SANTRI HARUS ARIF DENGAN PERKEMBANGAN ZAMAN

SANTRI
Spread the love
SANTRI
SANTRI

Apa itu dakwah ?

                Dakwah secara bahasa dari kata-kata Da’aa Yad’uu yang artinya itu memanggil. Jadi kalau kita lihat dari sisi bahasa, yang dinamakan dengan dakwah itu mutlaqud da’wah, mutlaknya memanggil siapa saja dan dengan cara apa saja. Sedangkan dakwah secara istilah adalah memanggil serta mengajak orang lain untuk mengikuti jalan yang benar, mengikuti jalan Alloh sesuai dengan syariat-syariat yang telah diajarkan Rosululloh, itu sekilas tentang dakwah.

Jenis dakwah ada berapa ?

                Kalau yang anda maksud adalah metode dakwahnya, dalam al-Qur’an itu disampaikan “Ud’u ila sabili robbik bil hikmah wal mauidhotil hasanah wajadilhum billati hiya ahsan.” Jadi, kita bisa menggunakan metode hikmah, kita bisa menggunakan metode mauidhotul hasanah atau perkataan dan juga tutur yang bagus dan yang terakhir wajadilhum billati hiya ahsan, di situ dikatakan kalau mau berdebat dengan mereka tentang perkara yang hak maka lakukanlah dengan cara yang bagus. Ini metode-metode dakwahnya, seperti itu.

Istilah dakwah itu sendiri muncul sejak kapan ?

                Kalau kita bicara tentang syariat, maka dakwah itu muncul semenjak nabi pertama itu ada, katakanlah kalau nabi yang pertama itu Nabi Adam, berarti Nabi Adam juga mendakwahkan syariat yang beliau bawa dari Alloh SWT untuk didakwahkan kepada  kaumnya, kebetulan kaumnya itu sendiri adalah putra-putra beliau. Kalau kita bicara tentang Nabi Nuh, yang mana ada yang mengatakan beliau nabi yang pertama kali  memiliki kaum, karena kaumnya Nabi Nuh itu bukan hanya keturunan seperti halnya Nabi Adam. Maka Nabi Nuh sendiri berdakwah sejak mendapatkan perintah, mendapatkan wahyu dari Alloh untuk mendakwahkan wahyunya, untuk mendakwahkan syariatnya kepada kaumnya, dan begitu seterusnya.

Apa yang dimaksud era digitalisasi ?

                Era digitalisasi yang kita rasakan saat ini, itu adalah suatu ibarat sistem yang memudahkan kita untuk mengakses segala sesuatu, ini konsekuensi dari era globalisasi. Globalisasi ini artinya adalah sesuatu yang besar bisa dijadikan kecil, sesuatu yang rumit bisa dibuat simpel sehingga kita rasakan kalau kita ingin mengakses informasi yang  dulu mungkin sulit kita akses tapi sekarang hanya dengan memakai alat yang super canggih sehingga kita bisa mengakses dengan mudah. Nah, cara untuk mengakses inilah yang dimaksud dengan digitalisasi, ini terusan dari pada globalisasi.

Baca Juga: https://assirojiyyah.online/ikappasma-adakan-program-baru/

Bagaimana Islam menyikapi dakwah di era digitalisasi ini ?

                Digitalisasi ini sebenarnya adalah suatu wasilah, suatu media kita untuk menyampaikan ajaran Rosululloh kepada umat manusia. Dan digitalisasi ini adalah sebuah tiranti kita kalau kita menggunakannya berarti kita juga  menggunakan lisan kita, kalau kita mensabmit segala sesuatu melalui digital, itu berarti kita mensabmit pikiran-pikiran kita dalam tiranti digital tersebut.

