UCAPAN SELAMAT NATAL

Spread the love
UCAPAN SELAMAT NATAL
poster ucapan selamat natal

Akhir-akhir ini, di negeri dengan penduduk mayoritas muslim, seringkali kita mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri adanya sebagian orang Islam yang mengucapkan Selamat Natal kepada orang Nasrani pada hari natal yang dirayakan tiap tanggal 25 Desember dengan dalih toleransi dan semacamnya yang menuai banyak kontroversi dan menimbulkan pro kontra di kalangan umat Islam. Ada yang tanpa berpikir panjang, secara langsung menanggapinya dengan negatif dan ada pula yang malah sebaliknya, ini semua lantaran pandangan dan ijtihad para ulama dalam menyikapi masalah tersebut juga berbeda-beda. Sebab tidak adanya dalil Qot’i yang secara jelas menerangkan masalah ini, baik dari al-Qur’an atau hadits Nabi. Lantas, bagaimanakah sudut pandang para ulama mengenai hal ini?.

Sebelum berlanjut pada kajian hukumnya, perlu diketahui bahwa ucapan selamat tidak lain adalah kalimat doa yang biasanya diucapkan kepada seseorang ketika bersuka cita, menerima kesenangan atau terhindar dari suatu musibah, dan dalam Islam hal ini dikenal dengan istilah Tahniah. Adapum hukum daripada Tahniah ialah sunnah dalam hal-hal yang dibenarkan syariat seperti Hari Raya Idul Fitri, kelahiran anak, pernikahan dan lain-lain sebagimana disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar al-’Asqolani dalam kitabnya ‘Juz Fit Tahni’ah Fil A’yad’.

Kemudian untuk kata Natal sendiri adalah istilah khusus umat Nasrani yang dikenal sebagai hari raya atas kelahiran Yesus yang mereka klaim sebagai Tuhan. Yang jelas hal ini tidak dibenarkan dalam syariat Islam, karena hal tersebut adalah perayaan atas perbuatan syirik dan kekufuran mereka terhadap Alloh SWT.

Jadi, sesuai dengan definisi di atas, ucapan Selamat Natal adalah Tahni’ah yang tidak dibenarkan dalam Islam. Dan menurut al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya al-Amru bil-Ittiba’ wa al-Nahyu ‘ani al-Ibtida’ hal tersebut tergolong tindakan bid’ah dan kemunkaran yang harus dihindari. Bahkan Imam ad-Damiri dalam kitabnya al-Najmu al- Wahhab fi Syarhi al-Minhaj mengkategorikan perbuatan tersebut termasuk pelanggaran yang harus dikenakan takzir (sangsi).

Sebab ucapan Selamat Natal, seperti kata Imam Ibnu Qayyim al-Jauzi adalah  ucapan selamat atas syiar atau simbol khusus bagi orang kafir yang secara tidak langsung sama halnya dengan ucapan selamat atas kesyirikan mereka kepada Alloh SWT yang haram diucapkan seorang muslim karena dosanya lebih besar menurut Alloh dan lebih dimurkai daripada ucapan selamat atas minum khomer, membunuh seseorang, perbuatan zina dan lain sebagainya. Dan apabila seseorang dalam keadaan terdesak dan terpaksa mengucapkan Tahni’ah agar terhindar dari bahaya dan keburukan yang dikhawatirkan dari orang kafir, maka hal itu tidaklah masalah asal dia tidak berkata selain kata yang mengandung doa agar mereka memperoleh taufiq dan jalan yang benar (Ahkam Ahl al-Dzimmah juz 1).

Selain dari sekian sudut pandang para ulama tersebut, mayoritas ulama lainnya juga senada dengan pendapat ini, yaitu tidak boleh ada muwafaqoh (penyesuaian), musyarokah (ikut serta), dan tasyabbuh (mengidentikkan diri) dari orang Islam atas hari raya non Islam yang memberi kesimpulan bahwa hukum mengucapkan selamat natal adalah haram. Apalagi jika ucapan tersebut disertai dengan tashdiq (membenarkan) dan kerelaan hati, maka bukan hanya haram melainkan sudah masuk ke ranah murtad yang bisa menghapus seluruh amal ibadah yang dilakukan selama bertahun-tahun lamanya. (Al-Mujaadilah 58:22).

Meski demikian, masalah ini tetaplah masalah ijtihadi yang tentunya ada beberapa ulama yang mengatakan boleh, karena menganggap ucapan tersebut termasuk bagian dari berbuat baik yang tidak ada larangan untuk dilakukan kepada non muslim yang tidak mengganggu dan tidak mengusik orang Islam dalam urusan agamanya (Al- Mumtahanah 60:8), terlebih bagi yang memiliki hak kekerabatan, tetangga, teman dan sebaginya. Dan selain itu, hal ini juga dianggap sudah menjadi ‘urf (tradisi) sebagai bentuk penghormatan dalam bermasyarakat dan menjaga kerukunan bersama saja dan tidak sampai pada batas mengakui apa yang dipercayai mereka.

Intinya, untuk menyikapi masalah yang bersifat ijtihadi seperti ini, sebaiknya kita bersikap ihtiyath (hati-hati) dalam mengambil keputusan, yaitu dengan cara mengikuti pendapat mayoritas ulama yang mengharamkan, selain karena kondisi dan adat kita yang belum tentu sesuai dengan fatwa ulama yang membolehkan tersebut, kita tidak boleh hanya sekedar ikut-ikutan tanpa adanya alasan yang dibenarkan apalagi untuk hal yang rawan merusak aqidah, baik bagi diri sendiri, lebih-lebih bagi orang lain yang mengikuti.

baca juga : pondok pesantren assirojiyyah terendam banjir

suasana santri saat banjir