Terdapat dua kata kunci (entitas) dalam rumusan tema wacana singkat ini, yakni ekosistem dan Islam. Pertanyaannya adalah adakah relasi antara keduanya, atau justru saling berseberangan?. Islam adalah sebuah agama langit (ad-Dien) dari Alloh SWT yang diturunkan kepada Rosululloh SAW melalui Malaikat Jibril AS dengan sumber primernya adalah Alquran dan hadis. Islam adalah agama yang komprehensif (holistik-syamil) yang mencakup berbagai petunjuk dan ajaran segala aspek kehidupan, tanpa kecuali terkait dengan masalah pengaturan ekosistem yang sangat urgen bagi kehidupan makhluk hidup, terutama manusia.
Dengan begitu, ekosistem merupakan bagian dari ajaran Islam yang wajib dipahami dan dirawat demi kesejahateraan seluruh makhluk hidup sejagat, terutama umat manusia sendiri. Betapa pentingnya memelihara ekosistem menurut Islam, sehingga ajaran maqashid al-syariah belumlah dianggap memadai hanya melindungi lima perkara, yakni agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Namun akhir-akhir ini muncul aspek yang keenam yakni melindungi lingkungan (hifdzul bi’ah). Untuk itu dalam kaitan ini dalam sebuah kitab Nazharatu Ila Talawwautsi ‘I-Bi’ah karya Abdul Hadi Ali an-Najjar, ditegaskan bahwasanya lingkungan hidup adalah salah satu nikmat Alloh sehingga patut disyukuri oleh manusia.
Inti permasalahan ekosistem (baca: lingkungan hidup) adalah relasi makhluk hidup, khususnya manusia, dengan lingkungan hidupnya. Ilmu terkait hubungn timbal balik makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya disebut ekologi. Karenanya, permasalahan lingkungan hidup pada hakikatnya adalah permasalahan ekosistem dan bagaimana cara merawatnya. Dalam hal ini dapat dikemukakan hadis Thabrani yang menegaskan “Jagalah kebersihan, karena kebersihan adalah sebagian dari iman.” Hadis lain riwayat Ahmad lebih jelas lagi yang menyatakan “Kebersihan alam akan menjernihkan pandangan. Ada tiga hal yang dapat menjernihkan pandangan, yaitu menyaksikan pemandangan yang hijau lagi asri, pada air yang mengalir, dan pada wajah yang rupawan.”
Masalah lingkungan di era global yang ditandai dengan semakin massifnya industrialisasi merupakan bagian dari masalah global yang tidak cukup hanya ditanggulangi oleh sebagian kecil negara di dunia. Namun merupakan masalah bersama, terutama negara-negara industri maju yang jelas banyak memperparah pencemaran baik di darat, di laut, bahkan di udara. Karena bagaimanapun, ada korelasi antara kemajuan industri dengan masalah ekosistem, sehingga semakin maju industri dengan segala variannya, maka berkecenderungan akan semakin mengancam kelestrian lingkungan. Bukankah industri besar tidaklah sedikit membutuhakn bahan baku alam yang terbatas yang pada gulirannya akan mengganggu ekosistem alam semesta. Belum lagi terkait dengan masalah pembuangan limbah produksi (residu-polutan), baik berupa benda padat, cair dan udara yang kesemuanya itu akan kian memperparah pencemaran di berbagai belahan bumi.
Baca Juga:
260 Rombongan Santri Asal Pontianak, Pulang Menuju Kampung Halaman
Selain itu, dalam kaitan dengan produk-produk industri yang dihasilkan, baik dalam skala kecil maupun menengah, terlebih lagi industri besar yang produk dan kemasannya berbahan plastik, kemudian sampahnya dibuang dalam bentuk sampah plastik, konon baru lapuk atau terurai sekitar 500 tahun. Karena itu jika saat ini berbagai negara secara global mencanangkan dunia sebagai “era darurat plastik” sangatlah logis sekali. Terutama negara Indonesia yang ditengarai sebagai sebuah negara penyumbang sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah negara Tiongkok. Sebab itu, sebagai konsekuensinya, dengan kemajuan industrialisasinya, negara Tiongkok (Cina) harus menebus mahal yang harus ditanggung oleh penduduknya sendiri. Yakni di awal abad 21 ini akibat polusi yang terjadi menyebabkan 750.000 bayi lahir prematur.
Dengan belajar dari kasus di atas, nampaknya pengembangan industri dengan pola lama telah menyebabkan terkikisnya sumber daya alam yang mengakibatkan rusaknya ekosistem. Dalam arti, kehidupan manusia di jagad bumi yang saat ini populasinya sudah lebih dari tujuh miiiar jiwa dalam bahaya besar. Adapun jalan keluarnya, bagaimanapun kita harus membenahi dan merawat ekosistem yang ada di sekeliling kita di seluruh belahan dunia.
Strategi paling ampuh jika kita mau menangkap dari esensi kedua hadis di atas. Pertama, menjaga kebersihan di bumi tempat kita hidup dan berpijak, maupun di sungai dan lautan sandaran kita memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bahkan juga udara yang kita hirup, bagaimanapun harus steril dari segala macam limbah yang dapat mengusik kehidupan makhluk hidup secara keseluruhan. Kedua, memelihara segala sumber daya alam yang ada, antara lain melestarikan hutan dengan banyak menanam berbagai jenis pepohonan agar pemanasan global dapat dikendalikan. Bukanlah sebaiknya, justru menggunduli hutan yang ada yang menyebabkan terjadinya bencana di berbagai kawasan. Bukankah dengan terpenuhinya poin satu dan dua tersebut, planet bumi kita ini ini akan nampak kian indah dan cantik rupawan yang akan membuat betah manusia hidup sebagai penghuni utamanya.
Untuk itu dalam kaitan dengan pelestarian ekosistem ini ulama besar Yusuf Qardhawi (alm) dalam kitabnya Dawrul Qiyam wal Akhlaq fil Iqtishadil Islami menyitir Alquran dan hadis Rosululloh SAW yang pada intinya menegaskan bahwa menyianyiakan kekayaan pertanian dan peternakan termasuk perbuatan syirik (baca: al-An’am, 138 dan Yunus, 59). Selain itu, ancaman bagi pembunuh burung secara sia-sia (HR. Nasa’i), dan bagi pemotong pohon bidara akan masuk neraka (HR. Abu Daud).
Inilah sekadar wacana, bagaimana merawat ekosistem menurut pandangan Islam yang saat ini menjadi masalah serius masyarakat global agar dijadikan renungan bersama. Semoga bermanfaat. Wallahu ‘alam bishshawab. (Oleh: Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Djakfar, S.H.,M.Ag)
Malang, 15 Januari 2023