                Jadi, kalau menurut saya di era digital ini kita harus betul-betul paham agar kita bisa maksimal dalam berdakwah. Dan memang itu yang disampaikan dalam satu riwayat. Riwayat ini dinisbatkan kepada Nabi Ibrohim AS,  “Alal aqil aiyakuna ‘arifan fis zamani, mustaqbilan fi sa’nih, ‘arifan fi Robbih.”  Artinya bagaimana?, bagi orang yang berakal itu wajib untuk yang pertama, ‘arifan fis zamani dia harus mengerti keadaan zamannya, termasuk diantaranya kalau kita berbica soal era digital, kita pun juga harus tau tentang perkembangan era digital sehingga dengan demikian kita  mudah untuk mendakwahkan apa yg diajarkan oleh Rosululloh kepada kita, kita ajarkan kepada umat. Kemudian mustaqbilan fi sa’nih, harus memiliki ahwal tingkah laku, gaya hidup yang futuristik, jadi yang kita lakukan itu bukanlah sesuatu yang tidak ada artinya.

                Seorang yang berakal setiap tingkah lakunya harus memiliki makna, makna yang dimaksud di sini adalah yang bersekuensi pada hari depan dalam artian futuristik. Wa ‘arifan fi robbih, kemudian dia harus tau terhadap Tuhannya. Artinya bagaimana?, apapun yang terjadi di era kapan saja era kemarin atau sekarang era globalisasi di era digitalisasi ini kita harus tetap untuk ‘arifan fi robbih mengetahui tuhan kita. Kita harus menggunakan apa yang ada di dunia ini sebagai wasilah kita untuk mendekatkan diri kepada Alloh.

Bagaimana cara santri mengaplikasikan dakwah di era digitalisasi ?

                Kalau santri sebenarnya, santri ini sedang berada di tahap sedang mencari ilmu, sehingga di beberapa pondok pesantren mereka diwajibkan untuk fokus pada tolabul ilmih, di beberapa pondok pesantren mereka dilarang untuk memakai alat-alat digital, baik itu smartphone, televisi, radio dan lain sebagainya. Bahkan laptop, internet, mereka dilarang, termasuk pesantren kami ini, Pesantren al-Mahrusiyyah. Kenapa, tujuan kami adalah agar mereka itu fokus dalam pencarian ilmu.

                Tapi kami berharap setelah mereka keluar dari pondok pesantren, menyelesaikan studinya di pondok pesantren kembali pada dawuhnya Nabi Ibrohim tadi  ‘arifan fi  zaman manfaatkan apa yang ada di sekeliling kalian sebagai wasilah untuk berdakwah, kalau sudah posisi seperti ini maka mereka akan lebih mudah untuk berdakwah karena apa, karena modal untuk berdakwah mereka sudah ada dan mereka sangat detail dalam memahami ajaran-ajaran dari kitab kuning dan ketika mereka berada di tengah- tengah masyarakat mereka tinggal memasukkan materi-materi tersebut dan disampaikan kepada masyarakat.

Seberapa penting dakwah santri di era digitalisasi ini ?

                Mereka memiliki peran yang sangat- sangat penting, ketika media sosial didominasi oleh informasi-informasi yang tidak valid dan tidak bisa dipertanggung jawabkan, ketika media sosial didominasi oleh ilmu-ilmu yang tidak bersanad, ilmu-ilmu yang tidak bisa dipertanggung jawabkan maka keberadaan para santri di sini seakan-akan dia memiliki satu tugas untuk menghapus itu semu, dan mendominasikan ajaran-ajarannya di media sosial agar masyarakat yang memakai media sosial ini betul-betul menerima informasi yang valid, ajaran yang benar, ajaran yang bersanad, dan bisa dipertanggung jawabkan.

Orang-orang awam apakah dikatakan bersanad jika mengaji lewat media ?

