RELASI KUASA; PEREMPUAN BISA APA?

Perempuan bisa apa?
Spread the love

Oleh: Ahmad Suhaimi, M.A

PEREMPUAN

Pada periode Januari-September 2021 Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 4.000 kasus kekerasan terhadap perempuan. Angka ini mengalami peningkatan dua kali lipat dibandingkan pada tahun 2020 dengan jumlah 2.400 kasus.
Peningkatan kasus kekerasan ini dipengaruhi banyak variabel, salah satunya adalah adanya relasi kuasa (power abuse) antara pelaku dan korban.
Relasi kuasa ini secara umum bisa dimaknai sebagai unsur yang dipengaruhi oleh kekuasaan pelaku atas ketidakberdayaan korban. Seperti dosen terhadap mahasiswa, orangtua terhadap anak, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya.
Kasus Herry yang memperkosa 13 santriwatinya dan aksi pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum dosen kepada mahasiswanya menjadi bukti tak terbantahkan bahwa relasi kuasa memiliki andil yang signifikan terhadap maraknya kasus pelecehan seksual di lingkungan pendidikan.
Adapun unsur penting dalam membaca pola relasi kuasa di atas dapat diklasifikasikan menjadi dua point penting, pertama sifatnya hierarkis yang meliputi posisi antar individu yang lebih rendah atau lebih tinggi dalam suatu kelompok atau tanpa kelompok. Kedua adalah ketergantungan, artinya seseorang bergantung pada orang lain karena status sosial, budaya, pengetahuan/pendidikan dan/atau ekonomi. Kedua unsur relasi kuasa tersebut menimbulkan kekuasaan yang berpotensi disalahgunakan.
Beragam potret peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia bukan semata permasalahan individual ansich, melainkan masalah sosio-struktural dan menjadi tugas dan kewajiban bersama warga negara, masyarakat, dan pemerintah.
Kehadiran pemerintah dalam hal ini telah dibuktikan dengan disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi RUU usul inisiatif. Sebelumnya Kemendikbudristek juga mengeluarkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi sebagai respon atas maraknya kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Berkaitan dengan relasi kuasa, ada beberapa catatan penting sebelum RUU TPKS ini menjadi UU yang kemudian dijadikan payung hukum atas segala kasus kekerasan seksual di Indonesia.
Pertama, pentingnya perlindungan terhadap korban. Perlindungan ini sangat penting mengingat banyak kasus kekerasan seksual justru si pelaku melaporkan balik atas nama pencemaran nama baik. Ini jelas-jelas tidak adil bagi korban.
Kedua, perlunya kerahasiaan identitas korban. Saya tidak bisa membayangkan jika privasi korban diumba-umbar ke media, bukannya melindungi justru ini akan mendatangkan rasa tidak aman dan tidak nyaman kepada korban.
Salah satu alasan kenapa korban enggan melaporkan kepada pihak yang berwajib karena mereka takut, malu dan khawatir akan mendapatkan stigma dari orang lain, terutama jika kasus ini akan diproses secara hukum. Di sinilah letak pentingnya kerahasiaan korban penting dijaga.
Ketiga, konsisten penegakan hukum. Lazim terjadi di Indonesia, bahwa jika yang dilaporkan adalah orang yang berkuasa atau yang mempunyai kekuatan finansial. Maka kasus-kasus kekerasan seksual ini berujung tidak diproses. Hal yang membuat para korban malas melaporkan kepada kepada yang berwajib.
Stigma di atas harus segera dibumi hanguskan dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Penegakan hukum harus berada di belakang korban bukan dibelakang yang berkuasa dan berduit.
Kalau tidak, keberadaan RUU PTKS yang kemudian akan menjadi UU tidak ada gunanya, karena yang menjadi pilar keberhasilan dari UU PTKS (setelah disahkan) adalah penegak hukumnya, bukan UU-nya.
Semoga keberadaan RUU PTKS dan Peremendikbud Ristek No 30 tahun 2021 yang sedang dalam pembahasan lebih lanjut mampu memberikan kuasa terhadap perempuan dalam membela diri atas segala tindakan yang merugikannya, utamanya sebab ketidak berdayannya karena faktor Relasi Kuasa. Wallahu A’lam

Baca Juga