HUKUM HAJI ILEGAL SAH, TAPI CACAT?

Spread the love

Sumber foto: flickr.com/photos/shaykhgilles

Nahdlatul Ulama (NU) melalui Pengurus Besar Harian Syuriyah telah mengeluarkan keputusan penting terkait pelaksanaan ibadah haji dengan visa non-haji. Keputusan yang dihasilkan dari musyawarah pada 28 Mei 2024 di Jakarta ini menyatakan bahwa haji dengan visa non-haji atau tidak prosedural adalah sah, namun cacat, dan pelakunya berdosa.

Sah tapi Cacat: Mengapa Demikian?

Musyawarah yang dipimpin oleh Rais ‘Aam KH Miftachul Akhyar dan Katib Aam KH Ahmad Said Asrori ini dihadiri oleh sejumlah ulama terkemuka serta perwakilan dari Kementerian Agama RI. Keputusan ini didasarkan pada beberapa pertimbangan utama:

Pertama, syarat utama ibadah haji adalah istitha’ah (kemampuan), yang mencakup kemampuan materi, fisik, dan rasa aman. Aspek-aspek ini telah diatur oleh otoritas pelaksana haji, baik pemerintah asal maupun Arab Saudi, termasuk melalui pembatasan kuota haji.

Kedua, di Indonesia, hanya ada dua jenis visa haji yang legal sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 2019: visa haji kuota Indonesia (reguler dan khusus) dan visa haji mujamalah (undangan dari Kerajaan Arab Saudi atau haji furoda).

Ketiga, maraknya oknum yang menawarkan haji tanpa antre menggunakan visa non-haji seperti visa ziarah, ummal (pekerja), turis, atau umrah, adalah praktik haji non-prosedural karena di luar kuota resmi.

Keempat, banyak masyarakat tergiur haji non-prosedural ini sebagai solusi antrean panjang, namun seringkali mengabaikan risiko dan tidak memahami regulasi serta hak-hak perlindungan mereka sebagai WNI di luar negeri.

Kelima, jemaah haji non-prosedural ini menjadi masalah dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kehadiran mereka di Tanah Suci adalah ilegal dan tidak tercatat resmi. Mereka seringkali mencaplok tenda maktab jemaah haji resmi, yang dianggap sebagai bentuk kezaliman. Selain itu, jika terjadi masalah hukum, mereka akan merepotkan pemerintah Indonesia.

Pelanggaran Syariat dan Dampak Negatif

Menurut Pengurus Besar Harian Syuriyah NU, haji dengan visa non-haji tetap dianggap sah karena visa haji bukan merupakan syarat atau rukun haji. Namun, perbuatan tersebut menjadi cacat dan pelakunya berdosa karena melanggar beberapa hal:

Melanggar aturan syariat yang mewajibkan menaati perintah ulil amri (pemerintah) dan mematuhi perjanjian. NU berpegang pada firman Allah SWT, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَوْفُواْ بِٱلْعُقُودِ “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.” (QS. Al-Maidah/5:1)

Bertentangan dengan substansi syariat Islam. Praktik haji non-prosedural ini berpotensi membahayakan diri sendiri dan jemaah haji lainnya.

Selain mencaplok tempat yang disediakan untuk jemaah haji resmi, keberadaan haji ilegal juga memperparah kepadatan jemaah di Armuzna (Arafah, Muzdalifah, Mina) maupun di Makkah, yang dapat mempersempit ruang gerak jemaah haji resmi dan menimbulkan kemudaratan.

Sebagai rekomendasi, Pengurus Besar Harian Syuriyah NU mendesak pemerintah untuk mengupayakan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan haji non-prosedural. Sosialisasi regulasi tentang larangan haji non-prosedural secara optimal dipandang sebagai bentuk amar ma’ruf (menyeru kepada kebaikan) yang dianjurkan dalam Islam.

Dengan keputusan ini, NU berharap masyarakat dapat lebih memahami pentingnya mematuhi prosedur dalam beribadah haji demi kelancaran dan keberkahan ibadah itu sendiri, serta menghindari dampak negatif yang mungkin timbul.

Sumber: kemenag.go.id