Menjadi seorang pemimpin dibutuhkan sikap empati dalam memimpin rakyatnya. Namun kebanyakan orang mempertanyakan, sikap empati seperti apa yang harus dimiliki sosok pemimpin.
Apa yang Bapak pahami tentang empati dalam konsep kepemimpinan?
Empati merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk memahami apa yang dirasakan oleh bawahan atau masyarakat di sekitarnya, melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain dan juga membayangkan diri sendiri di posisi orang tersebut, tanpa mengabaikan progresifitas dan kemajuan suatu institusi. Empati ini memainkan peran penting dalam membangun dan menjaga hubungan antar sesamanya untuk mewujudkan lompatan kemajuan.
Kita pahami bahwa pemimpin adalah sebuah amanah sebagaimana Alloh SWT berfirman; “Sungguh, Alloh menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (QS. An-Nisa : 58). Maka dalam Islam, pemimpin dapat dipandang dari beberapa sisi; Pertama, dipandang sebagai amanah, karena menjalankan peran dan fungsinya sebagai khalifah, Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq ketika menerima amanah justru pertama kali yang diungkapkannya adalah inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Beliau juga mengungkapkan bahwa dirinya bukan orang yang terbaik, akan tetapi bahwa dirinya memiliki tanggung jawab yang lebih besar dari pada sahabat yang lain pada waktu itu. Dan beliau membuka ruang sebesar-besarnya kepada para sahabat untuk menyampaikan kritik dan saran yang konstruktif terkait tugas-tugas yang beliau emban. Ini membuktikan bahwa sikap rendah hati seorang khalifah, walaupun ia tokoh pilihan tetapi memiliki sikap inklusif, tidak besar kepala bahkan sombong atau takabur, karena ia bertanggung jawab dan berfikir untuk kemaslahatan umat.
Kedua, pemimpin sebagai Khidmah (pelayan), tanggung jawab seorang pemimpin adalah dia harus bisa menjadi pelayan bagi rakyat yang dipimpinnya. Bukan malah minta dilayani dan bersikap elitis.
Ketiga, pemimpin dipandang sebagai ri’ayah (perlindungan), maka Rasulullah SAW selalu membimbing umatnya agar hidupnya sejahtera dunia akherat. Bahkan Imam al Ghozali menyampaikan “rusaknya kepemimpinan akan terjadi apabila seorang pemimpin sudah gandrung menumpuk-numpuk harta dan kekuasaan.”
Dan Keempat, mas’uliyah (pertanggung jawaban), buktinya sifat empati Rasullullah kepada umatnya terkait perintah salat yang awalnya 50 waktu, kemudian bisa didispensasi menjadi 5 waktu dalam sehari semalam merupakan upaya-upaya yang dilakukan Rasullah SAW untuk memperingan beban umatnya.
Bisakah Bapak memberi contoh konkret bagaimana empati dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah?
Ya, tentu sebetulnya pemerintah itu di dalam mengambil sebuah kebijakan tidak lepas dari public opinion (opini publik), jadi opini publik ini dalam bentuk masukan dan kritik dari media massa merupakan unsur yang sangat efektif dan tidak terpisahkan dalam mengisi salah satu unsur kebijakan. Termasuk public force (suara publik) dalam bentuk jajak pendapat, menyampaikan aspirasi baik lisan maupun tulisan, seminar, conference dan seterusnya. Kelompok-kelompok itu tentu mengisi ruang dan dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah. Jadi kebijakan itu di samping public opinion, public force tetapi juga ada ruang untuk decision making (pengambil keputusan).
Bagaimana Empati dapat Meningakatkan Kepercayaan Masyarakat terhadap Pemimpin Mereka?
Ya, tentu kalau masyarakat sudah mendapat sebuah perhatian serius dari seorang pemimpin, maka pasti masyarakat itu akan merasakan empati dari seorang pemimpin atau dari pemerintah itu sendiri. Dan kami sendiri di kampus Universitas Islam Malang (UNISMA) ini kenapa UNISMA bisa melakukan lompatan, karena kami memiliki sikap empati terhadap sivitas akademika. Kalau kesejahteraan sivitas memperihatinkan, bagaimana kami akan mendapatkan empati! Karena kesejahteraan sivitas meningkat bahkan melebihi ASN, maka sivitas sangat empati pada kami.
Yang harus dipahami, bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan juga tidak tiba-tiba, tanpa keberbersamaan yang kita bangun itu impossible, maka kinerja dan akuntabilitas yang tinggi di dalam me-manage sebuah organisasi, termasuk kualitas SDM yang bagus dan bertanggung jawab akan mendukung keberhasilan. Jadi di sini dibutuhkan sebuah simbiosis mutualisme antara pemimpin dengan yang dipimpinnya. Akhirnya pemimpin itu melindungi, mengayomi, memberikan sikap empati terhadap segala hal yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat luas, dan masyarakat luas pun juga harus mematuhi kebijakan-kebijakan pemerintah, bahkan juga dalam konteks untuk mendukung kebijakan pemerintah itu sendiri.
Apakah Bapak Percaya bahwa Empati Bisa Diajarkan atau ini Adalah Sifat Bawaan yang Dimiliki oleh Beberapa Orang?
Rasa empati itu bisa diteladankan, bukan sekedar transfer of knowledge (disampaikan) akan tetapi lebih kepada uswah (teladan). Diajarkan atau disampaikan itu hanya 10% sedangkan uswah mencapai hingga 90%. Di sini pentingnya pemimpin, tokoh agama, birokrat, teknokrat, orang tua dan masyarakat untuk membangun dan mengembangkan habituasi dalam menciptakan iklim kehidupan yang ramah, santun, berakhlaq tinggi dan memiliki rasa empati terhadap situasi yang ada di lingkungannya.
Bagaimana Bapak Menanggapi bahwa Empati Sering Digunakan Sebagai Alat Politik untuk Menarik Simpati Rakyat tetapi Tidak Diimplementasikan dalam Tindakan Nyata?
Kalau itu bisa dilihat pada saat era kampanye Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden, Calon Kepala Daerah, Calon Legislatif dan seterusnya, rata-rata mereka terlihat memiliki sikap empati, tetapi empati yang dilakukan tidak sepenuh hati dan ada agenda yang terselubung yakni agar memilih dirinya atau ada udang di balik batu istilah orang sekarang. Maka sesungguhnya sikap empati itu harus dibangun dengan dasar yang tulus ikhlas, tidak menunggu momen pencalonan apapun, dia mau mencalonkan atau tidak, maka sikap perhatian dan empati terhadap masyarakat itu terus dilakukan, semata-mata untuk mencari ridla Alloh SWT.
Apakah Bapak Setuju bahwa Empati Seringkali Dipandang sebagai Kelemahan dalam Politik?
Ya, jangan dipandang seperti itu 100 %, karena di negara kita ini masih ada orang yang baik dan memiliki hati nurani. Kalau kita sudah negatif terus, maka kita ini jatuhnya su’u dzan (berprasangka buruk). Jadi kita harus pahami bahwa sikap empati itu memberikan satu keteladanan, kalaupun misalnya dibalik itu ada sesuatu hal, maka hanya dilihat sebelah mata tapi lihat yang lebih positif saja.
Masyarakat sekarang mestinya harus lebih pintar, kalau ada orang bagi-bagi angpau, mestinya dia harus berani menolak dan tidak mau menerima, bila ada konsesi-konsesi yang diharapkan, kalaupun menerima jangan mau dipengaruhi untuk memilih bila dia tidak memiliki kapasitas. Karena apa? Kalau dia jadi, kemudian tidak mampu mensejahterakan masyarakat dan justru membuat sengsara masayarakat yang memilih, ini justru ikut andil dalam merusak tata kehidupan generasi berikutnya.
Pesan Bapak?
Masyarakat harus mulai berfikir jernih, jangan mudah menerima konsesi-konsesi dari orang yang mau mencalonkan apapaun, karena itu akan merugikan anda sendiri. Lihat performa secara komprehenship bila dalam suasana politik, agar masa depan negara gemilang untuk masyarakat, bangsa dan negara.
Kalau jadi seorang pemimpin harus all out, menaruh empati terhadap kesulitan yang dihadapi oleh masyarakat yang dipimpinnya, sebagaimana Rasulullah SAW teladankan pada kita. Jangan saat jadi pemimpin, lupa terhadap kebutuhan masyarakat akan tetapi mereka justru harus menjadi pelayan masyarakat. Jangan elitis tetapi harus populis, rendah hati dan selalu bersama masyarakat semata-mata untuk mencari ridla Alloh SWT.