Oleh: KH. M. Itqon Bushiri (Ketua Tanfidziyyah PCNU Sampang)
Corona atau covid-19 menjadi bahasa populer yang sangat lama. Kalau di awal pandemic, istilah-istilah corona diplesetkan dengan arti yang lucu-lucu bahkan menjengkelkan masih tidak mampu menaikkan rating. Mukidi jadi peloncoan tapi tidak berlangsung lama. Tarik sis semongko habis juga, masuk Pak Eko sudah jarang kita dengar. Tapi Corona tidak pernah habis. Berharap corona cepat selesai karena malas bermasker. Berharap corona minggat karena ekonomi semakin menjepit, malah menambah daftar orang yang meninggal.
Bulan Maulid adalah peringatan yang luar biasa dan spektakuler. Dari masjid-masjid, musholla-musholla, sekolah-sekolah, dan rumah-rumah penduduk semua merayakannya.
Kadang terharu dan berlinang air mata, pujian untuk Rosulullah dibacakan. Kerinduan yang tidak pernah bertegur sapa, tapi cerita orang tua kita mendengar kecintaan, dan riwayat hidup Nabi. Orang tua mengajarkan kita untuk selalu merayakan peringatan kelahirannya.
Setiap bersholawat, dibaca sendiri sangat berbeda dengan sholawatan bersama. Karena di saat sholawat berkumandang, semua telinga mendengar agar tidak salah menjawab, bahkan lidah menjawab lembut bersama-sama.
Namun di tahun ini, sepertinya agak sedikit berbeda, dan harus berbeda. Baik jumlah tamu, hidangan berkurang dan waktu dibuat pendek. Ini semua harus dilakukan, sebab semua harus berubah.
Mengapa semua dikatakan dengan kata 𝙃𝘼𝙍𝙐𝙎?, sebab tidak ada kewajiban mengundang semua orang yang kita kenal. Tetangga jauh tidak diundang tidak akan tersinggung. Hidangan dengan jumlah kecil tidak akan mengurangi niat. Syaroful Anam dibaca ringkas juga tidak mengurangi keindahan Maulid. Pandemi covid-19 inilah alasannya.
Sebut saja orang miskin bernama Mukidi. Rumah agak tua, terbuat dari kayu, tembok retak-retak, lantai tanah. Mukidi bersikukuh untuk menyelenggarakan maulid di rumahnya. Padahal pekerjaan Mukidi serabutan, tidak tahu bagaimana mempersiapkan dana untuk mengundang tetangga.
Contoh kasus ini berpulang kepada niat. Kalau niat karena malu kepada tetangga tidak melaksanakan peringatan Maulid. Hal ini melanggar aturan Alloh Subhanahu wata’ala. Dalam surat an-Nisa ayat 38.
“Dan (juga) orang-orang yang menginfakkan hartanya karena riya dan kepada orang lain (ingin dilihat dan dipuji), dan orang-orang yang tidak beriman kepada Alloh dan kepada hari kemudian. Barangsiapa menjadikan setan sebagai temannya, maka (ketahuilah) dia (setan itu) adalah teman yang sangat jahat”.
Bersaing dalam kebaikan adalah anjuran agama, tapi bersaing tidak sehat menjadi larangan Islam. Rasululloh shallallohu alaihi wa sallam bersabda: “Makanlah, minumlah, berpakaianlah, dan bersedekahlah tanpa berlebihan dan sikap sombong.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Jujur dengan apa yang kita miliki adalah anjuran Maha Mulia. Jujur dalam kemampuan dan jujur dalam keterbatasan dalam hal apapun Alloh Subhanahu wata’ala menggantikan dengan yang lebih baik. Tidak usah memaksa seperti berhutang di luar batas kemampuan. Dalam Firman Alloh Subhanahu wata’ala surat al-Qasas ayat 77:
“Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Alloh telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.”
Patut bersyukur kepada Alloh Subhanahu wata’ala, sebab kita mendapatkan anugerah seorang Nabi dan Rosul yang Alloh pilih menjadi kekasih-Nya, dan dianugerahi guru-guru yang membimbing kita untuk bertawassul kepada Nabi, agar dimudahkan dalam urusan dunia dan akhirat. Semoga istiqomah dalam bermaulid. Alloh Subhanahu wata’ala melindungi kita, menyelamatkan kita dalam segala mara bahaya, baik musibah dan wabah. Apabila ada niat kita yang salah, Alloh Subhanahu wata’ala alihkan menjadi ampunan. Disadari atau tidak, terkadang niat kita masuk angin, artinya bukan semata-mata karena mencintai kekasih-Nya. Wallohu a’lam.