Sumber foto: Pinterest
Kedamaian adalah hasrat universal setiap insan. Dalam berbagai ajaran spiritual, penyebaran kedamaian seringkali menjadi inti. Agama Islam, misalnya, mengajarkan umatnya untuk senantiasa menyebarkan harmoni, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui kebiasaan menebar salam kepada siapa pun yang ditemui, baik yang dikenal maupun tidak.
Islam menyediakan beragam jalan menuju kedamaian melalui mazhab-mazhabnya yang beragam. Meskipun memiliki pendekatan yang berbeda, fondasi setiap mazhab adalah prinsip perdamaian. Oleh karena itu, jika suatu mazhab condong pada kekerasan, dapat dipastikan bahwa ia tidak selaras dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Kedamaian adalah suatu keharusan dan cita-cita, berakar dari lubuk hati setiap individu. Sulit untuk menyalurkan kedamaian kepada orang lain jika hati sendiri belum tenteram.
Penting untuk disadari bahwa misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menghilangkan segala bentuk kekerasan, termasuk peperangan. Beliau mengajarkan umatnya untuk membenci konflik bersenjata. Dalam Al-Qur’an, kata “qital” (perang/membunuh) tidak selalu merujuk pada pertempuran fisik.
Sebagai contoh, dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 216 disebutkan: “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Ayat ini memang menyebutkan perintah untuk berperang, namun secara implisit menunjukkan keengganan umat Muslim terhadapnya. Semangat umat Nabi Muhammad SAW telah dilatih untuk mencintai perdamaian, sehingga ketika ayat ini turun, Allah menambahkan frasa “wa huwa kurhul lakum” (padahal itu adalah sesuatu yang kamu benci).
Ayat ini, meski membahas perang, sejatinya mengisyaratkan bahwa jiwa umat Islam telah dididik oleh Nabi untuk selalu enggan berperang. Seorang Muslim tidak diwajibkan untuk mengislamkan seluruh dunia melalui peperangan. Perang hanya dibenarkan untuk membela agama dan keyakinan demi mencapai kedamaian. Oleh karena itu, jika terjadi konflik antara umat Muslim dengan pihak lain dan ada tawaran perdamaian, umat Islam wajib menyambutnya.
Namun, Syekh Muhammad Abduh, seorang ulama Mesir abad ke-19, pernah menyatakan bahwa “al Islamu mahjubun bil muslimin” (Islam tertutup oleh umat Islam). Artinya, kemuliaan dan rahmat Islam kadang kala tertutupi oleh perilaku sebagian umat Islam sendiri yang cenderung radikal, keras, atau melampaui batas terhadap mereka yang berbeda pandangan.
Menurut Prof. Quraish Shihab, radikalisme dapat menghalangi datangnya rahmat Allah SWT kepada manusia. Reputasi Islam seringkali tercoreng oleh segelintir umatnya yang melakukan kekerasan atas nama agama. Terdapat kekeliruan pemahaman di masyarakat yang menggunakan dalil atau ayat Al-Qur’an secara parsial sebagai dasar tindakan kekerasan yang bertentangan dengan prinsip kedamaian. Contohnya adalah penafsiran sepotong ayat:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka…” (QS al-Fath:29)
Ayat ini sering dijadikan dalih oleh sebagian kelompok untuk membenarkan perilaku kekerasan mereka. Padahal, “keras” di sini memiliki tingkatan, dan tidak semua bentuk kekerasan harus dibalas dengan kekerasan pula. Sikap keras dapat diawali dengan menunjukkan ketidaksetujuan terhadap hal yang bertentangan dengan ajaran Islam, hingga tingkat tertinggi dengan melawan melalui cara-cara yang diizinkan agama.
Ayat terakhir Surat Al-Fath ini diturunkan dalam konteks Perjanjian Hudaibiyah. Oleh karena itu, untuk memahaminya secara utuh, penting untuk memahami keseluruhan konteks ayat-ayat sebelumnya serta memiliki pemahaman komprehensif tentang perjanjian tersebut.
Konteks ayat di atas adalah suasana ketegangan, bukan masa tenang atau damai. Oleh karena itu, menerapkan ayat tersebut dalam interaksi sosial kita sehari-hari saat ini tentu tidak tepat. Bahkan ketika ayat ini diturunkan, Rasulullah tidak bersikap keras sebagaimana yang sering disalahpahami. Justru, Rasulullah bersikap lunak terhadap kaum kafir dalam Perjanjian Hudaibiyah. Sikap lembut Rasulullah juga terlihat dalam peristiwa Fathu Makkah, di mana beliau bersikap sangat santun kepada penduduk Makkah, bahkan memberikan perlindungan kepada Abu Sufyan.
Maka dari itu, dalam memahami agama, kita tidak seharusnya hanya terpaku pada satu dalil atau ayat saja. Sebuah ayat dalam Al-Qur’an memiliki keterkaitan dengan ayat lainnya, dan sebuah tuntunan dalam satu ayat bisa jadi hanya bagian dari banyak tuntunan yang terdapat dalam ayat-ayat lain.
Sumber: Nu.online