Ketaatan adalah kunci untuk memperoleh ilmu barokah bagi seorang santri, baik taat pada perintah kiai, maupun tata tertib pesantren. Prinsip inilah yang seharusnya dijadikan pedoman oleh para santri dan alumni Pondok Pesantren Assirojiyyah.
Di edisi kali ini, sengaja kami tulis salah satu alumni yang telah menjalankan prinsip tersebut. Beliau adalah KH Ahmad Idris Abdur Rohman atau yang dikenal dengan Ag. Idris. Beliau merupakan salah satu alumni yang berasal dari Pulau Mandangin. Seorang putra dari pasangan suami isteri; bapak Abdurrohman dan ibu Rohmani. Lahir pada tahun 1945 M di Pulau Mandangin, Sampang, Jawa Timur. Beliau terlahir sebagai putra bungsu dari tiga bersaudara; Mutammimah dan Ag. Munir.
Ag. Idris memulai pengembaraan menuntut ilmunya pada tahun 1963 M di Pondok Pesantren Assirojiyyah Kajuk Sampang bersama kakaknya, Ag. Munir. Yang mana pada saat itu usia beliau masih 18 tahun. Dipilihnya Assirojiyyah selain atas perintah orang tua juga disebabkan masih adanya hubungan kerabat dengan muassis pondok (al-Muallim).
Di saat beliau nyantri, asrama santri masih sangat sederhana. Saat itu hanya tersedia tiga lokal asrama kayu yang sekarang ditempati Balai Kesehatan Pesantren. Namun beliau sendiri menempati sebuah tempat milik Aba Zaini yang terletak di timur pesantren bersama kakaknya, Ag. Munir dan Ag. Tammar.
Sewaktu di pesantren, rasa ingin tahu beliau terhadap ilmu sangatlah besar. Beliau sangat tekun dalam belajar dan berusaha mendalami ilmu agama kepada beberapa gurunya, antara lain : Ag. Fakhri, Ag. Tammar dan Ag. Ja’far. Ketiga guru beliau merupakan guru (AGUS) angkatan pertama pasca Pondok Pesantren Assirojiyyah resmi berdiri pada tahun 1959 M.
Selama di pesantren, beliau tidak pernah meninggalkan sholat berjema’ah meskipun dalam keadaan sakit. Dan selalu konsisten menyertai al-Muallim ketika hendak sholat shubuh di Musholla al-Muawanah. Bahkan ketika al-Muallim pergi berdakwah, beliau selalu menunggu kedatangan gurunya tersebut di depan Dhalem meski hingga larut malam. Hal itu menunjukkan bahwa jiwa khidmat kepada guru telah tertanam di hatinya.
Tiga tahun berlalu pasca masuk pesantren, Ag. Idris langsung diangkat menjadi guru takror oleh al-Muallim. Beberapa jabatan yang pernah beliau emban semasa mengabdi di pesantren yaitu, menjadi keamanan dan bendahara pondok. Beliau pula pernah menjadi guru takror KH. Wahid Siradj, Nyai. Azizah dan Nyai. Qur di Dhalem Timur, PP. At-Tanwir.
Selain pengalaman di atas, ada satu hal yang sangat berkesan dan selalu diingat oleh beliau, yaitu dawuh al-Muallim “Al-Istiqomatu Ainul Karomah.” Bahwa keistiqomahan itu, tanda kemuliaan. Dawuh itulah yang dijadikan prinsip oleh beliau selama di pesantren dan terus diterapkan hingga sekarang.
Dua belas tahun lamanya menjadi santri, pahit manis kehidupan pesantren telah dilewatinya dengan tulus hati. Hingga tiba saatnya, beliau harus menyudahi pengembaraan menuntut ilmunya dari pesantren tercinta pada tahun 1975 M. Pasca boyong, beliau melangsungkan pernikahan dengan seorang perempuan yang bernama Nyai Sulimah asal Penyeppen, Sampang. Gadis pilihan yang diajukan oleh H. Suheri, salah satu tokoh Penyeppen kepada al-Muallim untuk dikawinkan dengan Ag. Idris.
Dari hasil pernikahannya bersama Nyai Sulimah beliau dikaruniai empat orang keturunan. Mereka adalah Ala Mamarrissinin, Muhammad Rodli, Abdur Rohim dan Lif Lailatin. Kemudian setelah sepeninggal Ny. Sulimah, Ag. Idris lalu mempersunting Nyai. Jumila untuk dijadikan pasangan hidup. Dari istri kedunya ini beliau dikaruniai dua orang anak; Uswatun Hasanah dan Muhammad Akhror Romadhoni.
AR-ROHMANIYYAH
Berbekal ilmu dan pengalaman selama di pesantren, kemudian pada tahun 1992 M timbullah inisiatif dalam diri Ag. Idris untuk mendirikan sebuah pondok pesantren di tempat tinggalnya, Desa Penyepen. Namun untuk merealisasikan inisitif tersebut, beliau terlebih dahulu mengutarakan maksudnya kepada gurunya, al-Muallim.
Gayungpun bersambut, kemudian al-Muallim memberi restu untuk mewujudkan keinginannya. Sang guru juga berpesan, bahwa apa yang telah menjadi keistiqomahan beliau selama di pesantren agar tidak ditinggalkan. Seperti berjema’ah dan mothola’ah yang menjadi riyadloh bagi para santri di Assirojiyyah. Akhirnya pesan tersebut beliau ikuti, hingga apa saja yang menjadi tata tertib Pondok Assirojiyyah beliau terapkan pula di pesantrennya hingga sekarang.
Baca Juga: https://assirojiyyah.online/ngaji-al-quran-di-salsabila-fm/
Nama Ar-Rohmaniyyah merupakan kolaborasi dua nama orang tua Ag. Idris itu sendiri, yaitu Abd. Rohman dan Rohmani. Akhirnya dengan restu sang guru pula, nama Ar-Rohmaniyyah diresmikan menjadi nama pesantren. Hadirnya pesantren Ar-Rohmaniyah tak jauh beda dengan ketika Ag. Idris mendirikan Hadikotul Ulum, sebuah madrasah yang berdiri sembilan tahun sebelum lahirnya Ar-Rohmaniyyah.
Pondok itupun disambut baik oleh masyarakat setempat bahkan santri yang berdatangan tidak hanya dari sekitar Desa Penyepen, tapi juga ada yang datang dari luar kota seperti dari Daerah Lumajang. Sehingga jumlah santri pada saat itu mencapai ratusan orang.
Akan tetapi seiring perkembangan zaman, Pondok Pesantren Ar-Rohmaniyyah mengalami dilema dengan semakin berkurangnya jumlah santri yang ada. Yang mana hal tersebut menurut beliau dipicu oleh tidak tersedianya pendidikan umum (formal) di dalam pesantren. Kendati demikian, Ag. Idris tetap bersikukuh untuk mempertahankan pesantrennya dengan metode dan sistem salaf ala Assirojiyyah fi kulli hal sampai kapanpun. Karena baginya, mempertahankan pesantren salaf merupakan amanah dari sang guru.