Pada masa jahiliyyah, kaum perempuan tidak pernah dianggap sebagai manusia sama sekali. Perempuan dianggap sebagai properti atau barang kekayaan. Jangankan untuk mendapatkan barang warisan, perempuan masa jahiliyyah justru sering dijadikan barang warisan.
Kalau ada orang yang meninggal, maka istri-istri yang masih muda dan cantik diwariskan kepada anak-anak tiri mereka atau kepada kerabat yang lain. Mereka dibagi seperti membagi unta, kuda, dan domba.
Kalau kemudian Islam memberikan hak waris kepada kaum perempuan bukankah itu merupakan hal sangat luar biasa?. Demikian juga dalam persaksian, sebelum Islam ada, kaum perempaun jahiliyyah tidak pernah dihitung sebagai manusia kalau kemudian persaksiannya diterima bukankah itu juga merupakan pengangkatan derajat yang luar biasa?.
Hampir semua peradaban manusia yang ada di dunia ini pada masa silam juga meletakkan perempuan di tempat yang sangat hina. Ada yang menyebutnya sebagai hewan yang berwujud menyerupai manusia, ada pula yang menyebutnya sebagai laki-laki yang tidak sempurna.
Agama-agama kuno umat manusia juga meletakan perempuan berada di kasta yang paling rendah. Ada yang menyebutnya sebagai saudara kembar setan untuk menyesatkan manusia, adapula yang menganggapnya sebagai jelmaan iblis untuk meruntuhkan persaudaraan antara dua orang laki-laki.
Islam meletakkan perempuan sebagai manusia seutuhnya, sesuai firma Alloh dalam Surat an-Nahl ayat 97: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
Ayat ini secara jelas menekankan kalau laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Islam juga mengajarkan kepada seluruh pengikutnya untuk menghormati kaum ibu dan dilarang untuk menistakannya.
Selain adanya penafsiran yang merugikan perempuan akibat pengaruh budaya patriarki dan adat tradisi yang tidak ramah gender, kepemimpinan perempuan, kejatuhan Adam dan Hawa menimbulkan stigma bahwa perempuan itu penggoda, penciptaan perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki, beberapa hal tersebut membuat perempuan menjadi terpinggirkan dan menjadi subordinat pada berbagai aspek kehidupan. Padahal banyak hal-hal lain yang justru diajarkan dalam Islam untuk menghilangkan penindasan terhadap perempuan, seperti isu pernikahan. Dahulu perempuan dipaksa untuk menikah, oleh Islam harus dengan seizin dan persetujuan oleh wali dan saksi 2 orang.
“Rosululloh adalah Feminis Muslim Pertama. Beliau membawa nilai-nilai kesetaraan kala itu….” Kurang lebih itu yang diucapkan Musdah Mulia yang selalu terngiang-ngiang dipikiran saya, esensi risalah Islam, dengan perjuangan memanusiakan manusia agar terwujud insan-insan bermoral dengan penegakan salah satunya adalah aspek kesetaraan. Rosululloh juga sangat menghormati perempuan, memberikan hak-hak demokratis terhadap perempuan, serta memperjuangkan penghapusan penindasan perempuan, bahwa kita semua tau kala itu perempuan hanya dipandang sebagai objek, bukan sebagai manusia yang seutuhnya.
Stigma yang terlekat pada orang-orang yang mengamini feminisme sebagai nilai-nilai dalam berkehidupannya sering sekali didiskreditkan sangat gencar dan massif. Sehingga terkadang substansi dari feminisme itu menjadi kabur, terplintir, yang membuat adanya penolakan secara cuma-cuma tanpa terbangunnya ruang diskusi.
Kalau kita mencermati aturan Islam dalam rumah tangga dan memperbandingkannya dengan praktik kaum jahiliyyah maka kita akan sadar betapa luarbiasanya penghormatan Islam pada kaum perempuan. Dari seluruh ajaran Islam kita tidak akan lagi menjumpai ajaran yang memosisikan prempuan sebagai benda mati, ataupun sebagai obyek pasif yang tidak dianggap keberadaannya.
Perempuan dalam Islam diposisikan sebagai mitra sejajar yang berhak untuk menyatakan pendapat dan menyatakan sikap. Perempuan dalam Islam berhak menggugat cerai suaminya apabila memang merasa tidak cocok lagi dengan sang suami, ajaran agama dan peradaban manakah yang memberikan hak seperti itu bagi kaum perempuan pada abad VIII Masehi?. Sungguh, tidak ada ajaran lain pada kurun waktu itu yang demikian memuliakan perempuan selain ajaran Islam.
Ada pendapat yang menyatakan, kalau tinggi rendahnya derajat suatau peradaban adalah tercermin dari cara peradaban dalam memperlakukan kaum perempuan. Pendapat itu mungkin ada benarnya, kalau pandangan itu dipergunakan untuk mengukur ketinggian derajat peradaban Islam, maka Islam sungguh telah berada di poisi yang sangat tinggi.
Di dalam Islam juga ada pepatah yang cukup populer, perempuan adalah tiang bangsa. Pepatah itu bisa dipahami kebenarannya.
Perempuan adalah ibu setiap manusia, sebelum menerima ajaran dan didikan dari manapun, setiap manusia pasti telah dididik oleh ibunya masing-masing sejak dari kandungan. Dari rahim seorang ibu seorang pahlawan atau seorang penjahat disemaikan. Kalau seorang ibu sejak mengandung, membesarkan, dan mendidik anaknya penuh dengan rasa dendam dan kebencian maka anak itu akan tumbuh dengan rasa itu. Kalau dia dewasa juga akan menebarkan dendam dan benci pada kehidupan.
Sebaliknya kalau seorang ibu mengandung dan membesarkan serta mendidik putra-putrinya dengan penuh cinta dan keimanan, maka energi positif itu akan selalu terpancar dan terserap dalam setiap urat tubuh putranya. Kalau dia dewasa juga akan menebarkan hal-hal positif dalam kehidupan. Bangsa yang dipenuhi oleh ibu yang penuh cinta dan iman akan melahirkan genarasi-generasi positif, demikian juga sebaliknya. Wallahu A’lam Bishshawab.