                Tergantung pada sanadnya, kalau di dalam media sosial di situ terpaparkan tentang ilmunya dari mana, rujukan ilmunya  dari mana, maka itu bisa dikatakan sesuai dengan jalur sanad. Dengan catatan setelah dicek itu memang betul itu rujukannya, referensinya, gurunya betul. Tapi seandainya kita mendapatkan informasi dari media sosial yang di situ tidak ditulis siapa gurunya, sanadnya juga dari mana, rujukan kitabnya itu juga darimana maka hal seperti ini harus kita waspadai, kita harus ada waktu untuk mengkroscek apakah itu benar berasal dari sanad yang bisa dipertanggung jawabkan.

                Maka sangat berbahaya seandainya mereka berguru melalui medsos yang  informasi tidak tertera sanad keilmuan, gurunya, referensi kitabnya.

                Maka janganlah meninggalkan untuk belajar dan juga mengaji dengan sistem bermuajahah, dengan sistem saling bertatap muka dengan guru di majelis taklim atau di pengajian-pengajian yang ada di sekitar mereka.

Tantangan di era digital ?

                Tantangan di era digital, ini yang paling dirasakan adalah kejujuran. Bagaimana kita ini betul-betul mengedepankan sikap jujur ketika kita berinteraksi di era digital ini kejujuran itu yg paling penting. Tapi walaupun toh demikian orang yang berinteraksi dengan media yang ada di era digital itu harus memiliki empat syarat itu menurut saya.

                Yang pertama ketika ia berdakwah melalui digital dia harus memiliki ilmu, banyak kita temukan mereka-mereka yang melakukan dakwah malah terpeleset omong karena memang ilmunya belum mumpuni, maka yang paling penting pertama ini adalah al-ilmu. Kemudian yang kedua adalah al- amalu bil ilmi, dia harus mengamalkan apa-apa yang dia sampaikan melalui smartphone, ataupun yang lainnya berupa ilmu amal yang mereka lakukan setiap hari itu harus mencerminkan ilmu yang dia sampaikan. Kemudian yang ketiga dan keempat, as-sidqu wal amanah. As-Sidqu yakni dimana dia harus jujur dalam memberikan informasi yang ini bisa dipertanggung jawabkan.

                Kemudian amanah bisa dipercaya, apa yang disampaikan di dalam medsos itu betul-betul memang memiliki dasar, memiliki sanad dan juga guru yang bisa dipertanggung jawabkan.

Pesan kiai kepada para santri ?

                Bagi para santri ketika mereka akan berkiprah di tengah tengah masyarakat, pertama yang harus mereka pelajari adalah tafaqqohu qobla antasudu, dia harus alim terlebih dahulu sebelum dia memimpin masyarakat.

                Ini penting kenapa, jangan sampai kita mengarahkan masyarakat dalam hal ibadah dan hal agama dengan ilmu yang tidak cukup lebih-lebih dengan kebodohan, naudzu billahi mindzalik. Jadi itu yg pertama tafaqqohu qobla antasudu, alimlah terlebih dahulu sebelum kalian tampil di media sosial untuk mengarahkan masyarakat.

                Kemudian yang kedua, yang ingin saya sampaikan adalah al-faqih al-haqiqi man yuzawwiju bainal haqqi wal waqi’, seorang yang faqih yang haqiqi seorang yang alim yang betul-betul alim adalah mereka yang mampu mengkombinasikan antara ilmu yang hak yang mereka dapatkan dari pondok pesantren dengan realita dengan keadaan yang terjadi pada saat ini.

                Jadi sampaikan ilmu kalian, yang kalian dapatkan dari pondok pesantren sesuai dengan keadaan yang terjadi saat ini. Sehingga itulah tadi yang saya sampaikan bahwa alal aqil aiyakuna ‘arifan fis zamanih, mustaqbilan fis sa’nih, ‘arifan fir robbih, seorang yang punya akal adalah mereka yang tau keadaan zamannya, haliahnya memiliki konsekuensi maslahat ke depannya, kemudian dia pun juga ‘arifan fir robbih mengetahui tuhannya dalam artian dia selalu berpegangan dengan dawuhnya Rosululloh, dawuhnya Alloh SWT.

(Fauzan Adhim/Irham)