Oleh: Prof. Dr. H. Muhammad Djakfar, S.H., M.Ag
Sebagaimana kita ketahui bahwa Indonesia adalah sebuah negara besar yang dikenal sebagai negara yang multikultural. Indonesia ibarat sebuah kapal besar yang bernama negara kesatuan republik indonesia (NKRI) yang dihuni sekitar 265 juta jiwa manusia dengan 17 ribu pulau, 300 suku 74 jenis bahasa dan dialek, 5 komunitas pemeluk agama. Muatan sebesar ini tentu akan mengandung konsekuensi terjadinya gesekan yang sifatnya laten maupun manifest. Yang pertama ibarat bara dalam sekam, sedangkan yang kedua muncul ke permukaan dan benar-benar terjadi secara terbuka. Kedua bentuk gesekan ini apabila terus berkelanjutan akan berakibat letaknya sendi persatuan yang dapat mengancam olengnya (NKRI) di masa yang akan datang.
Sebab itu untuk terus menjaga utuhnya persatuan dan kesatuan di republik ini, setiap komponen bangsa tidak mengganggu salah satu aspek dalam SARA. Dalam kenyataan, keempat wilayah sensitif inilah yang tidak jarang menimbulkan konflik antar suku, antarpemeluk agama antarras dan antar golongan yang berpotensi merobek-robek keutuhan bangsa.
Adanya konflik sesama anak bangsa sudah pasti akan membuang banyak energi secara sia-sia yang akan menunjang program pembangunan untuk mencapai kesejahteraan yang menjadi komitmen kita bersama dalam membangun negara.
Dalam menyikapi sensitivitas atas masalah SARA tersebut Islam secara tegas mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia bersuku-suku dan ber bangsa-bangsa untuk saling mengenal antara yang satu dengan yang lain (al-Hujurat, 49:13). Dengan demikian keberagaman antarsuku dan bangsa itu merupakan sunnatulloh yang memiliki posisi yang sama karena yang membedakan yang satu dengan yang lain adalah kadar ketaqwaannya kepada Tuhan. Sebab itu bersikap toleran, saling menghargai, saling menolong dan lain sebagainya merupakan keniscayaan dalam Islam sebagai cermin ketaatan kita dalam menjalankan ajaran Islam.
Demikian pula dalam menyikapi keragaman agama, Islam telah memberikan rambu-rambu yang tegas sebagaimana termaktub dalam surat al- Kafirun, 109:1-6. Dalam ayat 6 surat ini secara tegas dikatakan: “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku.” Ini menunjukkan bahwasanya para pemeluk agama itu ada dalam garis demarkasi agar masing-masing tidak saling mengganggu antara yang satu dengan yang lain. Dipersilakan penganut agama untuk menjalankan kewajiban ibadah sesuai keyakinan masing-masing.
Namun lebih jauh kiranya akan lebih jelas jika kita mencoba memahami apa yang dilakukan oleh Rosululloh SAW dalam menghadapi keragaman, termasuk di dalamnya masalah suku di saat itu, dengan menciptakan sebuah rancangan konstitusi yang disebut Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal. Kita ketahui saat itu Rasulullah SAW tidak saja berperan sebagai rosul dan nabi dengan tugas utamanya mendakwahkan ajaran wahyu kepada publik agar mereka monoteis, tidak lagi politeis yang menyesatkan.Namun di sisi lain beliau sekaligus berperan sebagai kepala negara. Dan dalam kapasitasnya sebagai peran yang kedua inilah beliau menyadari bahwa dalam membangun pemerintahan perlu terciptanya stabilitas dalam banyak aspek.Di antaranya yang paling krusial adalah adanya kerukunan dan toleransi antarkomponen masyarakat. Atau dengan kata lain, bagaimanapun atmosfer atau rasa persatuan dan kesatuan merupakan prakondisi yang harus diciptakan dan dihormati oleh masyarakat dalam arti luas.
Sebagaimana kita pahami bahwasanya masyarakat Madinah kala itu merupakan masyarakat yang heterogen karena dihuni oleh berbagai suku, keturunan dan paham keagamaan yang beragam, baik Islam, Nasrani, Yahudi, Majusi, dan lain-lain sehingga sangat rentan terjadinya konflik antarmereka. Beragam keturunan (banu) yang ada saat itu, di antaranya adalah Banu Auf, Sa’idah, Al-Hars, Jusyam, An-Najjar, ‘Amr bin ‘Awf, Al- Nabit, dan Al-‘Aws. Tiga suku kaum Yahudi yang terkenal adalah Banu Qainuqa’, Nadhir, dan Quraidzah. Sedangkan dari Arab adalah suku Khazraj dan ‘Aus.
Sebab itu bertolak dari keragaman inilah pada akhirnya Rasulullah SAW menciptakan sebuah piagam (Shahifah Madinah) yang berfungsi sebagai konstituasi yang wajib dipatuhi oleh seluruh komponen bangsa di kala itu. Inilah Piagam Madinah yang sangat terkenal, yakni sebuah piagam syumuliah pertama di dunia, mendahului konstitusi negara modern manapun di dunia saat ini.
Dalam pembukaan piagam disebutkan: “Dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad Rasulullah saw, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal dari) Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.”
Selanjutnya dalam pasal 16 dan 25 ditegaskan: “Sesunggguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminan) tidak terzalimi dan ditentang olehnya (pasal 16). ” Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dari keluarga.” (pasal 25).
Baca Juga:
Santri Assirojiyyah Ikut Serta Sosialisasi Pemilu KPU Sampang
Belajar dari isi piagam tersebut dapat dipahami bahwa pada zamannya, Rosululloh SAW telah berhasil menciptakan ikatan kebersamaan, saling menghormati, saling toleran, saling tolong menolong dan melindungi antarmereka. Dan yang penting lagi dalam urusan keyakinan tetap saling menghormati antara yang satu dengan yang lain. Akhirnya dengan konstitusi inilah antarkomponen masyarakat hidup saling berdampingan secara damai sehingga Rosululloh SAW selain sukses sebagai nabi dan rosul, sekaligus juga sukses sebagai kepala negara dan pemerintahan yang menjadi sendi-sendi dasar peradaban Islam dan manusia secara universal sampai dengan era modern saat ini.
Pada dasarnya isi Piagam Madinah itu merupakan eksekusi dari esensi dan pesan surat al-Hujuraat dan al-Kaafiruun sebagaimana dikutip di atas, dan sekaligus merupakan bukti bahwasanya dalam Islam tidak dikenal adanya perbedaan ras apapun. Semuanya adalah sama dan harus saling menghormati dan menghargai, tanpa kecuali dalam urusan atau keyakinan.
Demikian, semoga bermanfaat dan menjadi renungan kita bersama, khususnya bagi seluruh masyarakat di Indonesia yang multikulturalis sampai era modern ini.
Wallahu’alam bishashawab