Santri adalah sebutan untuk individu yang mendalami ilmu agama Islam, baik di pesantren tradisional maupun dalam konteks modern yang lebih luas. Jauh dari hingar-bingar panggung politik, peran dan kontribusi mereka telah terukir menjadi sejarah peradaban bangsa. Kini, di tengah zaman serba digital, para pewaris ulama ini diintegrasi sebagai budak dari kiainya. Lantas, benarkah sosok santri berperan sebagai budak pada para kiai?
Akhir-akhir ini, media sosial ramai memperbincangkan narasi menyesatkan yang menyebut santri sebagai budak dan Kiai sebagai pihak yang memperbudak. Tuduhan ini muncul dari ketidakpahaman mendalam terhadap tradisi luhur pesantren, khususnya konsep pengabdian, kesetiaan, dan khidmah. Khidmah atau pengabdian kepada guru bukanlah perbudakan, melainkan sebuah jalan suci yang ditempuh santri untuk mendapatkan keberkahan ilmu dan meneladani akhlak mulia.
Santri adalah thalib al-‘ilm, yakni para penuntut ilmu yang beriman. Relasi antara Kiai dan santri adalah ikatan sakral antara guru dan murid, dilandasi rasa hormat dan cinta bukan perhambaan. Perbudakan merendahkan martabat manusia, sedangkan tradisi santri justru mengangkatnya.
Konsep ini selaras dengan ajaran fundamental dalam Islam. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Mujadalah ayat 11, Allah SWT berfirman: Yang artinya: “Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Ayat ini secara jelas menegaskan bahwa Alloh SWT mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu ke tempat yang tinggi. Santri sebagai insan beriman yang sedang menuntut ilmu, secara visual memiliki derajat yang dimuliakan.
Kesimpulannya, Santri memiliki derajat mulia sebagai pencari ilmu, sementara budak tidak memiliki derajat sosial. Khidmah santri adalah bentuk penghormatan dan ikhtiar meraih keberkahan, sementara budak tunduk karena paksaan dan kepemilikan. Santri mengabdi untuk gurunya demi ilmu dan akhlak, budak tunduk pada gustinya karena status kepemilikan. Santri adalah aset peradaban, bukan objek perbudakan.
Oleh: Abd. Ghoni KPA

