Seorang pakar antropologi berkebangsaan Amerika, Clifford James Geertz, setelah banyak melakukan penelitian di Indonesia dan Maroko terkait dengan agama, ekonomi, struktur politik, kehidupan desa dan keluarga, akhirnya sampailah pada sebuah kesimpulan tentang masyarakat Indonesia yang multikultural berupa pemetaan komunitas yang secara sosiologis dibagi ke dalam tiga varian, yakni priayi, santri, dan abangan. Kelompok pertama, yakni priayi, secara sosiologis diposisikan sebagai kornunitas yang memiliki status sosial yang Iebih tinggi ketimbang yang Iain dengan berbagai karakternya yang spesifik Kelompok ini diasosiasikan sebagai kelompok ningrat yang dekat kekuasaan, terutama di era sebelum dan awal kemerdekaan
Sedangkan yang kedua, kelompok santri yang lekat dengan persepsi tentang ketaatan beragama. Kelompok ini jelas lahir dari komunitas pesantren yang dikenal dengan sebutan ulama. Di Indonesia. ulama dipandang sebagai komunitas yang memíliki otoritas keilmuan agama yang mumpuni. Secara sosiologis, mereka memiiki sebutan yang berbeda antara daerah yang satu dengan yang Iain. Di Jawa misalnya. mereka dipanggil Kiai. di Jawa Barat dikenal dengan sebutan Ajengan, di Lombok disebut Tuan Gurug di Sumatera Barat biasa dipanggil Buya, sedangkan di Aceh dikenal dengan sebutan Tengku. Mereka sebagai penyandang ahli agama, pada umumnya dituakan dan sangat dihormati. bahkan dijadikan rujukan utama (uswah) oleh kalangan masyarakat sekitar, terutama dalam kaitan dengan syariat Islam,
BACA JUGA: https://assirojiyyah.online/metode-akselerasi-kitab-ala-alfatih/
Tidak demikian dengan varian yang ketiga, yakni kelompok abangan dengan karakteristiknya yang jelas berbeda dengan dua varian yang Iain. Sesuai dengan status sosial yan dilekatkan kepadanya, secara sederhana kelompok ini disebut sebagai masyarakat yang pada umumnya dianggap tidak jelas ketaatannya dalam beragama. Bagi kelompok ini, predikat sebagai pemeluk agama hanyalah sebatas formalitas semata. Atau. katakan saja, iika seseorang di antara mereka memeluk Islam misalnya, ia dijuluki sebagai Muslim KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Dilihat dari aspek perannya di tengah masyarakat. ketiganya tentu menyandang peran yang berbeda, Khusus untuk peran kelompok santri. peran sentralnya adalah sebagai pengawal agama (pendakwah-ulama-da’i-ustadz) dalam kapasitasnya sebagai pewaris para nabi, sehingga wajib bagi mereka untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat luas. Metode (thoriqoh) yang digunakan jelas bervariasi, baik dalam bentuk pendidikan formal maupun nonformal. Dalam bentuk formal, para santri yang menyandang gelar sebagai ustadz (kiai) tidaklah jarang yang mendirikan pondok pesantren (salafi atau khalafi) dengan sistem persekolahan dari tingkat SD (ibtidaiyyah) sampai dengan perguruan tinggi. Bahkan, tidak sedikit sebagian dari mereka yang hanya menyandang sebagai juru dakwah semata di tengah masyarakat tanpa membangun pesantren sebagaimana kiai yang lain.
Secara sunnatulloh, zaman terus bergulir, seirama dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (lptek) yang diikuti pula dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat. Bahkan perkembangan Iptek saat ini telah masuk ke dalam fase atau era revolusi industry 4.0 yang populer pula dengan julukan era digital yang banyak menekankan pada aspek knowledge dan skill. Tidak sebagimana era industri yang akan datang yakni era 5.0 yang agaknya juga menekankan pula pada aspek nilai humanisme dan spiritualisme yang tidak menjadl ciri dominan sebelumnya.
Teknologi digital bagaimanapun telah hanyak menghjpnotis sikap dan perilaku manusia yang menuntut segala aspek kehidupan harus dapat dilaksanakan dengan cepat. Tepat dan terukur tanpa kecuali dalam dunia pendidikan umum. Oleh sebab itu dakwab Islam yang merupakan bagian dari pelaksanaan pendidikan yang sangat dibutuhkan masyarakat bagaimanapun tidak boleh mengabaikan peran tehnologi digital yang sedemikian urgen dan signifikan Artinya, demi suksesnya aksi dakwah yang dijalankan kaum santri di era digital saat ini belumlah cukup memadai apabila hanya mengandalkan kelebihan dan kekurangan metode konvensional Yang selama ini digunakan.
Atau dengan kata Iain. agar pelaksanaan dakwah yang dilakukan jauh lebih maksimal dan cepat dengan daya jangkau yang sedemikjan Iuas dan cepat, ke depan bagaimanapun penggunaan teknologi digital perlu menjadi keniscayaan Yang harus dikuasai oleh para santri. Dalam kenyataan, sejatinya tidaklah sedikit media sosial (Medsos) yang berbasis teknologi yang dapat digunakan para juru dakwah seperti WA. Instagram, Twitter, Facebook dan Iain sebagainya. Tentu hal ini merupakan tantangan, sekaligus peluang bagi para santri dalam melakukan dakwah di tengah masyarakat luas dengan hasil yang maksimal dan daya jangkau yang hampir tanpa batas. Justru karena itu, dalam menjalankan peran sentralnya bagaimanapun para santri harus memiliki kekuatan dan penguasaan literasi di bidang teknologi digital, jika tidak, maka pelaksanaan dakwah yang dilakukan hanya akan jalan di tempat.
Demikian, semoga bermanfaat Wallohua’lam bishshowab.
Malang, 02-02-2020