dan Ag. Idris.

Selama berada di pesantren, kebiasan Ag. Nasib ialah selalu membantu pekerjaan pembangunan pondok dan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sebab, selain mengabdi, beliau juga punya prinsip bahwa alim saja tidak cukup jika tidak tau bekerja. Dari sinilah, Ag. Nasib sering bekerja apapun yang ia bisa. Semisal membantu pemasangan keramik, menghidupkan dan memperbaiki lampu petromak (lampu pondok tempo dulu), dan lain sebagainya.

Keterampilan dalam bekerja inilah yang menjadikan Ag. Nasib dipercaya oleh al-Muallim menjadi Ketua Perlengkapan atau Rumah Tangga (RT sekarang) pada tahun 1977 M yang pada saat itu duduk di Kelas Nidhomiyah. Dan dari hal ini pula, menjadi cikal bakal terbentuknya Biro Wakaf, Pemeliharaan dan Pembangunan  Pondok Pesantren Assirojiyyah.

Ketika menjabat sebagai Ketua Perlengkapan, banyak pengalaman yang beliau hadapi. Salah satu yang sangat menarik baginya adalah saat pondok mendapatkan bantuan dari pemerintah berupa lampu petromak. Lampu ini oleh al-Muallim disuruh dipasang di jalan dekat pondok, agar masyarakat dapat merasakan manfaatnya.

Baca juga

Suatu hari, berdekatan dengan jam masuk kelas malam, lampu milik pondok yang ada dalam kelas tiba-tiba rusak (mati). Maka sebagai anggota perlengkapan, Ag. Nasib pun tidak berpikir panjang dan spontan menggantinya dengan lampu dari pemerintah.

Namun beda halnya dengan sang guru, dengan sifat wara’nya (kehati-hatiannya), setelah mengetahui lampu yang dipakai ternyata bantuan dari pemerintah, maka seketika itu pula al-Muallim meliburkan sementara kegiatan kelas sampai lampu milik pondok selesai diperbaiki. Dari kejadian ini, Ag. Nasib merasa sangat bersalah. Karena kecerobohan beliau telah membuat kegiatan belajar mengajar menjadi libur.

Selain Ketua Perlengkapan, ada pula jabatan-jabatan lain yang beliau emban semasa mondok yaitu menjadi  juru masak kelurga dalem, Ketua Daerah D pada tahun 1979-1983 M, dan staf pengajar tahun 1980 M.

Empat belas tahun perjalanan beliau di pondok tercinta, pada tahun 1986 M, tiba saatnya Ag. Nasib boyong dari pesantren. Konon, tidak ada sedikitpun pikiran beliau untuk boyong, namun setelah dipanggil dan diperintah oleh  al-Muallim untuk berkeluarga, akhirnya beliau menerima dengan lapang dada.

Ketaatan dan Perjuangan

                Pasca boyong dari pondok tahun 1986 M, Ag. Nasib melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan bernama Nyai Syamsiyah, asal Lomaer, Bangkalan. Gadis pilihan yang sebelumnya sudah dijodohkan  al-Muallim untuk dinikahkan dengan Ag. Nasib.

                Dari pernikahannya bersama Nyai Syamsiyah, beliau dikaruniai 5 buah hati yaitu; Qomariyah, Fawaid, Ach. Sabiq, Ach. Hanif, dan putri bungsu beliau, Su’adah. Kemudian, setelah sepeninggal Nyai Syamsiyah tahun 2016 M yang lalu, Ag. Nasib kemudian menikah dengan Nyai Husniyah, asal Mandung, Bangkalan. Dari istri keduanya ini, Ag. Nasib belum dikaruniai seorang keturunan.

                Setelah satu tahun bersama Nyai Syamsiyah di Lomaer, tepat pada tahun 1987 M, beliau kembali ke Desa Masaran untuk menjalankan perintah sang guru (al-Muallim) yang mengharuskannya untuk tinggal di desanya bagaimanapun kondisinya.

                Di desa kelahirannya inilah, kemudian Ag. Nasib dipercaya oleh masyarakat sekitar untuk membina sebuah madrasah yang diberi nama Rohmatur Rohmani, sebuah nama pemberian gurunya (al-Muallim). Awalnya madrasah ini hanya berupa surau kecil dengan 6 orang santri, namun berkat  kesabarannya, akhirnya menjadi madrasah seperti sekarang.

                Di balik kesuksesan Ag. Nasib dalam membina madrasah, baliau selalu berpegang teguh pada pesan gurunya. “Mengajarlah! walaupun satu orang, karena ketika dia menjadi sholeh, kamu akan masuk dalam barisan warotsatul anbiya’. Apalagi banyak.” Dawuh ini menjadi spirit beliau di dalam memimpin sebuah lembaga pendidikan agama, meski banyak rintangan yang harus dilalui.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *