Shadow

Lelampah Sang Guru

Spread the love

Ponpes Assirojiyyah, Sampang – Meski sudah sepuluh tahun lebih meninggalkan alam fana (wafat), namun kebesaran namanya tetap harum dikenang masyarakat luas. Dia adalah KH. Zahid (Al-marhum) putra kedua KH. Sathibi. Beliau (KH. Zahid) terhitung tokoh karismatik sekaligus pengasuh kedua PonPes Darussalam  Az-Zahidiyyah. Di saaat beliau masuk Pondok Pesantren Assirojiyyah tepatnya di tahun lima puluhan, jumlah santri yang ada saat itu hanya dua puluh empat orang saja.

                Setelah beberapa tahun mengenyam pendidikan di PP Assirojiyyah, beliau dituntut kembali ke kampung halamannya guna meneruskan perjuangan ayahya selaku pengasuh Pondok Pesantren yang mulai terbengkalai semenjak ditinggal wafat oleh ayahnya ( KH. Sathibi). KH. Zahid selaku ahli waris, harus berjuang keras agar warisan yang berupa lembaga pendidikan bisa kembali aktif seperti sedia kala.

                Berkat pertolongan Alloh serta kegigihan beliau di dalam berjuang memelihara warisan, hanya selang bebrapa tahun dari kemangkatan ayah handanya, Ponpes yang selama ini serasa hilang kini tampak kembali berdiri. Pada saat itu, beliau berumur 25 tahun.

                Sistem pendidikan yang beliau terapkan tidak jauh berbeda dengan pesantren tempat beliau menimba ilmu, Assirojiyyah, mulai tata tertib santri sehari-hari atau pelajaran hingga wiridan (dzikir) dan tembang-tembang syi’ir ba’da ashar.

                Menurut putra beliau, KH. Hakam, hal ini beliau terapkan tidak lain untuk mengaplikasikan pesan serta lelampah sang guru (al-Muallim) yang selalu menganjurkan agar santrinya senantiasa istiqomah di dalam ibadah, terutama istiqomah di dalam belajar (mutholaah) dan sholat berjemaah sebagaimana aspirasi beliau yang tertera di papan pedoman:

لازم المطالعة والجمعة تنال العلوم النافعة

“Tetapilah motholaah dan berjemaah, niscaya kamu akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat”

Putra beliau menambahkan, bahwa ayahnya semenjak keluar dari PP Assirojiyyah tidak pernah meninggalkan kegiatan rutin PP Assirojiyyah yang berupa pengajian, baik itu bulanan atau tahunan (Bulan Puasa), padaal saat itu jalan Tanah Merah menuju rumahnya belum diaspal seperti sekarang. Sehingga beliau harus menempuh jarak Masaran-Tanah Merah dengan  berjalan kaki. Menurut Ag. Mukhtar, teman dekat beliau semasa hidupnya, beliau pernah satu kali absen mengikuti ajian bulanan. Itupun dikarenakan adanya udzur (salah satu dari tetanggaya meninggal dunia). Namun demikian, beliau harus menerima sanksi dari muallim yaitu ta’zir membaca يالطف sebanyak 1466 kali.

                “Saya jalani semua itu bukan karena sanksi, tapi karena kecintaan saya pada Muallim,” ujar KH. Zahid. Hali ini beliau utarakan pada Ag. Mukhtar samasa beliau hidup. Karena keistiqomahannya, beliau terhitung santri dekat dengan Muallim. Dan keistiqomahan beliau berhasil dipertahankan hingga beliau wafat di saat berusia 52 Tahun dan meninggalkan seorang istri serta empat orang anak. Adapun pesan terakhir yang berhasil direkam para putranya adalah “tetapilah sholat berjema’ah dan ta’at pada guru.” (Rowi)

1 Comment

  • Aw, this was a really good post. Finding the time and actual effort to generate a really good article… but what can I say… I procrastinate a whole lot and don’t manage to get nearly anything done.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *