NIKMAT YANG DERAS, SYUKUR YANG IKHLAS

Spread the love

Oleh: Khotimul Alhariz

Berbicara tentang nikmat yang Alloh SWT berikan kepada manusia adalah seperti membicarakan sesuatu yang tiada ujungnya. Setiap hela napas, setiap detak jantung, bahkan setiap getaran kecil dalam kehidupan ini adalah bagian dari karunia yang terus mengalir dari-Nya. Tidak ada satu detik pun dalam hidup manusia yang luput dari perhatian dan pemberian-Nya. Namun, justru karena nikmat itu begitu banyak dan melekat dalam keseharian, manusia sering lalai, bahkan lupa mensyukurinya.

Al-Qur’an telah menggambarkan betapa besarnya nikmat Alloh dengan kalimat yang ringkas namun penuh makna:

“Jika kalian menghitung nikmat Alloh, niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, Alloh benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

(QS An-Nahl: 18)

Ayat ini tidak sekadar menggambarkan ketidakmampuan manusia dalam berhitung, tapi lebih jauh, menunjukkan bahwa karunia Alloh tidak terbatas baik dalam jumlah maupun bentuknya. Bahkan, ketika manusia mencoba mengenali nikmat satu per satu, tetap saja akan ada banyak nikmat lain yang luput dari perhatiannya.

Menggali Makna Nikmat dalam Pandangan Ulama

Imam Fakhruddin ar-Razi dalam kitab tafsirnya yang monumental, Mafâtîhul Ghaib, menjelaskan bahwa manusia tidak akan mampu menghitung nikmat Alloh karena begitu banyaknya bentuk manfaat yang dirasakan oleh tubuh dan kehidupannya. Setiap organ tubuh memiliki perannya sendiri yang mendatangkan kenyamanan, kemudahan, dan perlindungan dari berbagai keburukan. Bahkan sesuatu yang tampak sepele seperti detak jantung atau sistem pernapasan yang bekerja otomatis—semuanya adalah nikmat.

Beliau mengatakan bahwa semua ciptaan Alloh sejatinya adalah nikmat bagi hamba-Nya. Kenikmatan bukan hanya terbatas pada hal-hal yang menyenangkan, tapi juga pada hal-hal yang membantu seseorang menjauhi maksiat dan mendekat pada ketaatan. Artinya, nikmat itu bukan hanya bentuk “pemberian yang enak”, tetapi bisa juga dalam bentuk kondisi yang membimbing seseorang untuk kembali kepada-Nya.

Dalam pandangan Syekh al-Khazin, nikmat terbagi ke dalam banyak jenis: ada nikmat dunia dan nikmat agama, nikmat lahir (yang terlihat) dan nikmat batin (yang tersembunyi), nikmat yang bersifat fisik dan yang bersifat spiritual. Salah satu bentuk nikmat yang sering kali dilupakan adalah nikmat dijauhkan dari dosa dan maksiat. Sebab, dalam situasi tertentu, seseorang bisa saja melakukan pelanggaran, namun Alloh menjaganya dari perbuatan itu. Itulah bentuk nikmat yang sunyi—yang tak terlihat tapi sangat besar nilainya.

Ketika seseorang mencoba menghitung satu jenis nikmat saja, seperti nikmat penglihatan, maka akan muncul ratusan turunan nikmat lainnya. Mulai dari kemampuan melihat warna, bentuk, membaca, hingga menikmati pemandangan. Maka wajar jika manusia benar-benar tidak mampu menghitung secara detail seluruh nikmat yang ia rasakan.Akal yang Terbatas dan Nikmat yang Melimpah

Syekh Nawawi al-Bantani, salah satu ulama besar Nusantara yang diakui dunia, memiliki pandangan menarik tentang ayat ini. Beliau menegaskan bahwa yang dimaksud dengan “tidak mampu menghitung” bukan berarti manusia tidak bisa mengenali nikmat sama sekali, melainkan tidak bisa menguasai semuanya secara menyeluruh dan sempurna. Banyak nikmat yang diketahui manusia, namun lebih banyak lagi yang tersembunyi atau bahkan tidak disadari.

Misalnya, dalam kondisi sakit, manusia sering kali hanya berfokus pada rasa sakit dan berharap kesembuhan. Namun ia tidak mengetahui bagian mana yang rusak, bagaimana mekanisme penyembuhannya, dan apa yang sebenarnya terjadi di dalam tubuhnya. Ketika sembuh, ia merasa lega—tapi sering lupa bahwa kesembuhan itu juga nikmat yang besar. Bahkan sering kali kita menganggap sembuh itu “normal”, padahal itu adalah bagian dari kuasa Alloh yang luar biasa.

Syekh Nawawi mengingatkan bahwa manusia tidak mampu bersyukur secara sempurna karena keterbatasan pengetahuannya. Namun Alloh tetap Maha Pengampun atas kekurangan hamba-Nya dalam bersyukur. Di sinilah letak kasih sayang Alloh: Ia tetap memberikan ampunan meski kita lalai dalam mengenali dan mensyukuri karunia-Nya.

Mensyukuri Nikmat: Kewajiban Setiap Hamba

Dengan nikmat sebanyak itu, lalu bagaimana caranya manusia bersyukur? Dalam Al-Qur’an, Alloh memberikan pedoman yang sangat jelas:

“Maka ingatlah kalian kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepada kalian. Bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kalian mengingkari-Ku.”

(QS Al-Baqarah: 152)

Sayyid Muhammad Ali Thanthawi menafsirkan bahwa meskipun manusia tidak mampu menghitung semua nikmat, bukan berarti kewajiban bersyukur menjadi gugur. Ia berkata bahwa syukur harus dilakukan sesuai kemampuan, dan disertai dengan keikhlasan dalam beribadah kepada Alloh.

Syekh Nawawi juga menambahkan bahwa syukur dapat dilakukan dalam dua bentuk: secara global dan secara terperinci. Jika seseorang lupa atau lalai terhadap sebagian nikmat, maka Alloh tetap memberikan pengampunan karena manusia memang makhluk yang terbatas.

Lebih jauh lagi, Syekh Abu Muhammad al-Husaini al-Baghawi menggarisbawahi bahwa syukur sejati bukan hanya di lisan, melainkan diwujudkan dalam tindakan. Menurutnya, seseorang dikatakan bersyukur apabila ia menaati perintah Alloh. Sebaliknya, orang yang bermaksiat termasuk golongan yang mengingkari nikmat.

“Bersyukurlah kepada-Ku dengan melakukan ketaatan, dan janganlah kalian kufur kepada-Ku dengan berbuat maksiat.”

(Tafsîr al-Baghawi, juz I: 168)Bersyukur: Antara Kesadaran dan Aksi Nyata

Dalam kehidupan sehari-hari, bersyukur tidak harus menunggu sesuatu yang besar. Bahkan hal-hal sederhana yang kita alami setiap hari seperti bisa bangun pagi dengan tubuh sehat, bisa makan dengan tenang, bisa salat dengan khusyuk—semua itu adalah nikmat. Maka bentuk syukur bisa dimulai dari kesadaran kecil, yang terus dikembangkan menjadi amal nyata.

Sebagai contoh, saat seseorang mendapatkan ilmu baru yang bermanfaat, bentuk syukurnya adalah dengan mengamalkan dan menyebarkan ilmu itu. Saat seseorang diberi harta, bentuk syukurnya adalah dengan berbagi dan menunaikan zakat. Saat seseorang diberi waktu luang, bentuk syukurnya adalah dengan mengisinya dengan ibadah atau kegiatan positif. Syukur sejati adalah menggunakan nikmat dalam jalan yang diridhai-Nya.

Penutup: Dua Pilar Syukur

Dari semua penjelasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bentuk syukur terhadap nikmat Alloh dapat dilakukan dalam dua cara utama:

Syukur secara hati dan lisan, yakni dengan menyadari, mengakui, dan memuji Alloh atas segala nikmat yang diberikan. Termasuk di dalamnya nikmat iman, Islam, kesehatan, keluarga, ilmu, dan waktu yang bermanfaat.

Syukur secara amal, yaitu dengan menggunakan seluruh nikmat tersebut dalam rangka ketaatan kepada Alloh. Penglihatan digunakan untuk membaca Al-Qur’an, lisan digunakan untuk berzikir, kaki melangkah ke tempat kebaikan, dan hati diisi dengan keikhlasan.

Syukur bukan hanya tentang berkata “Alhamdulillah”, tapi juga bagaimana kita memperlakukan nikmat itu sesuai dengan kehendak Sang Pemberi. Maka siapa pun yang hidup dengan kesadaran akan nikmat, dan menggunakannya untuk ketaatan, berarti ia telah bersyukur dengan sebenar-benarnya.

Wallâhu a’lam bish-shawâb.