Oleh: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Djakfar, S.H., M.Ag
Tanpa terasa, dunia telah memasuki tahun kedua berkubang dalam suasana covid-19 yang sedemikian mencekam karena telah merobek-robek sendi kehidupan manusia skala global dalam multidimensi. Kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, agama dan lain sebagainya, semuanya berjalan dalam tatanan yang tidak lagi normal sebagaimana biasanya. Ritual agama misalnya, dibatasi dengan aturan protokol kesehatan, terutama di tempat-tempat ibadah sebagai pusat ibadah umat Islam dalam meleksanakan kewajibannya.
Demikian pula dalam tatanan sosial keagamaan, kegiatan silaturahmi yang sangat dianjurkan dalam Islam mulai dibatasi pula dengan alasan menghindari penularan antarpersonal. Terlebih lagi dalam masalah ekonomi yang secara langsung menyentuh kehidupan vital sehari-hari telah sedemikian menyengsarakan masyarakat luas, terutama di kalangan masyarakat kelas bawah. Mereka sejatinya menjerit dalam mempertahankan hidup minimal yang layak, kerena bantuan pemerintah dalam bentuk bensos itupun terbatas dan rasanya tidaklah mungkin terus berkelanjutan.
Dampak-dampak lain yang tidak kalah seriusnya menggerus harapan masyarakat banyak adalah dunia pendidikan yang dalam berbagai aspek telah banyak melahirkan masalah baru. Deretan anak putus sekolah kian panjang, semangat belajar kian menurun, kualitas pembelajaran dengan sistem daring masih dipertanyakan efektivitasnya dalam mencetak output yang berkualitas sesuai yang diidealkan. Tentu masih banyak lagi efek ikutan dari pandemi covid-19 yang menjadi musuh bersama.
Namun demikian di tengah ketidakpastian itu dalam setiap memasuki bulan Rabiul Awwal umat Islam, sebagaimana biasanya, melaksanakan acara Maulid, sebuah perhelatan tahunan sebagai ekspresi penghormatan kepada baginda Nabi Besar kita Muhammad SAW. Kendati sampai saat ini masih ada komunitas muslim yang berprinsip bahwa acara Maulid adalah perbuatan bid’ah karena tidak ada tuntunan langsung dari Nabi SAW, maupun para sahabat beliau. Bahkan menurut keyakinan mereka tidak pula dilakukan oleh para tabi’in sekalipun. Masih menurut mereka, bahwasanya Rosululloh SAW menghormati hari kelahirannya diekspresikan dalam bentuk puasa setiap hari Senin.
Tidaklah demikian bagi komunitas muslim yang setuju dengan acara Maulid yang seolah-olah sunah mu’akkadah hukumnya. Artinya, jika sekiranya tidak melaksanakan acara peringatan Maulid bagi mereka rasanya ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Bukankah menaati ajaran syariat itu wajib hukumnya yang diturunkan oleh Alloh SWT melalui Rosul pilihannya, yakni Muhammad saw. Sebab itu bagi komunitas ini menghormati kelahirannya adalah merupakan salah satu wujud rasa cinta dan terima kasih kepada beliau yang telah banyak berjasa dalam mengajarkan agama tauhid yang menuntun manusia meraih kebahagiaan dan keselamatan, tidak saja di dunia, bahkan juga di akhirat kelak.
Bukankah acara Maulid itu intinya mendoakan baginda Rosululloh SAW dengan melantunkan bacaan shalawat sebagaimana yang diajarkan langsung oleh Alloh SWT. Betapa strategisnya fungsi shalawat bagi umat Islam dalam melaksanakan ibadah apa pun kepada Alloh SWT. Dalam shalat misalnya, kita wajib membaca shalawat, sebagaimana juga dalam khutbah. Demikian pula dalam doa, agar mustajabah, kita tidak boleh meninggalkaan bacaan shalawat dan lain sebagainya. Lebih dari itu Islam mengajarkan, bahwasanya dalam melaksanakan ibadah, bisa jadi pelakunya tidak mendapatkan pahala apa pun karena tidak memenuhi ketentuan syariat. Namun dalam membaca shalawat, kita akan selalu mendapat pahala karena berkat doa baginda Nabi atas siapa pun yang bershalawat.
Inilah sejatinya keistimewaan bacaan shalawat bagi umat Islam sehingga acara Maulid pada hakikatnya merupakan salah satu intermediasi antara manusia dengan baginda Rosululloh SAW dengan bacaaan shalawat yang pahanya diharapkan akan diperoleh siapa pun yang melaksanakannya. Sebab itu, jika acara Maulid dikatakan bid’ah, bukankah acara ini termasuk bid’ah hasanah karena dalam pelaksanaannya banyak melantunkan bacaan shalawat yang diajarkan dalam syariat.
Untuk itu terus menyoal hukum acara Maulid di tengah kian maraknya Islamofobia dalam skala global saat ini, kiranya akan semakin memperlemah ukhuwah Islamiyah yang tidak produktif. Hanya saja bagi siapa pun yang akan melaksanakan acara Maulid di tengah himpitan ekonomi saat ini sebagai dampak dari covid-19 perlu mengedepankan pesan al-Quran yang melarang adanya praktik israf dan mubadzir dalam banyak hal. Selain juga dalam pelaksanaannya tetap harus memperhatikan protokol kesehatan demi keselamatan bersama.
Semoga acara Maulid yang kita laksanakan tahun ini, kendati sederhana apa adanya, akan tetap banyak memberi pelajaran dan hikmah. Antara lain tetap terpeliharanya spirit kecintaan kita kepada baginda Rosululloh SAW agar kita kelak di akhirat dapat memetik syafaat dari beliau sebagai tiket menghuni jannatun na’im yang dijanjikan oleh Alloh SWT. Amin.
Wallahu ‘alam bishshawab
Malang, 10 September 2021