Belakangan, berbagai perselisihan kerap dibesar-besarkan. Banyak fitnah dan perpecahan terjadi hanya karena mengejar kepentingan pribadi atau golongan sehingga seringkali persatuan dan persaudaraan disisihkan. Persatuan tidak mungkin dibangun di atas keseragaman, karena umat telah ditakdirkan beragam dan berbeda.
Ada dua dimensi yang penting untuk kita lihat. Pertama, akidah. Kalau kita yakin bahwa Alloh adalah Tuhan kita, kita yakin bahwa Muhammad adalah Nabi kita, dan kita percaya pada hari akhir, ini adalah dasar untuk kita membangun persatuan. Kalau kita sudah memiliki kesamaan tiga hal tadi, cukuplah menjadi alasan untuk kita bersatu.
Yang kedua, dari dimensi syari’ah. Apabila kita sama-sama melaksanakan salat, sama-sama menunaikan zakat, haji dan berpuasa, itu sudah menjadi alasan yang cukup bagi umat Islam untuk bersatu.
Sedangkan mengenai bagaimana salat itu dilaksanakan, bagaimana zakat itu ditunaikan, dan bagaimana manasik haji, tak dapat dipungkiri terdapat banyak perbedaan, terdapat banyak riwayat maupun perbedaan mazhab. Tetapi itu tidak menjadi alasan untuk kita bercerai, untuk kita berkonflik. Perbedaan pendapat adalah sebuah keharusan, tetapi dimensi akidah dan dimensi syari’ah cukuplah menjadi alasan bagi kita bersatu.
Bagaimana dengan non muslim?. Apakah kita boleh menjustifikasi pergaulan kita dengan mereka?. Alloh SWT berfirman di dalam Alquran ‘Laa yanhaakumullaahu ‘anil ladziina lam yuqaatiluukum fid diini wa lam yukhrijuukum min diyaarikum an tabarruuhum wa tuqsithuu ilaihim Innallaaha yuhibbul muqsithiin.’ (QS. Al Mumtahanah: 8). Alloh SWT tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada meraka, untuk berlaku adil kepada mereka yang tidak memerangi kamu dalam agama dan tidak mengusir kamu keluar dari negeri kamu. Jadi bersama non muslim kita harus toleran.
           Toleransi yang dimaksud adalah tidak perlu memaksakan diri atau memaksakan orang yang berbeda akidah dengan kita untuk percaya kepada agama kita. Begitu juga sebaliknya, tidak memaksakan diri untuk percaya kepada agama mereka. Kita tidak perlu toleransi secara teologis. Kita sebagai umat Islam yakin bahwa agama saya yang paling benar. Di sisi lain kita juga yakin bahwa ada saudara non muslim yang juga yakin dan percaya kepada agamanya sebagai agama yang otentik, genuine, yang mereka percaya. Kita hormati itu. Kita harus menghargai itu semua dan toleran hidup bersama di negara yang bernama Indonesia ini. Hal ini telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika Nabi membangun sebuah entitas politik di Madinah. Nabi bersama kaum musyrikin bahkan Yahudi, membangun sebuah perjanjian atau konstitusi, yang bernama konstitusi Madinah. Jika ditarik ke dalam kehidupan berbangsa di Indonesia, dijelaskan, negara kita telah dibangun oleh para Bapak Bangsa yang punya konstitusi bersama bernama Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ini adalah konstitusi yang tidak boleh kita langar.
Barang siapa yang melanggar konstitusi, Rasulullah mengatakan ‘Man qatala nafsan mu’aahadan bighairi hillihaa fa haraamun ‘alaihil jannah an yasyumma riihahaa’, barang siapa yang membunuh seseorang yang telah terikat dalam sebuah konstitusi, dalam sebuah perjanjian bersama tanpa alasan benar, maka haram baginya bau surga. (QS. Al Maidah: 32)
Artinya, kesepatakan konstitusi adalah kesepakatan bersama. Alquran menganjurkan dan mewajibkan kita untuk menaatinya. Itulah konsep toleransi di dalam Islam, yakni meyakini agama kita sebagai agama yang paling otentik, sambil tetap menghargai orang lain.
Kita juga harus yakin bahwa orang lain menghargai dan meyakini hal yang sama. Sehingga kehidupan bersama bisa kita jalankan di negara yang sangat diverse, multikultural dan sangat religius ini.
Baca Juga:
Berbondong-bondong, Santri Pontianak Pulang ke Kampung Halaman
Ada beberapa langkah untuk merawat persatuan di tengah gelombang perbedaan antara lain : Pertama, setiap Muslim memandang sesama Muslim saudara seiman. Karena itu perlu ada perlakuan khusus terhadap saudara seiman, dengan kejujuran dan solidaritas. Bukan membunuh, mencaci maki, atau tindakan merugikan lainnya. Cara pandang kita, walaupun beda organisasi harus dipandang dengan kasih sayang dan menjauhkan hal-hal yang menyebabkan perpecahan.
Kedua, sesama Muslim harus saling melindungi dan berkoordinasi. Rasa persaudaraan akan terjalin jika ada upaya untuk saling menolong, bukan sekedar berkumpul dalam organisasi tapi juga ada langkah kongkrit di tengah umat. Sebab tidak mungkin amar ma’ruf bisa dilakukan sendiri karena banyaknya problematika umat. Dengan ukhuwah ini kita dihadapkan pada realitas bahwa kalau tidak ada koordinasi, umat terpecah belah dan saudara kita lari manjauhi kita.
Ketiga, mengutamakan kehidupan berjamaah dan menjadikan organisasi sebagai alat untuk mencapai tujuan. Sebab menjadikan organisasi sebagai alat bisa menimbulkan sikap tasamuh (toleransi), bukan fanatik buta. Jadi organisasi adalah alat bukan tujuan. Ini perlu ada perubahan paradigma berpikir.
Keempat, setiap ormas harus saling memandang ormas lain sebagai mitra dan sahabat perjuangan untuk kepentingan umat. Misalnya dalam menghadapi kristenisasi dan gerakan madharat lainnya, antar umat Islam harus saling menguatkan dari berbagai sisi sesuai bidang dan keunggulan yang dimiliki. Kita harus mewariskan persatuan jangan mewariskan perpecahan.
Kelima, dalam kehidupan politik, setiap Muslim mengedepankan kepentingan bersama dan meletakkan kepentingan kelompok atau ormas, bisa dibayangkan kalau pemimpinnya tidak dari mayoritas. Harusnya kita saling mendukung dan mendorong karena di situ ukhuwah kita diuji.
Keenam, membangun ukhuwah Islamiyah dilakukan dengan cara bersilaturahim dengan orang yang akan terputus.
Ketujuh, setiap pemimpin dan ormas perlu menahan dalam perbedaan khilafiyah terutama di mimbar umat seperti khutbah Jumat.
Kedelapan, hubungan antarormas harus dilandasi dengan sikap khusnudzan dan pandangan positif untuk pembangunan umat.
Kesembilan, setiap amal harus dipandang sebagai upaya keseluruhan umat. Misalnya Muhamadiyah miliki rumah sakit standar internasional, atau NU mampu membangun perekonomian dengan konsep Baitul Mal wa Tamwil berbasis pesantren, semua itu adalah wujud kemenangan bersama. Wallahua’lam bishshawab.
Oleh : Drs. H Mahfudz Anwari, M. Pd.I