Oleh: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag
Term keragaman atau kebhinekaan sebagaimana yang dialami oleh bangsa Indonesia, kiranya merupakan sebuah keniscayaan yang tidak mungkin dipungkiri. Atau menurut al-Quran merupakan takdir atau sunnatulloh yang harus diakui dan diterima apa adanya sebagaimana dalam Surat al-Hujuraat, 46:13, yang pada dasarnya Alloh menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal antara yang satu dengan yang lain.
Indonesia adalah sebuah negara besar yang dihuni oleh sekitar 270,35 juta populasi di akhir tahun 2020. Atau jumlah penduduk keempat terbesar di dunia setelah Cina, India dan Amerika. Sebagai sebuah negara besar, bangsa Indonesia memiliki sebuah slogan “Bhinneka Tunggal Ika,” bercerai-berai namun satu. Beragam, namun tetap satu wadah sebagai bangsa yang hidup di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keragaman itu ditandai dengan banyaknya suku (etnis), pulau, adat-istiadat, agama, kearifan lokal, aneka ragam hayati (sumber daya alam) dan lain sebagainya. Kesemuanya ini, selain sebagai potensi atau anugerah, sekaligus juga merupakan faktor yang dapat memantik perpecahan yang dapat mengancam disintegrasi bangsa.
Karena itu, untuk merawat keragaman dalam konteks berbangsa dan bernegara, kiranya kita perlu belajar dari Piagam Madinah yang dikonstruks oleh Rasulullah SAW dalam kapasitasnya, tidak saja sebagai seorang Nabi dan Rosul, namun sekaligus juga sebagai kepala pemerintahan. Paling tidak, ada tiga komunitas yang mengikatkan diri dalam dalam piagam ini, yakni kaum Muhajirin, Anshar (Muslimin Madinah), dan Yahudi dengan beragam bani-nya. Piagam yang terdiri dari 47 pasal ini diakui sebagai konstitusi pertama di dunia yang dalam pelaksanaannya meliputi pembinaan persatuan dan kesamaan, pembinaan keamanan, hukum, kebebasan beragama, kedamaian, sanksi, perluasan wilayah dan perang. Inilah kontens konstitusi yang dijadikan blueprint oleh Rosululloh SAW sehingga sukses membangunan negara Madinah yang dapat pengakuan atau pujian dari para orientalis di era modern ini seperti Montgomery Watt dan Philip K. Hitti.
Di Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan slogan sebagaimana di atas, dalam kaitan dengan kehidupan beragama misalnya, dirajutlah tiga konsep kerukunan, yakni: intern umat beragama, antarumat beragama, dan antara umat beragama dengan pemerintah. Konsep kerukunan inilah yang akhirnya dijadikan pedoman (guideline) hubungan antarpemeluk agama di Indonesia yang meliputi Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Chu. Dan dengan adanya trikerukunan inilah diharapkan antarpemeluk agama di Indonesia saling menghormati, saling menghargai, dan saling toleran (tatsamuh). Dan sebagai konsekuensi lebih jauh, antarmereka harus memiliki sikap “setuju dalam perbedaan,” kebebasan pemeluk satu agama, dibatasi oleh kebebasan pemeuk agama lain dalam mengekspresikan keyakinan masing-masing. Dalam arti, bagaimanapun para pemeluk agama harus menghargai eksistensi keyakinan pemeluk agama lain. Sebab itu wujud pengakuan eksistensi, adanya sikap toleransi dan saling menghormati itu di negara kita setiap momen peringatan hari besar keagamaan agama tertentu, disepakati sebagai hari libur nasional. Inilah salah satu gambaran bangsa Indonesia yang dihuni oleh beragam pemeluk keyakinan agama yang tidak ditemukan di negara manapun di dunia. Di samping